Rabu, 27 Februari 2019

Toxic + Positivity = Toxic Positivity

Orang-orang di sekelilingku memang kebanyakan adalah tipe yang optimis, selalu berpikir positif, dengan aura yang menggelegar. Kepribadian mereka ini ada kalanya membuatku iri: kepribadianku tidak secerah itu, aku tidak pandai bergaul, tidak bisa basa basi...
Bergaul dengan mereka sangat menyenangkan. Berbicara hal-hal yang baik, menyegarkan suasana, tertawa, diskusi yg sangat mendidik...
Dan aku, sampai detik ini, percaya bahwa kekuatan dari segala hal yg berbau positif itu akan membuat hidupmu bahagia.
Namun di sisi lain, aku justru kadang merasa lelah.
Dan akhir-akhir ini: eneg.

Pernahkah dari kalian ketika curhat dengan orang lain, komentar yang keluar dari mulutnya adalah:
“Apa yang kamu alami sekarang masih mending, it could be worse kalau blablabla”
“Kamu seharusnya berpikir postif”.
“Seharusnya kamu bersyukur”.

Jika kamu adalah tipe orang yang ketika mendengar nasehat semacam itu merasa terpacu untuk bisa menjadi yang lebih baik...ya, baiklah.

Tapi sayangnya, aku bukan tipe orang seperti itu.
Ketika aku mendengar komentar (aku nggak akan sebut itu sebagai ‘nasehat’) seperti itu, yang ada aku akan merasa lebih buruk, menjadi semakin tidak merasa berharga, dan kadang-kadang ada kalanya... aku pengen ninju orangnya, bukan nampar ya, ninju (serius ini).

Segitunya kah aku sampai-sampai aku dicap sebagai orang yang tidak bersyukur? Apakah usahaku untuk bangun pagi, memutar playlist ‘Morning Song’ (aku beneran mengumpulkan lagu-lagu dengan beat ceria dan lirik lagu gembira di ponselku dan menamainya sebagai ‘Morning Song’ dan kuputar TIAP PAGI), minum kopi  supaya kafeinnya bikin aku ‘girang’ seharian, ngidol Korea, Netflix-an,  motret-motret, dan journalling supaya aku bisa healing, supaya aku bisa terus berpikiran positif, supaya aku terus bisa melewati hari, itu semuanya sia-sia?
Atau karena curhatanku yang menurut mereka ‘ndak penting’ atau ‘lebay’ sehingga bisa dianggap receh dengan komentar semacam itu?

Aku sadar betul bahwa maksud mereka baik, menyebarkan kepositivan (?) mereka supaya aku feel better. Tapi masalahnya, aku merasa ini tidak adil: menyamaratakan standar bahagia dan standar positif mereka ke orang lain. Jujur saja di sini, aku merasa dihakimi, bukannya merasa lebih baik.

Aku baru tahu kalau ini ada istilahnya: “toxic positivity”. Silakan gugling jika ingin tahu lebih jelas.

Aku percaya kalau setiap orang punya caranya sendiri untuk healing dan terus berpikir positif. Tapi tolong hindari ‘toxic positivity’. ‘Positivity’ saja sudah cukup, nggak usah pakai ‘toxic’

Jadi, kalau suatu hari kalian lihat aku sedang bad mood atau aku curhat tentang hari berat yang kulalui, bilang saja “You have worked hard, Fia”, “Semangat, Fia”, “Kamu pasti bisa”, “Kamu sudah melakukan yang terbaik”, “Ini aku kasih meme receh”, “Ayo makan enak”, “Mau karaoke?”.

Receh? Iya. Tapi itu adalah hal-hal yang secara ajaib bisa bikin aku menjadi lebih baik”..

Have a nice day semuanya.