Minggu, 03 Maret 2013

Menjadi Orang yang Tertutup itu Tidak Enak

"Hei, kau. Aku sudah menceritakan banyak hal tentang diriku. Kenapa kau malah diam saja dan tidak bercerita tentang dirimu?"

Suatu hari, beberapa tahun lalu, aku dikejutkan dengan pertanyaan seperti itu, yang dilontarkan oleh  (seseorang yang dulunya adalah) teman dekatku. Aku terpekur (?) mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba dan menjawab dengan bingung, "Mmm... Aku harus cerita apa?". "Cerita apa saja", katanya. Aku semakin bingung. Jadinya, aku malah cerita tidak karuan, hanya sepersekian persen dari ceritaku yang benar-benar menceritakan tentang diriku. Tidak seimbang dengan ceritanya yang menghabiskan waktu berjam-jam, hanya untuk cerita tentang dirinya. Sungguh. Aku tidak bohong lho. Berjam-jam.
Aku jadi merasa agak bersalah dengan temanku ini. Karena selanjutnya, dia protes padaku, "Udah? Ceritamu cuma segini?". Oh yeah. Aku menyerah, Kawan. Aku menyerah.

Lain waktu, aku dan kawan dekatku (yang lain) terlibat obrolan seru. Dia bercerita banyak hal tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang perasaannya, tentang masalah-masalahnya, tentang pemikiran-pemikirannya, dan lain-lain. Lagi-lagi, aku hanya jadi pendengar. Tidak bisa mengimbangi ceritanya. Hanya sekali-sekali aku berbicara. Tapi kali ini, aku justru makin gelisah. Karena di awal percakapan dia bercerita bahwa dia orangnya sangat tertutup, sama sepertiku. Tetapi, dia memberiku kepercayaan penuh sebagai orang yang dianggapnya tepat untuk bisa berbagi. Aku jadi makin gelisah. Sudah sedekat ini hubungan kami, tapi aku justru masih sulit untuk berbagi dengannya.  Cerita-cerita yang sering kulontarkan selalu dangkal, sedangkan dia justru bisa dengan entengnya menceritakan hal-hal yang sangat pribadi, yang (katanya) belum pernah ia ceritakan pada orang lain.

Malamnya, aku mengirim pesan kepada temanku itu. Intinya, permintaan maaf karena tidak bisa menjadi teman yang baik karena suliiiit sekali ketika harus bercerita tentang diriku sendiri, tentang perasaanku, dan lain sebagainya. Namun, aku juga menambahkan bahwa 'ceritaku yang dangkal' itu pun juga tidak kuceritakan pada sembarang orang, malah justru ada beberapa bagian yang belum pernah kuceritakan pada orang lain. Dia lalu menghiburku dengan jawabannya: bahwa kami sama-sama masih dalam 'proses' saling mempercayai, bahwa dia menghargai usahaku untuk terus terang dalam beberapa hal, bahwa dia merasa kalau aku menjadi lebih terbuka daripada saat awal kami berkenalan, dan sebagainya. Hahaha.

Sampai saat ini, aku masih belajar untuk bisa membuka diri. Setidaknya pada satu orang, temanku itu. Karena menurutku, lebih baik ada satu orang yang tahu apa yang kamu rasakan dan kamu pikirkan, daripada hanya disimpan sendiri dan tidak ada seorang pun yang tahu. Memendam semuanya sendiri dan tidak bisa terbuka pada orang lain itu menyesakkan lho, sungguh. Berbeda ketika kamu mempunyai seseorang yang kamu percaya dan kamu bisa menceritakan padanya tentang perasaanmu atau masalahmu. Meskipun dia tidak bisa membantu, setidaknya kamu lega karena kamu sudah bisa berbagi cerita pada orang lain. Aku pun demikian. Meskipun masih 'baru', aku sudah mulai mencoba untuk tidak hanya menceritakan hal-hal --yang menurutnya-- "yang ada di permukaan". Beruntungnya aku, karena temanku ini, berani sekali menegurku ketika 'penyakit lama'ku itu sedang 'kumat'. Sebelumnya, yaaa, tidak ada yang berani (atau mau?) melakukan ini padaku. Hahaha.
"Kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan sekarang?". Itulah pertanyaannya ketika aku sedang 'kumat'. Dengan wajah tersengak dan nada bicara paling menyebalkan yang pernah kudengar. Tapi memang harus dibegitukan sih, supaya aku mau bicara.


ja ne...