Minggu, 15 Januari 2023

Aku Ternyata Feminis Sebelum Aku Sadar Aku adalah Feminis

 If you know me well, yes. Aku adalah tipe yang nggak segan mengatakan bahwa aku adalah feminis di setiap media sosialku. Aku senang membagikan uneg-uneg, pendapatku, pandanganku tentang isu-isu kesetaraan gender, isu keberagaman, dan isu-isu lain di media sosialku yang mungkin membuat sebagian orang kurang nyaman dengan postinganku. Hahahaha. Yha tapi gimana, ternyata susah membuatku berhenti membagikan isu-isu tersebut di media sosialku hahaha.

Tapi kalau ditanya orang, sejak kapan aku menjadi feminis? Aku berpikir lama. Aku harus mengorek-ngorek event-event tertentu dalam hidupku yang membuatku menjadi feminis. Apakah ketika aku S-1 dan ada mata kuliah 'Multikulturalisme' yang di dalamnya membahas feminisme? Apakah ketika aku  yang mulai sadar soal keberadaan kelompok minoritas gender saat ada festival film queer di kotaku, yang tak lama setelah aku meninggalkan venue acara festival film, ada ormas yang men-sweeping acara itu sampai akhirnya acara itu dibatalkan? Apakah ketika aku mulai mengangkat isu perempuan dan feminisme di skripsiku?

Tapi setelah dipikir-pikir, kok kayaknya lebih awal dari itu semua. Maksudnya, sebelum aku menjadi mahasiswa S-1. Tapi kapan?

Hari ini aku mendapat jawabannya. HAHAHA ya ampun. Sepenting ini sampai-sampai harus aku tulis di blog.

Meski tumbuh di lingkungan homogen yang sarat diskriminasi gender (hehehe), kedua orang tuaku memperlakukanku dan adik laki-lakiku dengan setara. Apalagi ibuku sendiri seorang feminis. Sedikit banyak, pola pikir ibuku juga memengaruhi caraku berpikir, bertindak, dan merespons isu-isu perempuan. Dan karena aku ada bakat ngeyel sejak lahir, setiap kali aku diperlakukan diskriminatif di lingkunganku, biasanya aku akan memberontak. Sudah bakat emang sih wkwkwk.

Pola pikir mengenai kesetaraan yang sudah tertanam secara tidak sadar sejak aku kecil itu membuatku merasa bahwa perempuan bisa melakukan apapun, tanpa harus disekat oleh labelling dari masyarakat, hanya karena aku perempuan. Dan meski lingkunganku sering mendikteku untuk menjadi 'perempuan baik-baik', 'perempuan yang melakukan hal yang "pantas" bagi perempuan', orang tuaku sendiri sangat moderat dengan pilihan-pilihan hidupku. Dan ya itu tadi, ternyata itu memengaruhi cara berpikirku.

Nah ternyata, soal kesetaraan itu tadi, ada satu masa dalam hidupku yang membuatku berani mengatakan saat ini: inilah momen ketika aku sebenarnya sudah menjadi feminis, tanpa aku sadari.

Kelas 4 SD hingga SMP, aku tergila-gila dengan sepak bola. Ketika SMP, bahkan sampul binderku adalah Michael Owen 😅 (yang tau siapa dia, fix! Kita tua! 😅). Sepak bola, sebuah dunia yang didominasi oleh laki-laki, yang di mata masyarakat awam, susah ditembus perempuan. Padahal ada masa ketika aku ingin menjadi pemain sepak bola perempuan. Inspirasiku waktu itu Mia Hamm, pemain sepak bola perempuan asal Amerika Serikat.

Kecintaanku pada sepak bola waktu itu beneran besar, sampai-sampai aku nggak tahu gimana caranya supaya bisa mengekspresikan itu. Yang aku bisa saat itu cuma menulis. Dan lahirlah cerpen pertamaku hahahaha. Ingat banget judulnya: 'Si Tomboy'. Kayaknya cerpen ini aku tulis ketika SD. Atau SMP? Lupa.

Tokoh utamanya adalah perempuan yang suka sekali sepak bola. Dia rela begadang untuk nonton sepak bola. Dia juga ingin menjadi pemain sepak bola perempuan. Tapi, dia menghadapi masalah. Ayahnya tidak suka dengan hobinya. Menurut ayahnya, sepak bola adalah dunia laki-laki. Perempuan tidak pantas bermain sepak bola. Tokoh utama cerpenku (aku lupa namanya wkwk) tidak terima. Sepak bola menurutnya adalah olahraga yang bisa dinikmati dan dimainkan oleh siapa saja, termasuk perempuan. Akhirnya, ia benar-benar berusaha membuktikan pada ayahnya bahwa hobinya bukan sia-sia. Ia bisa mendapat nilai yang bagus di sekolah, meski ia begadang nonton sepak bola dan sering main sepak bola. Ayahnya akhirnya luluh dan tidak mempermasalahkan hobi anaknya itu.


Klasik banget ya ceritanya. Tapi dari cerita yang aku buat itu, secara tidak langsung aku sudah ter-"aha!" mengenai kesetaraan gender. Bahwa perempuan juga bisa berkontribusi di ranah publik, bahwa perempuan juga sudah seharusnya mendapat tempat di segala aspek kehidupan, setara dengan laki-laki. Tokoh utama di dalam cerpenku yang ingin bisa menjadi pemain sepak bola perempuan juga ternyata membuktikan bahwa secara nggak sadar, aku sudah aware dengan diskriminasi gender. Diskriminasi yang di dalam masyarakat patriarki banyak dialami oleh perempuan....hanya karena mereka perempuan.  Secara nggak sadar pula, aku sebenernya sudah tahu bahwa perempuan harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, bahkan di dunia yang --aku membenci istilah ini-- didominasi laki-laki.

Cerpenku di atas, yang bahkan kubuat sebelum aku mengenal istilah feminisme, membuatku sadar bahwa ternyata bisa jadi aku sudah menjadi feminis tanpa aku sadari HAHAHAHA. Bahwa ternyataaa pola pikir, pandanganku terhadap isu-isu perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme itu bukan proses yang instan, bukan karena aku sekolah di Jepang dan belajar gender lalu aku "Wow, aku feminis! Taraaaa!". Ternyata ada proses berpikirku yang luar biasa panjang hingga aku bisa mengatakan secara terbuka di media sosialku: Saya feminis! 

Note: aku percaya bahwa 'feminis' hanya labeling. Kalau kata Ueno Chizuko-sensei, profesor emiritus dari Tokyo University sekaligus feminis kenamaan Jepang, yang bisa mengatakan bahwa seseorang adalah feminis adalah dirinya sendiri. Kamu mendukung kesetaraan gender tapi nggak mau disebut feminis juga nggak papa kok.

Kamis, 11 Februari 2021

Memaafkan Itu Pasti, Melupakan Itu yang Susah

Di saat PMS mulai menyerang, ada suatu pola ketika aku berada dalam kondisi mimpi hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu (yang tidak baik tentunya) dan terbangun keesokan harinya dengan rasa gugup dan panik luar biasa. Pola ini sudah dimulai sejak tahun lalu (atau dua tahun lalu?). Mimpi itu adalah mimpi saat aku SMA dan teman-teman SMA-ku. Aku benci sekali masa SMA-ku. Teman-teman sekelasku menjauhiku, mengata-ngataiku di belakangku (like WTF, said it to my face). Aku lupa sejak kapan dan kenapa tapi itu berlangsung selama tiga tahun SMA-ku. Aku pikir ketika aku naik ke kelas XI, semuanya akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Entah mungkin karena aku memiliki idealisme yg berbeda dibanding teman-temanku atau entah aku pernah mengatakan hal yang tidak baik, tapi mereka semua memusuhiku. Dan aku tidak bisa menceritakannya pada orang tuaku, bahkan. Aku baru bisa menceritakannya ketika aku sudah menjadi mahasiswa S1. Dan sampai sekarang, mereka tahu, betapa bencinya aku dengan masa SMA-ku. Hal paling gila yang pernah teman-temanku lakukan adalah ketika aku dan tiga temanku setuju dengan sistem pengacakan kelas ketika naik ke kelas XII. Namun ternyata, sebagian besar murid lain nggak setuju dan melakukan demo mogok belajar (WTF). Teman-teman sekelasku yang tahu bahwa kami tidak setuju akan hal itu, menuliskan kata 'mati' di samping nama kami. Siapa yang nggak takut diteror begitu? Kami berempat langsung melapor pada guru BK, yang sayangnya sama sekali tidak membantu kami. 最低. Ada lagi? Banyak. Aku paling benci jika aku harus lewat lorong depan kelas di saat teman-teman sekelasku yang laki-laki duduk di sana. Mereka akan dengan sengaja menggunakan kaki mereka untuk menjegalku atau mengata-ngataiku dengan sindiran-sindiran. (aku menulis ini dengan tangan gemetaran dan ingin menangis) Teman-temanku akan 'baik' padaku kalau ada maunya. Seperti misalnya meminjamkan PR atau memberi contekan saat ujian. Karena kebetulan, aku termasuk murid yang nggak bodo-bodo amat di kelas. Sebegitu parahnya saat teman-teman SMA-ku mem-bully-ku, efeknya semakin parah seiring bertambahnya usiaku. Sudah 13 tahun memang sejak aku lulus SMA. Tapi setiap hari kenangan tentang masa SMA-ku menghantuiku setiap malam sebelum tidur. Ada masa ketika aku ke-trigger berita tentang perundungan di koran elektronik, dan aku harus menyampaikan hal itu pada psikiaterku dengan setengah menangis. Ada di satu masa ketika akhirnya aku nge-unfollow akun-akun Instagram teman-teman SMA-ku yang dulunya mem-bully-ku. Rasanya memang lega sekali. Tapi tetap tidak bisa membuatku lupa dengan semua perlakuan mereka. Entahlah gimana mereka sekarang. Kuliah, lulus, bekerja, menikah, punya anak. Mungkin mereka bisa tidur setiap hari dengan damai, tanpa ada kenangan masa SMA yang mengusik mereka. Bisa hidup dengan tenteram dan damai. Sedangkan aku, harus mengingat hal ini. Seumur hidup, mungkin. Aku masih ingat kenapa aku memulai menulis blog ini. Karena teman-teman sekelasku membuat blog kelas. Dan ada satu postingan tentang profil teman-teman sekelas. Dan bagianku? Tulisan paling kurang ajar yang pernah ditulis tentangku. "Mencari kates (pepaya) di Jepang". 'Kates' itu mungkin merujuk pada bentuk payudaraku. Aku syok. Tapi nggak bisa melawan karena posisiku yang lemah. Namun ternyata tulisan itu justru menjadi doa yang baik untukku. Sepuluh tahun kemudian, aku tinggal di Jepang. Dan tahun ini sudah tahun keenamku. Hati-hati deh dengan perkataanmu. Aku memang benci masa SMA-ku. Benci sekali. Benci pada teman-temanku yang mem-bully-ku, benci pada sistem sekolah yang tidak berpihak padaku saat itu. Tapi, aku sudah memaafkan semuanya. Hanya saja untuk melupakan, tentu saja aku nggak bisa. Terima kasih untuk kalian yang dulu pernah merundungku ketika SMA. Terima kasih sudah membuatku mimpi buruk selama dua tahun ini. Terima kasih sudah membuatku selalu marah setiap kali aku mengingat perlakuan kalian padaku. Semoga kalian bahagia dan sehat selalu.