Minggu, 26 Februari 2012

Manis Itu Madu (KKN)

Kurang dari lima bulan lagi, aku KKN. Aku Insya Allah bakal KKN di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Harusnya, aku ikut KKN tahun lalu, tapi karena ada *cough* salah perhitungan *cough*, aku melewatkan KKN tahun lalu dan malah bersenang-senang di negeri orang. Hahaha. Padahal, sebagian besar temanku melewatkan bulan Juli-Agustus tahun lalu dengan mengabdi di pelosok daerah yang tersebar di penjuru negeri.

Mwahahaha.... *kok aku malah ketawa?*

Tapi justru dengan mereka KKN dan aku *cough* bersenang-senang di negeri orang, kami malah punya cerita sendiri-sendiri dan bisa saling melengkapi. Mereka cerita gimana rasanya tinggal selama kurang lebih dua bulan di daerah yang mungkin mereka baru tahu kalau ada tempat seperti itu di Indonesia, ada yang *cough* nyaris cinlok-cinlokan #eyaaa (bahkan ada yang sampai cinlok beneran), dan ada yang sebenernya menghabiskan waktu di lokasi KKN dengan jalan-jalan. Mereka yang kusebut terakhir itu sebenernya liburan, tapi berkedok KKN

-_-“

Nah, setelah aku ‘kenyang’ dengan cerita pengalaman-pengalaman KKN teman-temanku yang seru-seru itu, sekarang giliranku yang Insya Allah akan mengalami apa itu KKN. Beberapa orang yang kukenal, memberiku komentar kenapa aku baru KKN tahun ini (antar semester pula!), misalnya kayak gini:

“Kenapa baru KKN sekarang?”

Sebelum masuk ke intinya, aku mau ngomong, “Kenapa guweh baru KKN sekarang itu masalah buat eloh?” *pake gaya bicara Soimah*. #kibaskibasrambut
Ini adalah komentar sekaligus pertanyaan terbanyak yang aku dengar. Sebelas dari sepuluh orang yang kukenal mengatakan itu (hmm... datanya perlu dipertanyakan nih.haha). Dan haruskah aku menjelaskan kenapa aku baru KKN sekarang? Jujur, aku nggak terlalu suka ditanyain kayak gini. Karena bakal ketahuan kalau aku nggak KKN tahun lalu karena keteledoranku sendiri. Aku salah perhitungan. Bukan perhitungan jumlah minimal SKS ya. Sori dori mori stroberi. SKSku waktu itu sudah diatas 100 dan dengan bangga, nilaiku nggak ada yang C. Mwahahaha... Tapi oke-oke, dengan berat hati aku bakal cerita kenapa aku bisa nggak KKN tahun lalu.

Tahun 2010 lalu, ibuku melihat iklan guede di koran: salah satu maskapai penerbangan negara tetangga yang akhir-akhir ini semakin terkenal di Indonesia, bikin promo gede-gedean tiket murah ke negeri orang. Siapa yang nggak mau coba? Kami langsung pesan tiket dan berangkatnya baru setahun kemudian --tahun 2011--. Tapi belakangan aku baru ingat kalau angkatanku bakal KKN tahun itu juga dan di bulan yang sama dengan keberangkatan kami. Dan melihat temanku yang harus batalin KKNnya ‘cuma’ gara-gara harus ke Jepang selama dua minggu, aku jadi galau. Tapi akhirnya aku mikir, “Hey babo Fia, KKN pasti ada tiap tahun. Tiga kali pula. Kalau kesempatan jalan-jalan ke negeri orang, kesempatannya belum tentu setiap tahun ada, kan?”. Hahaha... Akhirnya, voilaaa... aku nggak ikut KKN. The End. Fin. Owari. Oke. Puas? -_-“

“Ayo KKN di luar (pulau) Jawa!”

Ini yang ngomong biasanya temenku yang kebetulan KKN di luar (pulau) Jawa, semacam Sarah atau Azam. Entah kenapa ya, KKN di luar (pulau) Jawa sekarang lagi ngetren gituh. Banyak tawaran buat KKN di sana. Dan biasanya, temanya nyaris sama semua: pariwisata. Ini kalian mengabdi pada daerah-daerah atau malah plesiran, sih? -_-“

Awalnya, aku nggak mau munafik kayak orang-orang-yang-nggak-suka-SM*SH-waktu-kemunculan- pertama-SM*SH-tapi-habis-itu-mereka-bikin-boiben-girlben-yang-geje-parah, ya, aku dulu sempet kepingin KKN di luar (pulau) Jawa. Gara-garanya ya itu tadi, cerita-cerita mereka-mereka yang beruntung pernah mencicipi indahnya panorama kepulauan Indonesia –selain pulau Jawa, tengtunya—. Kayaknya asik gitu. Tiap hari jalan-jalan ke pantai pasir putih, lihat pemandangan alam yang indah, dan lain-lain. Tapi, entah kenapa, semakin ke sini, aku mikir bahwa aku sudah telat ikut KKN, skripsiku menanti, dan aku nggak boleh terlalu pilih-pilih lokasi KKN. Yang penting KKN. Dan memang orang tuaku sepertinya agak kurang merelakan anak gadis satu-satunya KKN di luar (pulau) Jawa. Hahaha... Sing cedhak wae lah, yang penting diniati mengabdi pada masyarakat.

“Kenapa ambil KKN Antar Semester? Kenapa nggak ambil KKN Semester Genap?”

Ini lagi -_-“.

Salah satu yang tanya kayak gitu adalah DPAku. Beliau kayaknya kepingin aku lulus tiga setengah tahun supaya bisa mematahkan kutukan “mahasiswa-Sastra-Jepang-itu-lulusnya-lama” atau “tutor-INCULS-yang-udah-pewe-sama-kerjaannya-biasanya-lulus-lama”, atau malah lebih parah lagi karena menggabungkan semuanya: “mahasiswa-Sastra-Jepang-yang-jadi-tutor-INCULS-itu-lulusnya-lama”.

-____-“

Balik lagi ke komentar kenapa aku ambil KKN antar semester (Juli-Agustus). Awalnya, itu juga salah perhitungan (lagi). Aku ngiranya kelompok KKNku ini ikut KKN yang semester genap. Tapi begitu tahu anggotanya rata-rata angkatan 2009, aku jadi curiga. Ternyata bener, kelompok KKNku ikut program yang antar semester. Yah sutralah. Aku udah PW sama anak-anaknya. Hahaha...

“Waaaahh... Kamu ikut KKN Antar Semester ya? Enak dong, bisa nyantai nggarap skripsinya. Semangat!”.

Ini komentar yang paling aku suka. Aku lupa siapa yang komentar gini, tapi yang jelas komentar kayak gini memancaran aura positif buatku dan malah bikin aku tambah semangat. ^^

“Ati-ati lho, Fi. Ntar cinlok”
...

“KKN? So last year banget deh” (Azam)
No comment -_-“

-----------------------------------------------------------

See?
Itulah tadi komentar-komentar yang kudapat ketika mereka tau kalau aku bakal KKN semester ini. Alhamdulillah, aku sudah pewe sama teman-teman kelompokku yang rata-rata penduduk pribumi Magelang(an) dan rata-rata berasal dari dunia pewayangan Fakultas Peternakan. Untuk saat ini, aku adalah satu-satunya makhluk yang berasal dari dunia persilatan jurusan Sastra Jepang. Tapi tak mengapa. Justru dengan nggak ada orang yang kukenal di tim KKNku, (serius. Nggak ada yang kukenal dari mereka, sampai akhirnya kami kenalan. Ya iyalah) aku bisa lebih tahu kemampuanku beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru. Semakin ke sini, teman-teman KKNku rupanya juga semakin mulai memercayaiku karena dengan riangnya mereka memintaku menjadi KORMATER SOSIO-HUMANIORA (SOSHUM). Kormater adalah sebutan untuk komandannya para anggota tim KKN dari masing-masing kluster (nggak tau kluster? Makanya KKN dong! Haha). Sosio-Humaniora (soshum) adalah sebutan bagi bidang-bidang ilmu persilatan yang kebetulan letak bangunannya berada di sekitar jalan Sosio-Humaniora, Bulaksumur, UGM. Misalnya dari dunia persilatan Fakultas Ilmu Budaya aka FIB (itu aku!), Fakultas Ekonomika dan Bisnis aka FEB (tetangga depan FIB yang sekarang baru aja gedung pencakar langitnya selesai dibangun), Fakultas Psikologi (tetangga samping FIB), Fakultas Filsafat (tetangga serong FIB, samping FEB), Fakultas Hukum (belakang2 lah pokokmen tempatnya), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik aka FISIPOL (mie ayam di kantinnya asoy), dan ya kalau ada yang kurang maaf-maaf saja. Hahaha maaf ya belum tahu kan kalau aku jadi kormater nanti kayak gimana. Mwahahahahaha.... -_-“

Oke, mulai serius ya. Aku sih nggak menganggap KKN itu sebagai beban kok. Aku nganggapnya malah KKN itu kayak program Muballigh Hijrah (MH)-nya SMA Moehi yang dulu pernah aku ikutin waktu kelas 2 SMA. Tapi bedanya programnya lebih serius dan waktunya lebih lama empat kali lipat. Hmm nggak tahu apa itu MH? MH itu semacam program rutin yang diadakan sama ekskul CMM (Corps Muballigh Moehi) –kalau di sekolah-sekolah negeri, semacam rohisnya lah—setiap bulan Ramadhan selama 10 hari. Di situ, kita sifatnya borantia alias sukarelawan yang sebelumnya diseleksi. Tugasnya mirip-mirip KKN: mengabdi pada masyarakat daerah, tapi lebih ke agamanya. Ya ngisi pengajianlah, tadarusan lah, ngajar TPAlah, macem-macem. Asik banget. Dan aku harap sih KKN juga seasik MH. Bahkan mungkin lebih asik lagi.

Hmm betewe, KKN boleh bawa hewan peliharaan nggak ya? Aku nggak tega ninggal hamsterku di rumah :’(


ja ne...

Rabu, 08 Februari 2012

Curhat Pra-Monkasho

Salah satu dari sekian banyak dari sifat burukku adalah diam. Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kuceritakan sama orang-orang, tapi nggak bisa ku lakukan. Waktu kecil, aku kadang dinakalin sama temanku. Tapi aku cuma diam. Nggak cerita sama siapapun, termasuk sama orang tuaku. Sejak itu, diam ketika dapat masalah sudah jadi kebiasaanku. Aku menikmati alur perjalanan masalah-masalahku. Lagi-lagi sendirian. Rasanya asyik, menurutku. Aneh memang. Padahal, sebenarnya aku bisa saja minta solusi teman atau keluarga atas masalah-masalahku itu. Tapi aku nggak mau. Alasannya? Nggak tahu. Nggak ada alasannya, mungkin.

Dan mungkin dengan diamnya aku, kadang-kadang aku merasa apatis dengan keadaan sekitar. Ya, bisa jadi aku terlalu asyik mahsyuk dengan duniaku dan masalah-masalahku sendiri. Kalau ketahuan ibuku, biasanya aku langsung dimarahin karena nggak peduli, egois, dan cenderung anti sosial. Hahahaha.

Sebenarnya, salah satu kejadian paling menyebalkan dengan kebiasaan diamku adalah ketika ada sesuatu yang terjadi di sekitarku dan aku mengetahuinya. Kadang-kadang aku nggak bisa mengekspresikan dengan benar perasaanku yang sebenarnya ketika melihat atau merasakan atau mengetahui kejadian itu. Saking bingungnya dan takut salah berekspresi, lagi-lagi, aku cuma bisa diam. Termasuk ketika aku merasa simpati dan peduli. Aku cuma diam. Dan menurutku, itu parah. Karena ketika kejadian-kejadian tersebut sudah berlalu dan meninggalkan sesuatu yang tidak bisa disebut baik, aku menyesal, "Kenapa aku nggak gini, kenapa aku nggak gitu". Tapi jangan dikira aku nggak berpikir pada saat itu. Aku berpikir kok. Aku selalu berpikir apa yang harus kulakukan untuk bisa menjadikannya lebih baik atau lebih ringan. Tapi terkadang, ujung-ujungnya aku cuman bisa bertanya-tanya dalam hati, "Aku nggak bisa ini-itu. Aku bisanya apa, coba?"

Apa coba, aku bisanya?
Diem?

ja ne...