Kemarin,
aku mengantar Arga berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan kelas atas, sebut
saja X, di sebuah mall di Jogja *ribet ya*. Jujur saja, aku jarang sekali masuk
ke X karena harga barang-barangnya yang tidak temenan dengan dompetku. Hahaha. Masuk
ke X, sama saja dengan makan hati. Hahaha. Meskipun yaaah, kadang-kadang
ungkapan “Ada harga ada rupa” itu benar adanya. Sigh. Aku sempat bertanya usil
padanya, “Ada ya orang yang mau beli kaos biasa, tapi enolnya sampai banyak begini”.
Dan… Bertanya padanya saja itu sebuah ‘kesalahan’ karena dia menjawab begini, “Ada.
Aku. Hahaha”. Dan aku bertanya lagi, padanya, lagi-lagi sebuah pertanyaan
bodoh, “Trus kenapa mereka mau-maunya sih beli barang mahal begini?”.
Dia
menjawab sambil memilih-milih barang, “Gengsi, Fi. Gengsi.”
Lalu aku
diam. Aku teringat beberapa kerabatku yang nggak mau memakai tas, baju, sepatu,
perhiasan, parfum, dan semacamnya, kalau tidak bermerk dan harganya kurang dari
ratusan ribu. Itupun yang angka awalnya angka kecil, ya. Aku juga sempat
terbelalak ketika membaca sebuah sampul majalah bisnis yang dibeli bapakku,
yang judulnya ditulis besar-besar, pokoknya isinya tentang seorang artis
perempuan, terkenal, dan cantik, yang tidak percaya diri kalau tidak memakai
tas yang branded yang harganya
puluhan juta. Ada lagi teman-temanku di sekolah dulu –enggak di SMP atau di SMA—yang
bisa ditebak: tas, sepatu, jaket, cardigan, sweater,
jam tangan, semuanya bermerk dan mahal. Dulu, mungkin saja ada ungkapan di
kalangan teman-temanku --yang semacam itulah--, kalau tidak pakai barang
bermerk dan mahal, tidak gahol. Oh ya ampun, aku baru ingat, waktu kelas 2 SMA,
guru Sosiologiku pernah memberi angket tentang merk-merk barang (tas, sepatu,
jaket, dll) apa saja yang masuk ke dalam kategori “kelas atas”, “kelas menengah”,
dan “kelas bawah”. Hasilnya, bikin aku
kaget. Tas yang selama ini kupakai, yang kubangga-banggakan karena keawetannya,
dan orang tuaku berkali-kali bilang kalau merk tas itu termasuk merk “elit”,
ternyata di mata teman-temanku masuk ke dalam kategori “kelas bawah”. Yah,
jangankan aku. Guruku pun juga kaget.
Tapi, entah
kenapa, aku tidak peduli. Mind setku
sama dengan mind set ibukku: selama
benda itu bagus, murah, dan diskonan, kenapa harus beli barang yang mahal. Tas
ya tas. Tas mahal dan tas murah toh fungsinya sama: sama-sama diisi
barang-barang kita. Sepatu ya sepatu. Fungsinya juga sama-sama untuk alas kaki.
Mungkin kalau dari segi keawetan dan kekuatan barang, ya aku akui, ada beberapa
yang kalah. Dan sejauh ini, aku belum pernah punya masalah yang berhubungan
dengan barang-barang yang kupunya dan kegengsian. Yah setidaknya teman-temanku
bukan tipe yang “Ah eloh nggak pakai barang branded,
berarti eloh nggak bisa masuk ke geng kita, eloh itu nista” atau “Ih, merk
apaan tuh. Merk kayak yang eloh pake itu lebih cocok buat kucing Persia guweh.
Eh tunggu, kucing Persia guweh justru pakai yang lebih mahal daripada eloh”.
Untungnya, mereka bukan tipe yang begitu :|.
Hebat, ya
gengsi itu. Sekaligus bikin repot. Karena enggak murah. Dalam arti yang
sebenarnya lho ini. Dan sebagai mantan mahasiswa Ilmu Budaya, aku menganggapnya
sebagai sebuah fenomena yang layak diamati, didiskusikan, dan ditulis di blog.
Hahaha. Mulai lagi nih kuliahnya. Kalau mau pakai istilah kerennya, ya hedonisme.
Bagi orang-orang hedonis, hidup itu cuma satu kali; kesenangan dan kenikmatan
materi itu nomer satu, jadi bersenang-senanglah selagi masih bisa. Iya nggak?
Bener nggak? Kalau iya, iyain aja deh. Kalau enggak, tetep iyain aja deh.
*maksa*. Dan aku pernah baca di internet kalau pandangan tentang hedonisme itu
sudah ada sejak Yunani Kuno. Yang paling terkenal ya Mbah Epikurus dengan
doktrinnya “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena esok
engkau akan mati”. Entah kenapa tiap denger ini, aku jadi merinding disko :|.
Ujung-ujungnya,
postingan ini kuakhiri dengan antiklimaks, seperti biasa. Aku bingung harus
mengakhirinya dengan cara bagaimana. Pokoknya, kalau kau membaca ini dan merasa
kalau kau adalah tipe hedonis, aku tidak menjudgemu.
Aku hanya menjadikanmu sebagai objek pengamatan dan fenomena budaya. Karena
begitulah cara kerja kami eh aku. Hehehe.
ja ne...