Rabu, 29 Juni 2011

JOGJA BROADWAY


"JOGJA BROADWAY"
1-6 Juli 2011
Gedung Sosietet Militer Yogyakarta a.k.a Taman Budaya Yogyakarta


Ok. Kali ini, saya pingin banget nonton "JOGJA BROADWAY". "JOGJA BROADWAY" adalah sebuah pertunjukan imajinatif yang memadukan musik, drama, tarian, dan seni tata rupa! Woooow.... "JOGJA BROADWAY" adalah sebuah seni pertunjukan yang dipersembahkan oleh Garasi Enterprise. Kali ini, mereka akan memainkan lakon "Pangeran Bintang dan Putri Embun". Durasinya 90 menit.

Omoshirosou!

Dan semoga nggak kehabisan tiket >_<

ja ne...

Semalam...

Semalam, aku memimpikan 'sahabat'ku yang sudah lama nggak kujumpai.
'Sahabat'?
Yang bener?
Emang dia masih menganggapku 'sahabat'?
'Sahabat' setauku tidak akan membiarkan sahabatnya sendiri merasa galau karena 'sahabat'nya tiba-tiba menghilang nggak tahu ke mana. Tanpa kabar sama sekali.

Itu yang dinamakan 'sahabat'?
Embuhlah. Tapi setidaknya aku masih menganggapnya sebagai sahabatku kok.

ja ne...

Selasa, 28 Juni 2011

Paatii ga owatta

Paatii ga owatta~
Akhirnya... Yatto... Finally... Ujian selesai.
Tinggal menunggu hasil ujian yang... errr.... nggak tega liatnya (baca di sini supaya lebih jelas). Kali ini, liburannya akan menjadi leeeebiiiiiiiiiiiiih spesial: teman-teman saya yang seangkatan sebagian besar mengikuti program pengabdian masyarakat selama dua bulan yang disebut dengan KKN. Saya nggak ikut KKN. Alasan bohongan: saya masih kecil. Alasan beneran: saya mau ke Singapura (liburan, cuyyy *kibas-kibas rambut*). Jadi ceritanya, saya salah perhitungan. Kebacut (bahasa Indonesianya kebacut apa ya?) beli tiket pesawat diskonan yang super murah sejak tahun lalu dan saya baru sadar awal tahun ini kalau di semester ini ada KKN. Bodoh -__-".
Nah, jadi saya bakalan sedikit (sedikit? Sumpeh loh?) kesepian karena teman-teman saya nggak ada di samping saya (halah) ketika liburan.

Tapi, tenang saja. Saya juga nggak liburan kok. Saya ada urusan dengan SKRIPSI, KERJAAN, dan PENELITIAN.
Jadi, kalau ada yang sampai berani bilang, "Fia enak ya kamu. Liburan semester ini bisa liburan", monggo berhadapan dengan saya! Huahahahaha....


ja ne...

Sabtu, 25 Juni 2011

Di Bawah Lindungan Orang Tua

Pernahkah kalian berpikir untuk bisa hidup sendiri tanpa bergantung di bawah ketiak orang tua? Makan pakai duit sendiri, beli bensin pakai duit sendiri, bayar kuliah pakai duit sendiri, dan apa-apa pakai duit sendiri. Pernah?

Saya pernah dan sedang mengalami.

Saya beruntung mempunyai kedua orang tua yang bekerja dan mampu untuk membiayai saya dan adik saya hingga sampai ke perguruan tinggi. Minta apa saja dituruti (walaupun syarat dan ketentuan berlaku). Keadaan ekonomi keluarga saya bisa dibilang mampu: bapak saya adalah ‘kepala cabang’ radio swasta di bawah naungan sebuah perusahaan media mahaakbar di Indonesia dan ibu saya adalah dosen di sebuah PTN terbaik di Indonesia. Saya dan adik saya memang tidak pernah merasakan apa yang orang tua kami dulu rasakan: sekolah sambil bekerja (atau bekerja sambil sekolah? Mana aja deh). Bapak saya sudah terbiasa bekerja sejak SD. Bahkan ketika SMA, ia harus membiayai sekolah kesembilan adiknya. Ibu saya? Ibu saya juga sudah terbiasa kerja keras dan prihatin dari kecil, setelah menjadi yatim sejak kelas 4 SD.

Itu latar belakang keluarga saya.

Dan sebagai anak, saya dan adik saya terkena madunya: tidak usah susah-susah cari uang sendiri untuk sekolah. Akan tetapi, setelah saya menjadi mahasiswa (dan dilatarbelakangi dengan bagaimana usaha orang tua saya untuk membiayai saya sekolah di SMA yang sangat luar biasa itu), saya mulai berpikir untuk tidak lagi merepotkan orang tua. Minimal, minimaaaaaaaal sekali uang jajan pakai uang sendiri. Alhamdulillah, saya sudah tidak merepotkan orang tua kalau soal membayar uang SKS. Sejak tahun pertama, saya selalu dapat beasiswa SKS itu (kalau di tempat saya namanya BOP). Dan semoga di tahun keempat ini saya dapat lagi *harus dapat*. Dan sejak tahun pertama pula –sejak saya direkrut jadi yang bantu-bantu di kantor bapak—saya sudah nggak minta uang jajan lagi (walaupun tiap bulan juga tetap dikasih). Apalagi sejak saya jadi tutor untuk mahasiswa asing, saya nyaris tidak pernah minta uang pada orang tua (walaupun lagi-lagi tiap bulan juga tetap dikasih).

Tapi saya punya kelemahan: terlalu loyal pada uang. Setiap saya merasa dan membawa uang berlebih, saya pakai untuk bersenang-senang. Padahal aslinya, saya suka menabung *kibas-kibas rambut*. Tapi, jujur, saya sedikit puas karena ada sedikit hal dari banyak hal yang bisa saya tangani sendiri dengan uang saya sendiri. Saya juga bisa menyenangkan hati adik saya dengan uang saya (-_-“). Tapi lagi-lagi, saya belum bisa membayar SPP sendiri, makan masih pakai duit orang tua, dan banyak hal lainnya yang masih membuat saya bergantung pada orang tua. Dan hal-hal yang seabrek itu, bikin saya –akhir-akhir ini-- tidak enak sama orang tua. Padahal, dibandingkan dengan adik saya, saya bisa dibilang tidak berani itung-itungan sama orang tua. Misalnya, kalau servis motor, mending saya pakai duit saya sendiri dan tidak usah minta ganti sama orang tua. Walaupun sebenarnya, kalau minta ganti pun, pasti dikasih (apa sih yang nggak untuk anaknya?). Tapi gimana ya... Setiap kali ibu saya membuka dompet dan memberikan saya sejumlah uang, seperti ada jutaan kelelawar hitam (kenapa diasosiasikan kelelawar? Kenapa harus jutaan? Kenapa hitam? -_-“) yang terbang di atas kepala saya dan bergumam:

“Kerja dong, Fia! Kerja!”

“Nabung kek! Tu uang jangan buat jajan melulu!”

“Kasihan orang tuamu yang susah-susah cari uang tapi malah dimintain anaknya terus!”

Di negara-negara maju, anak seusia saya yang masih makan pakai duit orang tuanya, bisa dibilang ‘nggak ilok’. Nah itu dia, saya tidak mau jadi anak yang ‘nggak ilok’, meskipun jutaan kali ibu saya bilang bahwa orang tua saya bekerja memang untuk mencari makan buat kami dan sekolah kami. Tapi kan tetap saja bagi saya itu agak nggak adil. Nggak adil buat orang tua saya, maksudnya.

Nah makanya, Fia. Cepet lulus, cepet kerja, sekolah lagi, kerja lagi, dan NIKAH!

ja ne...

Rabu, 22 Juni 2011

IKU UKI

Kali ini saya mau cerita soal seseorang yang sangat penting di dalam hidup saya. No, no, no. Ini bukan masalah gebetan, pacar, atau idola (soalnya kesannya saya orang yang sukanya mbahas kayak gitu -_-"). Dia ini salah satu orang yang selalu berhasil membuat keceriaan saya selalu kembali setiap bad mood saya kumat. Dia adalah orang yang selalu saya nanti kehadirannya setiap hari. Dia adalah sosok yang bikin saya kadang melupakan masalah-masalah, tugas-tugas, dan ujian-ujian *UHUK*. Pokoknya dia istimewa buat saya. Titik.

Namanya Atmim Nusuki. Awalnya, ia mau dipanggil dengan sebutan Aat, tapi SAYA (sori. capslocknya kepencet :P) mengusulkan pada orang tuanya supaya dipanggil dengan nama Uki. Kesannya supaya unyuuuu gichu dech (apaseh?). Orang tuanya meng-ACC dan ia pun resmi dipanggil Uki. Dia sepupu saya. Rumahnya samping rumah saya. Umurnya sekarang sudah enam tahun dan tahun depan akan mulai masuk SD. Kulitnya putih bersih dan matanya sipit. Kayak bukan orang Indonesia.

Bagi saya, di antara sepupu-sepupu saya yang lain, dia adalah sepupu saya yang pualing saya sayangi. Entah apa alasannya, saya nggak bisa njelasin. Ada sesuatu yang *&^%$#^&** dan )!@%^&*$#%^^&((7%#58 (nggak tau ini apa? silakan translate sendiri). Dan rasa itulah yang membuat saya selalu merasa kangen padanya. Mungkin karena dia adalah sepupu paling kecil yang tinggal di kompleks keluarga saya. Mungkin. Tetapi, semakin ia besar, bukannya malah luntur, tapi rasa sayang saya pada Uki semakin besar.

Sayangnya, ia adalah anak yang sangat pemalu. Dan pemalunya terbilang parah. Pada orang-orang yang tidak ia kenal dekat --di dalamnya termasuk ibu saya, adik saya, dan bapak saya :O--, ia tidak mau berbicara. Bahkan pada guru TKnya dan teman-teman di sekolahnya, ia tidak mau bicara! Parah, kan? Makanya dia sepertinya tidak punya banyak teman. Dan pada mereka-mereka ini, hanya untuk menganggukkan kepala atau menggelengkan kepala, ia malu. Kalau sudah begitu, biasanya ia akan mengulum senyum malu-malu ala Uki. Manis sekali :):):).
Dari sekian banyak orang yang 'belum beruntung' itu, ternyata ada segelintir orang --jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari. Serius-- yang bisa berkomunikasi dengan Uki. Ngobrol, main bareng, bahkan berantem.

Segelintir orang itu, termasuk saya.

Entah apa yang membuat saya bisa berkomunikasi dengan Uki: bercanda, ngobrol, main, dan berantem. Orang-orang di rumah saya kadang iri pada saya yang bisa gayeng tertawa cekakakan dengan Uki. Bahkan akhir-akhir ini, dia sudah berani berbohong pada saya. Ia memanggil saya dengan sebutan "Mbak Iyul jelek".

"Mbak Iyul jelek, lagi ngapain, Mbak Iyul jelek?"

Hahaha. Sapaan itu biasanya ia lontarkan dengan cengegesan ketika saya main komputer di rumahnya. Dan kalau pada orang lain dia malu-malu, pada saya, Uki malah sering caper. Kalau sudah begitu, biasanya saya sering berantem dengannya. Hahaha.

Tapi gitu-gitu, dia jago main kartu remi dan UNO lho. Saya sering kalah kalau main sama dia. Ia juga suka mainan game di HP saya dan main game Burger Shop, game yang banyak orang beranggapan bahwa game itu bikin orang jadi psikopat. Hahaha.

O ya biasanya, kalau saya sedang stres dan galau, pelarian saya adalah si Uki. Dia benar-benar pelipur lara saya yang ampuh. Saya nggak bisa sehari tanpa bertemu dengan Uki. Setiap hari HARUS ketemu. Entah dia yang secara ajaib nemuin saya atau saya yang nemuin dia.

Percayalah, kawan. Buat kalian yang suka anak-anak, pasti kalian akan jatuh hati pada Uki. Hahaha.
Kalau sedang main di rumahku, silakan kenalan dengan sahabat kecilku itu. Jika beruntung, kalian bisa menjadi salah satu 'orang-orang beruntung yang bisa ngobrol dengan Uki'.
:D:D:D(ini waktu Uki masih bayi. Gendut dan lucuuu >_<)


(Ini Uki yg sekarang. Semakin kurus tapi tetep lucu :D)
ja ne...

Sabtu, 18 Juni 2011

Embuhlah -_-"


(I'm alone. Alone. And alooooooooooone) -_-"


Untuk pertama kalinya, sejak saya menginjakkan kaki di universitas, mempunyai Kartu Tanda Mahasiswa, dan orang-orang berhenti bertanya, "SMA mana, dek?", saya malas ikut ujian.

Serius.

Saya mencintai jurusan saya dan merasa paling beruntung karena bisa belajar di jurusan ini.

TAPI,

Entah kenapa nggak kayak semester-semester lalu: semangat sekali ngumpulin bahan ujian, bikin rangkuman, dan belajar di minggu tenang.
Zannen desu ne. Euforia semacam itu nggak saya rasakan semester ini. Seolah-seolah semangat yang seharusnya meletup-letup sejak beberapa minggu lalu, menguap secepat cheetah (apaseh?).
Saya berusaha nggak mau menyalahkan siapa-siapa dan apa-apa: ini nggak ada hubungannya dengan pekerjaan, ini nggak ada hubungannya dengan siapapun, dan tentunya ini nggak ada hubungannya dengan skripsi jadi-jadian.

Jadi, saya belum bisa menjawab kenapa saya jadi nggak punya semangat belajar gini. Saya maunya malah pingin lari dari ujian dan hanya mau kerja. Kerja. Kerja. Kerja. Kerja. Titik. Saya sedang gila kerja. Tetapi, tidak untuk belajar. Sejauh mungkin saya menghindari bangku coklat --tempat tongkrongan saya (dulu)--, diskusi masalah ujian, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkuliahan saya.

Parah.

Anehnya lagi, saya nggak mau disemangati. Saya sensitif kalau ada yang menyemangati saya akhir-akhir ini. Saya merasa, mereka yang menyemangati saya itu mengingatkan saya betapa payahnya saya dalam mengerjakan soal ujian itu. Alhasil, saya cuma bisa lari. Lari sejauh mungkin dengan harapan secercah cahaya semangat belajar itu muncul. Tapi nyatanya, tetap nggak bisa.

Sulit.

Kata orang, biasanya, semangat seperti itu luntur karena ada masalah pribadi. Masuk akal. Tapi sayangnya, saya lagi nggak punya masalah keluarga yang berat, saya nggak punya pacar atau gebetan yang bikin patah hati, keuangan saya alhamdulillah sudah pulih, saya sedang tidak dekat dengan lawan jenis apalagi jatuh cinta (oh mai...), saya (merasa) nggak punya masalah dengan teman saya, dan kerjaan saya baik-baik saja.

Lalu? Apa yang bikin saya kayak gini?

Jenuh? Ah nggak juga. Jenuh sedikit sih. Kalau saya jenuh, biasanya akan berimbas pada semuanya, termasuk kerjaan. Tapi (sekali lagi) kerjaan juga biasa-biasa aja, tidak ada masalah.

Trus apa dong?

Ah embuhlah. Hanya Tuhan yang tahu.


ja ne...

Selasa, 14 Juni 2011

どんな時どう使う日本語表現文型500




Kali ini, saya mau merekomendasikan sebuah buku bagus bin jenius untuk teman-teman yang mau ikut Nihon go no Noryoku Shiken level N1 atau N2 atau yang ingin iseng-iseng (?) memperdalam bahasa Jepang atau yang sedang mengincar beasiswa ke Jepang:

どんな時どう使う日本語表現文型500.
500 Essential Japanese Expressions: A Guide to Correct Usage of Key Sentence Patterns

Buku ini berisi 500 hyogen atau ekspresi bentuk kalimat dalam bahasa Jepang, plus penjelasan, dan pola kalimatnya. Buku ini karangannya Tomomatsu Etsuko, Miyamoto Jun, dan Waguri Masako (maaf kalau ada salah dalam penulisan nama ^^) dan diterbitkan oleh Aruku dan di bukunya yang sedang saya pegang sekarang terbitan tahun 1996 (mungkin sekarang masih dicetak lagi).

Kalau ada yang berminat, jangan sekali-kali pinjam punya saya. Karena sudah bocel-bocel, nggak jelas, banyak coretan, dan bentuknya sudah mulai ambigu (serius!). Saran saya, beli di toko-toko buku yang menyediakan buku impor Jepang atau pesan lewat website atau kalau yang nggak mau merogoh kocek dalam-dalam, pinjam dari teman/perpus lalu difotokopi, atau kalau yang nggak mau ngeluarin duit buat fotokopi, download dari internet. Selesai.

Bukan apa-apa sih saya merekomendasikan buku ini. Karena sebenarnya, buku ini adalah pegangan wajib bagi para mahasiswa Sastra Jepang UGM yang tahun ajaran ini ngambil mata kuliah Tata Bahasa VI :O. Dan buku ini akan menemani kami lagi di semester depan alias tahun ajaran baru nanti. Ampyaaaaaaaaaaaaaang. Keliatan seram? Ah nggak juga. Asal mau belajar, niat, pantang menyerah, dan tahan banting, Insya Allah bisa mencerna apa yang ada di dalam buku ini.

O ya, bab-bab di dalam buku ini dibagi menurut fungsinya masing-masing, misalnya bab 'sebab-alasan' diberi bab sendiri atau bab 'topik' juga diberi bab sendiri. Jadi, belajarnya enak. Tapi, nggak enaknya adalah di dalam satu bab, --bagi kita yang mempelajari bahasa Jepang sebagai bahasa sasaran (duh, bahasanya)--, bisa jadi terjemahan di dalam bahasa Indonesia itu sama, tapi hyogen-nya bisa buanyak buanget dan mirip-mirip. Dan kalau yang mau sedikit masokis, ada soal-soal latihannya di setiap bab plus kunci jawaban.


Selamat belajar!
Selamat mencoba!
Buku ini menyenangkan kok *ngomongnya pake' wajah memelas*


PS: Sebenarnya, saya ada ujian Tata Bahasa hari ini pukul 09.30 nanti dan materinya ada di buku ini semua. Dan saya agak nggak niat gitu belajarnya -_-"

ja ne...

Minggu, 12 Juni 2011

Orkestra Rumah Sakit

Nggak banyak orang yang tahu kalau saya punya hobi ini: nonton teater dan drama. Saya mulai suka nonton teater sejak SMP ketika ibu saya mengajak nonton teater Koma-nya N.Riantiarno. Waktu itu, mereka memainkan lakon 'Sampek Engtay' di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Amboiiiii. Saya benar-benar terkesan dengan cerita, akting, pemain, naskah, kostum, dan koreografi milik Teater Koma yang menurut saya benar-benar-benar jenius. Sejak saat itu, saya mulai suka nonton teater dan drama. Menurut saya, ada unsur 'magis' tersendiri yang nggak bisa dijelasin kalau kita nonton suatu pagelaran seni secara langsung.


(aduuuuuh fotonya kecil amat -_-")

Nah, akhirnya, setelah saya ngidam nonton teater lagi (terutama Teater Koma, tapi ditunggu-tunggu nggak dateng-dateng di Jogja. Hiks), ibu saya suatu hari memberikan kabar gembira untuk saya: ayo nonton teater lagi! Yeaaaah.... Bukan Teater Koma sih, tapi Teater Shima-nya Puntung CM Pudjadi. Beliau ini kebetulan temannya ibu saya dan kedua anaknya beliau juga kebetulan mahasiswanya ibu saya :O.

Kami --saya, ibu saya, dan adik saya-- malam Sabtu lalu akhirnya pergi ke TBY nonton teater Shima yang mau memainkan 'Orkestra Rumah Sakit'. Saya lumayan geli ketika masuk TBY, para panitianya pakai baju ala dokter dan perawat. Kami duduk di bangku VIP dan depan sendiri (wesyeeeeh....). Dan sempat deg-degan apakah kayak Teater Koma dulu atau enggak :O.

Secara garis besar, cerita Orkestra Rumah Sakit itu menyindir rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang banyak menolak pasien miskin dan menelantarkan mereka. Sedangkan pasien-pasien berduit yang justru punya duit banyak dikasih fasilitas berlebih, padahal penyakit mereka nggak parah-parah amat. Belum lagi pelayanan rumah sakit yang buruk, susternya geje, dokternya geje, dan satpam di cerita tersebut yang merangkap jadi dokter anestesi dan bawa bogem ke mana2 :O.

Sebenarnya, naskahnya itu baguuuuuuus banget. Tapi e tetapi, para pemain yang ternyata sebagian besar masih anak SMA (fyi, teater Shima itu dulunya teater SMA N 6 Jogja), aktingnya masih kurang menggigit. Dan mereka diberi peran-peran inti. Sedangkan aktor teater Shima yang sudah senior 'hanya' menjadi peran pembantu.

Ketika kami pulang, di belakang kami ada bapak-bapak yang saya kenal sering main di FTV-FTV yang settingnya di Jogja, dan beliau mengaku kecewa.

Yaaa sebenarnya nggak papa sih kalau yang main anak-anak SMA, tapi kemampuan aktingnya perlu ditingkatkan dan diasah lagi. Berani tampil saja sudah bagus, kok d^^b
Kecewa ya sedikit. Tapi nggak papa lah, wong namanya udah pingin nonton teater dari dulu.
Teuteup berharap Teater Koma di Jogja. Huhuhuhu :(



ja ne...

Jumat, 10 Juni 2011

SMAP - Sekai ni Hitotsu dake no Hana



Hanaya no misesaki ni naranda
Ironna hana wo miteita
Hito sorezore konomi wa aru kedo
Doremo minna kirei dane
Kono naka de dare ga ichiban da nante
Arasou koto mo shinai de
Baketsu no naka hokorashige ni
Chanto mune wo hatteiru

Sore na noni bokura ringen wa
Doushite kou mo kurabeta garu?
Hitori hitori chigau noni sono naka de
Ichiban ni naritagaru?

Sousa bokura wa
Sekai ni hitotsu dake no hana
Hitori hitori chigau dame wo motsu
Sono hana wo sakaseru koto dake ni
Isshou kenmei ni nareba ii

Komatta youni warai nagara
Zutto mayotteru hito ga iru
Ganbatte saita hana wa dore mo
Kirei dakara shikata nai ne
Yatto mise kara dete kita
Sono hito ga kakaete ita
Iro toridori no hanataba to
Ureshi souna yokogao

Namae mo shira nakatta keredo
Ano hi boku ni egao wo kureta
Dare mo kizukanai youna basho de
Saiteta hana no youni

Sousa bokura wa
Sekai ni hitotsu dake no hana
Hitori hitori chigau dame wo motsu
Sono hana o sakaseru koto dake ni
Isshou kenmei ni nareba ii

Chiisai hana ya ooki na hana
Hitotsu toshite onaji mono wa nai kara
(N 1)Number one ni nara nakutemo ii
Moto moto tokubetsu na Only one


Saya tahu lagu ini dari mata kuliah Chokai (listening) dan saya langsung suka karena liriknya begitu menyentuh :P

Number one ni nara nakutemo ii
Moto moto tokubetsu na Only one


ja ne...

:O

UAS dan kerjaan baru di depan mata.
Saya nggak bayangin dan nggak nyangka kalo' pas ujian aja masih ada kerjaan. Hahaha
Semangat deh


ja ne...

Selasa, 07 Juni 2011

Sepotong Dongeng dari Aceh

SEPOTONG DONGENG DARI ACEH

Bireuen, 21 Mei 2003. Sahabatku Vira, aku tidak begitu yakin, apakah suratku ini pernah sampai ke Jogja. Aku juga tidak pernah tahu, apa suratku benar-benar pernah kau baca. Aku hanya ingin berbagi cerita denganmu. Bukankah kau pernah menagih dongeng tentang Aceh padaku?Anggap saja ini sebagai bayaran dongeng itu. Maka, kutitipkan catatan harianku ini, yang terlanjur menjamur dan kumal, pada seorang dokter PMI yang pernah merawatku di pengungsian Bireuen. Dokter Husein, begitu kami biasa memanggil, mengatakan bahwa ia berasal dari kota yang sama denganmu: Jogja. Sebuah kota ramah yang telah mempertemukan kita dalam Festival Kesenian Nusantara, setahun lalu. Ah, Vira, manis benar kotamu.

Vira, aku ingat betul, pagi itu, harum subuh masih menyelimuti Blang Rakal, kampung halamanku. Butir embun juga belum mengering di pucuk-pucuk daun kopi, di kebun abuchik-ku. Bahkan sisa kabut masih melekat dan berbuih di ujung jendela kamarku. Sayangnya Vira, aku tak pernah menyangka, itu subuh terindah sekaligus terakhir yang pernah kunikmati di sana. Selebihnya, tak bakal lagi kujumpai kesyahduan pagi yang sama. Karena kini tinggal nyanyian senapan dan bau mesiu.

Brak! Pagi itu tiba-tiba kamarku terbuka lebar. Aku sangat kaget. Sesosok tubuh kekar memaksa masuk ke ke kamarku. Dia abuchik-ku! Aku meloncat berdiri dari kursi belajarku. Waktu itu aku memang baru menyelesaikan soal terakhir PR matematikaku.”Ada apa Abuchik? Kenapa begitu rupa?” tanyaku gugup. “Abuchik tak dapat cerita sekarang. Tapi ini betul-betul gawat. Berkemaslah cepat. Sebelum langit benar-benar terang, kau harus telah pergi dari desa ini. Mengungsilah ke utara atau ke Bireuen bersama dan perempuan desa lainnya.” Aku melihat ketegangan luar biasa pada mata pamanku itu. Samar-samar, memang kudengar beberapa rentetan tembakan. Mungkin dari arah barat sungai. Desa mulai gaduh. Aku benar-benar takut dan panik. Mulai kudengar suara-suara perempuan dan anak-anak menangis bersaut-sautan dengan suara embikan kambing yang mereka tuntun. Sambil menangis bingung, aku jejalkan apa saja yang bisa kumasukan dalam tas punggung sekolahku. Beberapa baju sekenanya bercampur dengan buku-buku sekolah. Sedangkan indomi, panci, cerek, dan piring aku masukan dalam karung.

“Sementara itu, makcut-ku menangis menyayat hati, sambil sesekali beristighfar. Beberapa bulan ini penyakit paru-parunya memang kambuh. Makcut hanya bisa berbaring saja. Kata abuchik, mengangkutnya dengan mobil akan sangat berbahaya. Situasi di jalan bisa berubah sewaktu-waktu. Oleh beberapa tetangga ia di angkut dalam gerobak pedati. Dengan bergetar, ia berpesan: “Jaga dirimu Cut Romlah, kita pasti bertemu, pasti bertemu lagi, jangan sedih. Kau harus kuat anakku, tabah.” Air mataku berhamburan. Aku menggigit bibirku hingga berdarah. “Makcut!” lolongku mengiringi kepergiannya. Aku memang tak pernah berpisah dengannya sejak kecil. Perempuan itu bibiku. Ia adalah pengganti ibuku. Aku memang telah yatim piatu sejak kelas empat SD. Sejak itu, aku diasuh oleh pamanku, Tengku Ahmad; dan bibiku, Fatimah.

“Abi-ku, Tengku Abdullah, semasa hidupnya adalah ketua adat di desaku yang disegani. Setelah ia meninggal, posisi itu digantikan abuchik yang hingga kini mengasuhku. Ia dikenal sebagai orang yang saleh dan bijak. Meskipun aku remaja dari desa yang tak terlihat dalam peta Indonesia, aku tumbuh seperti remaja umumnya. Diusiaku yang tiga belas tahun ini, aku suka berpantun dan menari Seudati. Aku juga ngefans dengan Westlife, Avril Lavigne, dan Blue. Meskipun aku terlahir di desa yang rimbun akan kopi dan sawit, informasi tak pernah menjadi kendala. Kami cukup makmur karena masyarakat kami kerja keras di kebun dan sebagian lagi berdagang. Jadi, aku tak begitu jauh dari kamu kan Vira?

Bireuen, 22 Mei 2003. Vira, pagi itu juga kami mulai berjalan. Tak ada satu pun angkot desa yang berani beroperasi. Suasana sangat mencekam. Tentara mulai masuk desa kami. Mereka melakukan pembersihan. Sesekali terdengar ledakan. Tembakan. Suara laki-laki berteriak. Kami tidak berani menoleh kebelakang. Kami sangat takut yang terkapar adalah salah seorang keluarga kami. (Ah Abuchik, kau kini di mana?) Vira, dulu aku hanya melihat dari TV betapa malangnya pengungsi Irak, saat Amerika menginvansi negri minyak itu. Tapi siapa yang pernah bermimpi hal itu terjadi pada diri kita saat ini? Mengapa TanahRencong harus terkoyak? Katanya kita merdeka. Tapi untuk apa berperang melawan saudara sendiri? Mengapa begitu tak berharganya nyawa kini?

“Aku mengungsi bersama sebagian besar perempuan di desaku. Sebagian besar mereka adalah orang tua dan anak-anak. Kami sering sekali berhenti karena kami sangat lelah dan takut. Anak-anak berhenti dan merengek karena tidak kuat berjalan jauh. Malamnya, kami menginap di pendapa kantor sebuah kecamatan. Gelap dan dingin.Tiba tiba saat kami tertidur karena letih, sekeliling kami seolah menyala. Beberapa sekolah di kanan-kiri kecamatan terbakar. “Bakar!Bakar semua! Jarah! Jarah Semua!” Kami mendengar orang- orang berteriak. Beberapa puluh orang, entah datang dari mana, tiba-tiba merusak dan menjarah kantor tempat kami menginap. Mereka membawa apa saja barang-barang kantor yang berharga. Ya Allah, apa yang merasuki jiwa mereka? Mengapa rakyat Aceh yang biasanya santun tiba-tiba sebagian berubah menjadi beringas, rakus, menjadi pencuri, dan merampok harta saudaranya sendiri? Kami semua takut. Kami menangis semakin keras, hingga pagi tiba.

Bireuen, 23 Mei 2003. Pagi sekali, asap ada di mana-mana. Aku mulai melihat sekelilingku banyak bangunan hangus. Satu di antaranya adalah sekolahku. Perih sekali. Kelas-kelas, buku-buku, tropi-tropi, harapan-harapan, dan beribu kenangan indah kami, semua menjadi abu. Tak ada yang tersisa.

“Aku juga baru ingat selama sehari kemarin kami tidak makan. Kami kenyang rasa takut. Aku mengeluarkan bekal. Aku kunyah indomi mentah-mentah. Kami belum berniat memasak. Kantor kecamatan bukan persinggahan yang tepat. Karena tempat ini sangat menyeramkan buat kami.

“Vira, jangan tertawa ya, kalau buku harian ini aku tulis di buku catatan IPA. Aku selalu membungkusnya kembali di tas kresek hitam sebelum masuk tas punggungku. Takut sewaktu-waktu basah. Hari pertama ini anak-anak banyak yang demam. Mungkin karena lelah. Mungkin karena masuk angin. Rombongan kami sekitar dua ratus orang. Kami harus melanjutkan perjalanan, karena mungkin baru separo perjalanan. Blang Rakal-- Bireuen sekitar 60 km. Kami harus melintas aspal, sungai, bukit, pertempuan, dan mayat bertumbangan begitu saja di jalan. Kadang aku harus berjalan dengan memejamkan mata .

“Aku baru berjalan 10 meter ketika mendengar seorang balita menangis kehilangan ibunya di tepi jalan. Kasihan sekali. Balita perempuan sekitar dua tahunan itu mungkin saja terpisah dengan keluarganya. Tak seorang pun tampak peduli. Ratusan orang itu telah sibuk dengan bayi, anak-anak, dan penderitaan mereka sendiri. Apa boleh buat, ibaku ternyata lebih kuat. Aku terpaksa menggendongnya, sambil bertanya kanan-kiri siapa kehilangan bayi. Sayang tak satu pun yang mau merawatnya. Hanya seorang nenek-nenek yang memberikan kain lusuhnya padaku, agar aku bisa lebih ringan dalam menggendongnya. Vira, aku tak pernah membayangkan tiba-tiba menjadi seorang “ibu” yang harus mengasuh balita secepat ini. Sebagai remaja berumur 13 tahun, aku juga kikuk dan belum terbiasa mengasuh anak. Aku sendiri tidak mempunyai adik. Apalagi paman dan bibiku juga belum berputra. Aku juga memberinya nama :Cut Irna. Tidak ada makna apa-apa, nama itu uncul agar aku bisa memanggilnya saja. Sejam kemudian, ia telah lelap dalam gendonganku. Entah apa yang ada dalam mimpi bayi malang itu.

“Vira, aku mulai kebingungan saat Cut Irna mulai terjaga. Setengah hari ia membuatku panik. Dia mulai menangis, rewel, mungkin haus, mungkin minta tetek, lapar, berak, ngompol, pokoknya berisik sekali. Benar-benar situasi yang tidak bisa kuatasi. Terus terang, aku belum pernah tahu caranya menceboki bayi. Aku juga tidak tahu persis makanan apa yang cocok untuknya. Aku ikut menangis karena hampir putus asa. Bajunya yang pesing dan bau itu hanya kulepas dan kubuang. Aku mencebokinya di parit. Kupakaikan dia kaos baju gantiku. Lalu, kuremaskan biskuit bekalku dengan air. Aku suapi dia. Ajaib, dia mulai mau tertawa. Mungkin, aku dikira inang pengasuh barunya. Hahaha.

Bireuen, 25 Mei 2003. Vira, kakiku dah mulai melepuh. Sandal jepitku sudah jebol sejak kemarin sore. Lebih dua puluh kilo aku berjalan tanpa alas. Beberapa orang dari kami mula tumbang dan meninggal di jalan. Aku menyaksikan pula bayi-bayi yang sekarat dalam pelukan ibunya. Ada yang karena kehausan, kepanasan, mencret, sesak napas, demam, dan masih banyak lagi. Alhamdulillah Cut Irna mulai terbiasa dengan “inangnya”. Perjalanan kami memang melelahkan. Berjalan kaki dari desaku ke kamp pengungsi di Bireuen memakan selama dua hari lebih, karena medannya sangat buruk, ditambah situasi perang yang menakutkan. Sangat berat bagiku untuk berjalan kaki sejauh itu. Lagi pula, aku menggendong Cut Irna. Sebagian buku-buku dan barangku memang aku buang di jalan untuk mengurangi bebanku. Untunglah tenda-tenda mulai terlihat di kejauhan. Tahukah Vira, aku seperti melihat oase di Gurun Sahara. Aku berlari bersama orang-orang berebut lebih cepat mencapainya. Sayang Vira, sesampai di sana kamp ternyata telah dijejali ribuan orang yang bernasib sama. Orang-orang yang berebut agar kesempatan hidupnya lebih panjang, seperti kami. Tiba tiba aku merasa dunia sekelilingku berputar, dan berputar semakin cepat. Semua pekat. Samar kudengar tangis Cut Irna dan orang-orang yang berguman seperti lebah…..

Bireuen, 26 Mei 2003. Saat aku bangun, Vira, aku sudah berada di rumah sakit darurat di kamp Bireuen. Kata Pak Dokter yang ramah itu (yang nantinya ku kenal sebagai Pak Dokter Husein), aku dehidrasi dan demam. Dokter kawatir aku terkena tetanus, karena kakiku sempat luka karena melepuh. Kata Dokter, aku tak sadar semalaman. “Di mana Cut Irna, Dokter?” tanyaku lemah. “Ah, ya, bayi yang bersamamu?” Aku mengangguk. “Dia sehat. Dia dirawat seorang bidan. Apakah ia Adikmu?” tanya dokter itu ramah. Aku menggeleng. “Dia bukan siapa-siapa. Saya tidak kenal anak itu, Dok. saya hanya menemukannya di jalan.” Lalu aku ceritakan perjalananku. Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian menyuruhku untuk istirahat.

“Sorenya, di pengungsian ini, aku dijenguk Bu Aisyah, guru Biologiku. Rupanya ia juga pengungsi yang lebih awal datang daripada aku. Kebetulan Bu Aisyah mengenal baik keluargaku. Ia adalah sahabat bibiku waktu sekolah dulu. Menurut Bu Aisyah, bibi sekarang dirawat di sebuah rumah sakit Aceh Tengah. Sedangkan keberadaan paman, tak seorang pun yang tahu.

Bireuen, 30 Mei 2003. Vira yang baik, selama lima hari lebih berada di pengungsian aku mendapat banyak pelajaran berharga. Terutama pelajaran bertahan hidup. Baru kali ini aku melihat secara langsung, bagaimana mereka sesama manusia bisa saling membunuh, saling jarah karena berebut makanan. Orang-orang bisa menjadi buas seperti binatang. Hal yang paling memalukan sekaligus menakutkan bagiku. Padahal di desa kami, mereka bukanlah orang miskin. Mereka punya hektaran kebun sawit atau kopi. Mereka juga punya sapi dan kambing. Mereka dihormati dalam adat. Tapi semua berubah. Kami kehilangan kendali. Kehilangan harga diri.

“O ya, Vira, di kamp pengungsian ini ada saja orang yang meninggal karena kurangnya persediaan bahan pangan dan mulainya penyebaran berbagai macam wabah penyakit yang menular sekaligus mematikan. Diare, disentri, infeksi saluran pernafasan, malaria, menjadi makanan sehari hari. Tenaga medis dan obat sangat langka di sini.

Bireuen, 1 Juni 2003. Aku bersama pengungsi lain mencoba hidup seadanya dalam jangka waktu tidak terbatas. Aku mulai rindu kampung. Rindu Paman dan Bibi. Rindu sekolah. Kemarin, mulai dibuka sekolah darurat. Tapi baru untuk SD. Untuk SLTP gurunya sangat kurang. Sayang sekali.

Bireuen, 15 Juni 2003.Vira, kemarin aku bertemu Cut Irna. Ia tambah montok dan lucu. Ia beruntung diasuh oleh orang yang tepat. Bukan “ibu” palsu macam aku. Dia juga sudah tidak rewel lagi seperti saat kugendong menuju tempat pengungsian. Setelah Cut Irna ditangani oleh bidan puskesmas Bireuen, dia kelihatan sudah ceria dan sehat. Aku berharap, saat Cut Irna dewasa nanti, sejarah pahit Aceh ini tak akan berulang.

Bireuen, 18 Juni 2003. Hari ini, Vira, aku harus menemui Dokter Husein lagi. Selain aku harus memeriksakan luka di kakiku yang belum sembuh benar, aku juga memerlukan obat karena hampir dua malam ini demamku datang lagi. Seperti biasa pasien begitu antri berjubel. Aku harus sabar. Kudengar dari mereka, dokter itu besok pagi akan pulang ke Jogja. Makanya, aku juga menenteng catatan harianku. Sambil menunggu giliran aku menulis terus. Sampai suatu saat, suasana mendadak gaduh.

“Beri kami jalan, dia butuh pertolongan”, beberapa orang laki-laki bersama seorang rekannya tampak membawa sebuah tandu. Orang orang mulai merubung. Seorang laki-laki terluka parah. Lambungnya penuh darah. Kata orang-orang laki-laki itu tertembak. Sepertinya, aku mengenalnya, Vira. Tapi di mana? Laki-laki berjambang dan berkumis lebat itu tampak mengaduh dan mengerang. Aku kenal suaranya. Aku gemetaran.

“Abuchik!” jeritku kaget. Aku menghambur ke arahnya. Paman menoleh kepadaku. Mulutnya bergerak, tampak ingin mengatakan sesuatu. Sejenak ia mengejang beberapa kali, seperti meregang nyawa. Kemudian ia terpejam untuk selama-lamanya. Aku menangis. Aku sama sekali tak pernah menyangka kami akan bertemu dan berpisah selama lamanya. Samar-samar, kudengar orang-orang membicarakan pamanku. “Maaf, ada yang kenal siapa nama laki-laki ini?” tanya seorang tenaga medis. “Dia Tengku Ahmad, betul, meski berewokan kami mengenalinya.” Jawab seseorang. “Tengku Ahmad memang lagi dicari-cari tentara. Ia petinggi GAM di Aceh Tengah”, jawab laki-laki lain.”Kasihan dia, dia orang baik sebenarnya. Mengapa harus berakhir seperti ini” kata lainnya lagi.

“Abuchik, tak mungkin……”, desisku. Betulkah Apa yang mereka katakan tentang pamanku? Aku mengenal Abuchik sejak aku kecil. Ia adalah paman yang saleh, baik, dan penuh perhatian. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi ayahku sendiri. Sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa paman adalah musuh negara. Sanggupkah aku? Entahlah Vira, aku tak tahu. Airmataku mulai kering.

“Vira, aku kembali terserang demam. Kali ini, lebih parah. Saat aku menulis catatan ini badanku masih menggigil. Aku hanya bisa pasrah. Dokter Husein tidak menjawab apapun tentang penyakitku. Ia hanya menyuruhku tawakal. Tapi aku melihat kecemasan yang luar biasa pada mata dokter itu. Vira, aku tutup catatanku ini sebagai akhir dongengku tentang Aceh untukmu. Tolong sampaikan ucapan terimakasihku pada Dokter Husein, atas ketulusannya yang tak bertepi selama ini.

Vira yang baik, aku rindu kamu.

Aku juga rindu pelangi damai di bumi Acehku.

Sahabatmu,

Cut Romlah.

Catatan:

Abi: Ayah;

Abuchik: paman;

Makcut: bibi













ja ne...

Saktiharjo

Tak ada yang lebih menarik bagi para warga desa Saktiharjo, selain kejadian aneh bin ajaib yang sering terjadi di desa tersebut. Kalau kau mau, kau bisa ngerasani sambil makan gorengan di warung Bu Sum atau ngopi di warung kopi Pak Burhan. Aseli! Jauh lebih menarik daripada ngantheng nggak jelas nonton gosip artis kurang kerjaan di TV.

Jadi, jangan heran kalau hampir semua warga Saktiharjo mempunyai kemampuan verbal yang hebat. Mereka bisa mengelabui polisi, jika mereka penjahat. Mereka bisa membuat hakim pengadilan keseleo lidahnya, jika mereka pengacara. Atau menjadi anggota dewan yang bisa duduk manis di kantornya yang berAC, ongkang – ongkang kaki, jika mereka beruntung dalam pemilu legislatif.

Ada saja warga Saktiharjo yang bisa kau temukan di koran lokal maupun nasional. Bahkan jika kau beruntung, kau bisa melihat salah satu dari mereka muncul di TV nasional. Kalau sudah begitu, nyaris tak ada lagi bahan pembicaraan di arisan ibu – ibu, selain kenyataan bahwa tetangga mereka menjadi orang sukses yang muncul di TV.

Tapi, kau bisa saja tidak beruntung jika kau menjadi warga Saktiharjo yang tak diharapkan. Misalnya, kau membawa lari anak gadis Pak Ini atau menipu Pak Anu hingga ratusan juta rupiah. Kau sedang berada di tempat yang salah, Man. Kau akan digunjingkan terus – menerus, tanpa henti. Biasanya berakhir dengan dikucilkan. Itu kalau kau masih bisa bertahan. Kalau tidak, obat nyamuk cair, rel kereta api, atau tali, bisa menjadi pelampiasan terakhirmu. Serius! Hukum rajam bisa saja lebih baik daripada kau dan keluargamu menanggung malu seumur hidup.

Tapi kali ini, maaf ya, aku tidak akan bercerita soal bagaimana ‘luar biasa’-nya warga desa Saktiharjo seperti yang aku sebutkan di atas.

Bagi mereka yang pernah atau sedang tinggal di Saktiharjo, tempat itu laksana surga bagi mereka. Berada di bawah kaki gunung Merapi, desa Saktiharjo dikaruniai tanah yang subur, yang cocok ditanami apa saja. Pemandangan yang elok nan asri, masih belum tercemar banyak polusi, benar-benar membuat siapa saja yang datang ke sana selalu ingin kembali lagi.

Saktiharjo bukan saja sebuah desa yang sempurna di mataku. Saktiharjo adalah rumah keduaku. Aku mempunyai ikatan batin yang kuat dengan desa ini. Lima tahun lalu, ketika aku masih menjadi mahasiswa, aku dan kelompok KKN-ku ditempatkan di sana. Kami menyulap desa itu menjadi desa argowisata, membekali para penduduk desa dengan bahasa Inggris, dan mengajari mereka tentang teknologi informasi. Dan taraaaa.... Desa tersebut akhirnya menjadi tempat wisata yang wajib didatangi oleh para wisatawan yang sedang melancong ke Jogjakarta.

Setiap aku bertemu dengan sahabat-sahabatku yang berasal dari luar kota atau luar negeri, aku selalu ‘memaksa’ mereka untuk mengunjungi desa tersebut. Dan sudah tertebak ekspresi mereka setelah mereka mengunjungi desa tersebut, “Wow! Amazing!”. Dan aku selalu tersenyum puas melihat ekspresi mereka. Yes! Yes! Yes!

Akan tetapi, aku benar-benar patah hati ketika mendengar bahwa desa firdaus itu terkena bencana letusan gunung Merapi bulan November lalu. Aku yang bekerja sebagai reporter di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta ditugaskan untuk meliput kawasan yang terkena erupsi gunung Merapi.

Ketika sampai di desa Saktiharjo, sekujur tubuhku lemas. Desa yang aku kenal hijau tersebut menjadi gersang, tanahnya yang subur tertutup abu vulkanik, dan kalau tim SAR yang berada di pos tadi tidak memberitahuku bahwa yang ada di depan mataku saat ini adalah desa Saktiharjo, maka aku benar-benar tidak mengenalinya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pepohonan yang mati, batu-batu besar yang keluar dari dalam perut Merapi, dan abu vulkanik.

“Astaghfirullah... Kenapa bisa seperti ini?”, desisku.

“Ini desa yang selalu kamu ceritain, Wan?” tanya Mas Iqbal, kameramen yang bersamaku.

Aku mengangguk lemas. Lamaaa kami berdua terpaku melihat kekuatan sang Maha Besar dalam memberi cobaan bagi hamba-Nya.

Nduk Wandaaa... Nduk Wandaaa...”, dari belakang terlihat seorang perempuan paruh baya datang menghampiriku. Aku mengenalnya. Bu Siti, pemilik rumah yang dulu kutempati ketika KKN.

“Subhanallah.... Iki tenan kowe, nduk? Subhanallah... Ayu tenan saiki nganggo jilbab...”, Bu Siti tak henti-hentinya memuji penampilanku. Tak terlihat di wajahnya guratan kesedihan. Kami saling berpelukan. Dan aku menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.

Uwis, nduk. Uwis. Kami nggak apa-apa, kok. Ini memang sudah jalan yang ditakdirkan Gusti Allah”, hiburnya/.

Kemudian, Bu Siti mengajakku dan Mas Iqbal berjalan-jalan berkeliling desa Saktiharjo yang kini terkubur abu vulkanik. Ternyata, tanah yang sedang kami injak saat ini dulunya adalah rumah beliau. Bu Siti bercerita tentang terjadinya erupsi Merapi. Sehari sebelumnya, ia dan penduduk desa setempat sudah mengungsi ke daerah yang lebih aman setelah mendengar bahwa Merapi berstatus awas, sehingga tidak ada korban jiwa di desa ini.

“Alhamdulillah, nduk. Alhamdulillah. Gusti Allah maringi keslametan lan kesehatan saja itu sudah bagus”, ceritanya.

Bu Siti membawaku ke shelter yang ditempati oleh warga desa Saktiharjo, tak jauh dari desa mereka. Di sana, aku bertemu dengan sahabat-sahabat lamaku: Dian, Tari, Bayu, dan yang lainnya. Seperti layaknya reunian SMA, kami saling melepas rindu, berpelukan, dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka. Anehnya, tak ada acara tangis-tangisan. Susah payah kutahan air mataku supaya tidak keluar. Ckckck, mereka memang luar biasa, pikirku.

“Wah, ngetop nih. Sering muncul di TV”, canda Bayu padaku.

“Minta tanda tangannya, dong”, pekik yang lain. Gerrr, kami semua tertawa terbahak-bahak.

Pancen kalian tu sakti tenan”, kataku.

“Lha wong namanya saja kami warga desa Saktiharjo, Mbak Wanda. Ya harus sakti, dong”, sambung Tari. Sekali lagi, kami tertawa terbahak-bahak.

“Yang lalu, biarlah berlalu. Yang penting sekarang, kami semua harus bisa menatap masa depan. Kalau ditangisi terus, kapan majunya, ya kan?” kata Dian.

“Betullllllllllll”, jawab kami kompak.

Itulah mereka, sahabatku, keluargaku. Boleh saja desa Saktiharjo yang benar-benar indah dan luar biasa sekarang sudah tidak berbentuk lagi, tetapi aku yakin bahwa di setiap diri warga desa tersebut, tersimpan keinginan untuk membangun kembali desa firdaus mereka yang baru, entah di mana.

“Mereka hebat ya, Wan”, kata Mas Iqbal ketika dalam perjalanan pulang ke Jakarta setelah satu minggu kami tinggal bersama mereka.

“Iya, dong. Kami, warga Jogja, memang hebat! Waktu gempa kemarin, kami cepat bangkit. Sekarang, setelah bencana Merapi, kami juga cepat bangkit”, kataku mantap.

Suatu hari nanti, kalian mau kan bertandang ke desa firdaus yang baru?



Bantul, 7 Juni 2011



Keterangan:

Nduk: panggilan untuk anak perempuan Jawa

Iki tenan kowe, nduk?: Ini benar-benar kamu?

Ayu tenan saiki nganggo jilbab: Cantik sekali sekarang memakai jilbab

Uwis: sudah

Gusti Allah maringi keslametan lan kesehatan: Allah memberikan keselamatan dan kesehatan

Shelter: tempat penampungan; tempat perlindungan

Gerrr: suasana ketika orang-orang tertawa bersamaan

Pancen: memang

Tenan: benar