Jumat, 22 Februari 2013

Gengsi yang Mahal




Kemarin, aku mengantar Arga berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan kelas atas, sebut saja X, di sebuah mall di Jogja *ribet ya*. Jujur saja, aku jarang sekali masuk ke X karena harga barang-barangnya yang tidak temenan dengan dompetku. Hahaha. Masuk ke X, sama saja dengan makan hati. Hahaha. Meskipun yaaah, kadang-kadang ungkapan “Ada harga ada rupa” itu benar adanya. Sigh. Aku sempat bertanya usil padanya, “Ada ya orang yang mau beli kaos biasa, tapi enolnya sampai banyak begini”. Dan… Bertanya padanya saja itu sebuah ‘kesalahan’ karena dia menjawab begini, “Ada. Aku. Hahaha”. Dan aku bertanya lagi, padanya, lagi-lagi sebuah pertanyaan bodoh, “Trus kenapa mereka mau-maunya sih beli barang mahal begini?”.

Dia menjawab sambil memilih-milih barang, “Gengsi, Fi. Gengsi.”

Lalu aku diam. Aku teringat beberapa kerabatku yang nggak mau memakai tas, baju, sepatu, perhiasan, parfum, dan semacamnya, kalau tidak bermerk dan harganya kurang dari ratusan ribu. Itupun yang angka awalnya angka kecil, ya. Aku juga sempat terbelalak ketika membaca sebuah sampul majalah bisnis yang dibeli bapakku, yang judulnya ditulis besar-besar, pokoknya isinya tentang seorang artis perempuan, terkenal, dan cantik, yang tidak percaya diri kalau tidak memakai tas yang branded yang harganya puluhan juta. Ada lagi teman-temanku di sekolah dulu –enggak di SMP atau di SMA—yang bisa ditebak: tas, sepatu, jaket, cardigan, sweater, jam tangan, semuanya bermerk dan mahal. Dulu, mungkin saja ada ungkapan di kalangan teman-temanku --yang semacam itulah--, kalau tidak pakai barang bermerk dan mahal, tidak gahol. Oh ya ampun, aku baru ingat, waktu kelas 2 SMA, guru Sosiologiku pernah memberi angket tentang merk-merk barang (tas, sepatu, jaket, dll) apa saja yang masuk ke dalam kategori “kelas atas”, “kelas menengah”, dan “kelas bawah”.  Hasilnya, bikin aku kaget. Tas yang selama ini kupakai, yang kubangga-banggakan karena keawetannya, dan orang tuaku berkali-kali bilang kalau merk tas itu termasuk merk “elit”, ternyata di mata teman-temanku masuk ke dalam kategori “kelas bawah”. Yah, jangankan aku. Guruku pun juga kaget. 

Tapi, entah kenapa, aku tidak peduli. Mind setku sama dengan mind set ibukku: selama benda itu bagus, murah, dan diskonan, kenapa harus beli barang yang mahal. Tas ya tas. Tas mahal dan tas murah toh fungsinya sama: sama-sama diisi barang-barang kita. Sepatu ya sepatu. Fungsinya juga sama-sama untuk alas kaki. Mungkin kalau dari segi keawetan dan kekuatan barang, ya aku akui, ada beberapa yang kalah. Dan sejauh ini, aku belum pernah punya masalah yang berhubungan dengan barang-barang yang kupunya dan kegengsian. Yah setidaknya teman-temanku bukan tipe yang “Ah eloh nggak pakai barang branded, berarti eloh nggak bisa masuk ke geng kita, eloh itu nista” atau “Ih, merk apaan tuh. Merk kayak yang eloh pake itu lebih cocok buat kucing Persia guweh. Eh tunggu, kucing Persia guweh justru pakai yang lebih mahal daripada eloh”. Untungnya, mereka bukan tipe yang begitu :|.

Hebat, ya gengsi itu. Sekaligus bikin repot. Karena enggak murah. Dalam arti yang sebenarnya lho ini. Dan sebagai mantan mahasiswa Ilmu Budaya, aku menganggapnya sebagai sebuah fenomena yang layak diamati, didiskusikan, dan ditulis di blog. Hahaha. Mulai lagi nih kuliahnya. Kalau mau pakai istilah kerennya, ya hedonisme. Bagi orang-orang hedonis, hidup itu cuma satu kali; kesenangan dan kenikmatan materi itu nomer satu, jadi bersenang-senanglah selagi masih bisa. Iya nggak? Bener nggak? Kalau iya, iyain aja deh. Kalau enggak, tetep iyain aja deh. *maksa*. Dan aku pernah baca di internet kalau pandangan tentang hedonisme itu sudah ada sejak Yunani Kuno. Yang paling terkenal ya Mbah Epikurus dengan doktrinnya “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena esok engkau akan mati”. Entah kenapa tiap denger ini, aku jadi merinding disko :|.

Ujung-ujungnya, postingan ini kuakhiri dengan antiklimaks, seperti biasa. Aku bingung harus mengakhirinya dengan cara bagaimana. Pokoknya, kalau kau membaca ini dan merasa kalau kau adalah tipe hedonis, aku tidak menjudgemu. Aku hanya menjadikanmu sebagai objek pengamatan dan fenomena budaya. Karena begitulah cara kerja kami eh aku. Hehehe.
 

ja ne...

Minggu, 17 Februari 2013

Ketika Aku Masih Kecil dan Bapak-Ibukku

Ketika aku kecil, aku nggumun tiap liat sepasang suami-istri dgn anak-anak mereka dan si suami bisa dengan riang bercanda dengan si istri. Aku berpikir kalau mereka aneh.
Dulu, aku merasa kalau semua orang tua seperti ibuk-bapakku. Ternyata, tidak. Setelah sedikit besar, aku baru mengerti. Justru keluarga yang bapak-ibuknya ngobrol santai, itulah yang normal. Memang cara berkomunikasi ibuk-bapakku saja yang sedikit spesial dan cenderung 'aneh'.

Ketika aku kecil, aku iri dengan sepupu-sepupuku yang tiap pulang sekolah, mereka selalu disambut hangat oleh ibu mereka. Ibukku hampir tidak ada di rumah ketika aku pulang sekolah. Makan siangku selalu diurusi oleh nenek, bapak, atau bulek-bulekku.

Ketika aku kecil, aku sebal jika diinvestigasi oleh ibukku setiap hari tentang jajanan yang kubeli. Aku selalu berbohong tidak pernah beli es lilin. Padahal, aku sering beli. Lagi-lagi, aku iri dengan teman-temanku yang diperbolehkan orang tuanya jajan es.

Ketika aku kecil, aku paling malas berangkat ngaji. Ustadzahnya galak. Dan ibukku nggak ngerti. Aku merengek nggak mau berangkat. Dan ibukku mengancam akan menjualku kalau aku tidak mau ngaji. Jadilah aku menangis keras sekali, dibonceng sepeda sama ibukku, berangkat ke tempat ngaji, dan ibukku teriak-teriak sepanjang jalan, "Dijual anak, dijual anak". Tangisanku makin keras.

Ketika aku kecil, aku manut saja diajarin oleh bapakku tentang julukan-julukan aneh untuk ibukku. Kami selalu membicarakannya dengan riang gembira. Dan ketika aku mencoba mempraktikkannya langsung, aku dimarahi habis-habisan oleh ibukku. Ah tentu saja.

Ketika aku kecil, bapakku sering bercerita yang aneh-aneh. Imajinasinya luar biasa. Suatu ketika, ia bercerita tentang ikan paus yang makan manusia. Aku belum tahu tentang sejarah Nabi Yunus as atau Kakek Gepeto waktu itu. Aku pikir, enak sekali hidup di perut ikan paus. Bisa makan jeroannya langsung. Fresh from the oven. Dari situ, aku sempat kepingin hidup di perut ikan paus. Nah, yang ini, lain cerita. Bapakku pernah bercerita kalau dia ingin memelihara tikus raksasa yang tingginya sama dengan pintu rumah. Katanya untuk berjaga-jaga kalau ada maling masuk, tikus raksasa akan menyerang maling itu dan memakannya. Dan aku sempat percaya kalau tikus seperti itu benar-benar ada.

Ketika aku kecil, aku sempat bingung dengan pekerjaan bapakku. Penyiar radio atau pemilik kursus broadcasting atau penyuplai pemancar radio untuk radio-radio pemda seluruh Indonesia atau....pencipta lagu satire? Ya, bapakku suka membuat lagu-lagu, plesetan dari lagu terkenal, dan liriknya diganti dengan lirik-lirik jenaka. Biasanya isinya...tentang kelakuan orang lain. Aku senang sekali menghapalnya. Sampai-sampai aku nggak percaya kalau nada lagu itu sebenarnya sudah ada sejak dulu --bukan bikinan bapakku--.

Ketika aku kecil, bapakku sering pergi ke luar pulau Jawa. Pesanan pemancar radio untuk radio-radio pemda sedang luar biasa banyaknya. Di setiap hotel yang ia tinggali, bapakku nggak pernah lupa memberi tahu nomor telepon hotel pada kami, supaya bisa setiap hari berkomunikasi. Pernah suatu saat, bapakku ada proyek di Kalimantan dan itu lamaaaaaaaa sekali, sebulan mungkin. Setiap hari, ibukku nggak pernah absen menelpon hotel bapakku. Saking seringnya aku menyimak percakapan ibukku ketika menelpon, aku sampai hapal kalimat pembukanya. Jadi, kadang-kadang aku berpura-pura sedang menelpon bapakku, dengan kalimat yang sama, saking kangennya.

Ketika aku kecil, aku sering  dimarahi oleh ibukku kalau pilih-pilih makanan.Ya, ibukku yang kalian kenal manis, bersahabat, suka bercanda, dan lain sebagainya, bisa berubah super galak kalau aku rewel soal makanan. Untuk membujukku makan, ia selalu menceritakan tentang orang-orang dan anak-anak di Uganda, Bosnia, atau Irian (Papua) yang banyak yang nggak bisa makan karena kelaparan atau perang. Yap, di usia TK, aku sudah tahu kalau ada negara yang bernama Uganda dan Bosnia yang pada waktu itu dilanda kelaparan dan perang. Percaya tidak percaya, cara itu cukup manjur buatku. Sekarang, aku jadi orang yang tidak pilih-pilih makanan. Hahaha

Begitulah orang tuaku. Itu baru sedikiiiiit cerita tentang aku dan orang tuaku ketika aku masih anak-anak. Tidak akan ada habisnya kalau aku cerita tentang mereka di sini. Dan tentunya, aku sangat bersyukur memiliki mereka. Mereka tidak pernah memaksa kehendak mereka untuk urusan yang menyangkut pilihan hidupku. Mereka juga tidak pernah membatasi aktivitasku dan justru mendukungnya, selama itu positif dan membuatku bahagia. Mereka  selalu mempercayaiku, mempercayai pergaulanku --yang untungnya, sejauh ini, teman-teman yang kupunya sangat baik--, dan aku selalu berusaha untuk tetap menjaga kepercayaan mereka. Larangan-larangan mereka yang sering membuatku sebal, karena merasa kalau mereka sangat overprotektif, justru baru kurasakan manfaatnya sekarang. Mereka tahu karakterku yang kadang-kadang labil, tempramen, meledak-ledak *eh sama saja ya*, harus (lebih tepatnya 'dipaksa') 'dikontrol' dengan cara mereka sendiri, untuk menjagaku dari hal-hal yang aneh-aneh. Tak terhitung lagi terima kasih yang harusnya kukatakan pada mereka. Dan yang pastinya ucapan maaf yang lebih banyak karena sampai saat ini, aku belum menjadi anak yang baik bagi mereka.

Selamat ulang tahun pernikahan ke-23, ibuk-bapak. Kalian pasti bahagia. Ya, pasti. Jarak usia yang panjang, 18 tahun, membuktikan bahwa tak ada hubungannya antara cinta dan keinginan yang bersatu. Tapi ya itu, ada satu hal yang cukup mengganjal buatku hari ini: dengan usia bapakku yang sudah tidak muda lagi --usia yang sangat pas untuk dipanggil 'kakek', aku bahkan belum kepikiran untuk menuju ke arah 'sana'. Doo shiyoo? *kok malah curcol ya*. 

ja ne...