Kamis, 05 Juli 2018

Aku, Tas Punggung, dan Tomo’o



Ini adalah curhatanku tentang tas punggung. Tas punggungku ini hampir berusia 3 tahun. Sekaligus penanda debutku sebagai pelanggan setia toko online Amazon. Tas punggungku ini menyimpan banyak cerita tentang sebagian besar petualanganku di Jepang; kuajak ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain; kubawa ia dari kota megapolitan Tokyo yang mahasibuk hingga puncak gunung di Mie, desa di Toyama, dan kota mahasepi Tottori. Ia juga kuajak berkenalan dengan G-Dragon dan kawan-kawan, sehingga ia bisa melihat sisiku yang lain sebagai seorang pemuja budaya pop. Ketika aku melepas rindu dengan Jogja, tasku ini selalu kubawa. Ia adalah saksi bagaimana aku melepas rindu dengan keluarga, kawan-kawan, hingga seseorang-yang-ingin-dilupakan-tapi-tidak-bisa-dilupakan. Hahaha.

Tas punggungku ini sehat walafiat sebenarnya. Tak ada tanda2 yang menunjukkan bahwa aku harus melepaskannya karena ia sudah tak bisa dipakai lagi. Tapi karena sesuatu hal, sejak pertengahan bulan Mei aku harus beristirahat memakai tas punggung. Sejak saat itu aku beralih ke tas bahu serta tas slempang. Meski pada akhirnya aku bisa memakai tas yang selama ini jarang sekali aku pakai (sampai-sampai aku nggak nyangka ternyata aku punya tas bahu banyak sekali), aku sering mengeluh betapa merepotkannya setiap hari harus membawa banyak tas. Bagiku, tas punggung adalah salah satu identitasku. Fia tanpa tas punggung, bukan Fia namanya. Kesannya jadi seperti kehilangan identitas ya hahaha. Setiap kali aku bertemu dokter, hal yang sama yang selalu kutanyakan adalah “Apa saya sudah boleh bawa tas punggung?”. Yang tentu saja dijawab dengan gelengan kepala oleh sang dokter. Aku jadi berisik sekali pokoknya. Karena kalau pakai tas bahu, tanganku jadi tak bebas. 

Kalimat terakhir tadi sebagian kusadur dari komik Tomo’o. Setiap kali aku mengeluh betapa semakin ribetnya hidupku tanpa tas punggung, aku selalu teringat pada salah satu cerita Tomo’o. Suatu hari, tas ransel Tomo’o (tahu kan tas ransel ala2 anak SD Jepang, seperti tas ransel Nobita) rusak. Tentu saja itu petaka bagi ibunya karena tas ransel ala anak SD Jepang itu jutaan rupiah harganya. Tomo’o merengek minta tas baru yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh ibunya (iyalah Tomo’o sudah kelas 5 SD sayang sekali kalau harus beli baru). Ibunya lalu memutuskan untuk membawa tas Tomo’o yg rusak ke tempat reparasi tas. Tapi karena tas Tomo’o adalah tas versi jadul, onderdilnya (?) harus dipesan dulu di pabrik, sehingga butuh waktu yang lama untuk diperbaiki. Tomo’o mutung, nggak mau sekolah karena takut diejek teman-temannya. Ibunya lalu memberi alternatif, pinjam tas bahu kakak perempuannya yang bergambar ‘cewek banget’ atau mendapat hukuman. Tomo’o mengalah. Ia berangkat pakai tas kakaknya. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, ia diejek teman-temannya, “Tanganmu jadi tak bebas, nggak gaul! Hahaha”. Tapi ajaibnya, lama kelamaan, teman-teman sekelasnya justru melihat tas bahu Tomo’o menjadi suatu tren baru. Teman-temannya pun berangkat ke sekolah pakai tas bahu yang lucu-lucu. Suatu hari, teman Tomo’o dari kelas lain mengejek tren baru itu, yang dibalas oleh Tomo’o dan kawan-kawannya dengan “Kamu pakai tas ransel dan tanganmu jadi bebas, itu nggak gaul tau hahaha”. 

Tomo’o pun jadi mengalami stardom, ia adalah trendsetter, ia berani mengambil keputusan untuk tampil beda di antara lingkungannya yg homogen. Ia bangga pada dirinya sendiri: “Gaul itu kalau tanganmu jadi tak bebas”. Namun lagi-lagi, ia harus mengalami suatu konflik lain: tasnya yang diperbaiki sudah selesai! Nggak bisa dong tiba2 ia balik lagi ke tas ransel di saat semua temannya ngikutin gaya dia. Nggak konsisten namanya ye kan. Nah habis itu, dia bikin keputusan yang nantinya akan membuatnya sadar betapa sebenernya menjadi trendsetter itu bukan hal yg krusial. Ia memutuskan untuk menghancurkan sendiri tasnya yang baru diperbaiki itu! Yang tentu saja ibunya marah luar biasa: pantatnya dipukul sampai ia nggak bisa nangis lagi; kakaknya sudah ogah minjemin dia tas bahu karena keteledoran Tomo’o sendiri. Ibunya lalu menyebut bahwa tas ranselnya itu bukan sembarang tas. Tas itu adalah hadiah dari kakek nenek Tomo’o karena ia masuk SD. Makin bersalah dong ya Tomo’o. Ibunya lalu memaksa Tomo’o untuk menelpon kakeknya, disuruh minta maaf. Kakeknya lalu berjanji untuk memberi Tomo’o tas baru lagi.

Sembari menunggu tas baru itu datang, ibunya memberinya alternatif lain lagi (setelah kupikir-pikir ibunya Tomo’o memang banyak akal ya!): buku-buku Tomo’o diikat dengan tali seperti zaman dulu. Tentu saja ia diejek oleh teman-temannya, tapi lagi2 Tomo’o bikin tren baru lagi di kelasnya: teman2nya jadi ikut-ikutan pakai tali. 

Setelah beberapa lama, tas baru yang dijanjikan kakeknya pun datang. Tapi ternyata bukan ‘tas’ yang datang, tetapi alat untuk bawa kayu bakar yg digendong di punggung bikinan kakeknya. Agak susah menjelaskannya, tapi bagian belakangnya itu macam kursi. Kakeknya rupanya ingin mengajarkan pada Tomo’o: bukan masalah bagaimana kamu ke sekolah pakai apa: mau pakai tas ransel kek, mau pakai tas bahu kek, atau mau pakai tali, tapi yang terpenting adalah ilmu pengetahuan. Ilmu itu lebih berharga dari dunia kebendawian (?) yang kamu punya. Agaknya kakeknya mencontoh tokoh cendekiawan Jepang super terkenal, Ninomiya Sontoku, yang patungnya banyak dipajang di SD-SD di Jepang: sosok anak kecil miskin yang berjalan membaca buku sambil menggendong kayu bakar di punggungnya (kalau kamu nonton anime Ghost at School pasti tahu itu). Di akhir cerita, Tomo’o yang ke sekolah sambil bawa ‘tas baru’ itu bertemu dengan anak kelas 1 SD yang nangis karena jatuh saat berangkat sekolah. Tomo’o pun memanfaatkan ‘tasnya’ itu untuk membawa anak kelas 1 ke sekolah.

Setelah aku nulis ringkasan super panjang di atas, aku baru sadar: ibu Tomo’o dan kakek Tomo’o selalu memberikan alternatif. Kalau emang nggak bisa ke sekolah pakai tas punggung ya pakai yang lain! Selama masih ada alternatif, jangan ngeluh! Masih untung aku punya banyak tas bahu. Kalau nggak mau berat ya dikurangin barangnya. Disortir seketat mungkin sampai nggak ngoyo bawanya. Lagian, pakai tas bahu itu bikin gampang kalau mau ambil dompet; nggak usah susah2 mindahin tas punggung ke depan kalau kereta penuh; bisa muat belanjaan banyak kl tiba2 harus belanja; dan mungkin ada banyak manfaat lainnya yang aku belum tahu. 

Di bulan ketiga sejak aku berhenti pakai tas punggung, aku harus bisa mulai menerima kenyataan hahaha. Mengistirahatkan bahu kiri lebih penting daripada pakai tas punggung. Dan toh suatu saat nanti aku pasti bisa nggendong tas punggung lagi. Hanya masalah waktu. Ye kan.