Jumat, 29 April 2016

Pergi ke Dokter Gigi di Jepang (Part 2?)

Note: Postingan ini lagi-lagi saya ambil dari akun media sosial saya. Hahaha. Saya semalam (28 April) nulis ini di akun Path saya. Ini adalah cerita dari pertemuan kelima di dokter gigi. 

Dokter gigi cantik itu senyum-senyum, tetapi tiba-tiba mukanya serius. Wah ada yang nggak beres ini, batin saya.

"Jadi gini, Mbak Alifia", katanya memulai pembicaraan. Ditunjukkannya rontgent mulut yang pernah saya lakukan dulu sekali. Saya  mulai tegang.

"Gigi kamu yang tumbuh ada dua kan. Dan sama-sama posisinya nggak bagus. Meski yang kanan itu posisinya rebahan, saya masih belum terlalu khawatir, bisa kita bicarakan nanti. Nah kalau yang kiri....", tangannya menunjuk gambar gigi bungsu saya. "...saya khawatir  ini beresiko tinggi kalau dicabut. Karena posisinya dekat sekali dengan gigi di sebelahnya dan ini lho...saraf. Mau nggak mau kalau dicabut nanti bersisa. Dan itu yang bahaya. Kalau pun nggak dicabut juga bahaya".

"La...lalu baiknya gimana, Dok?" tanya saya yang sudah mencelos hatinya, badan saya secara otomatis melorot di kursi pemeriksaan.

"Kita perlu observasi yang lebih mendalam. Baru nanti bisa diputuskan sebaiknya gimana. Sayangnya di klinik ini belum ada peralatan yang canggih buat observasi kamu. Nanti saya akan rujuk kamu ke klinik di Saidaiji. Tau Saidaiji kan?". Saya mengangguk.

"Saya mau secepatnya, dokter", kata saya  memelas.

"Baik, nanti saya buatkan janji sama klinik di sana ya", katanya mulai ramah lagi.

Badan saya lemes seketika.

Buat orang yang belum pernah nambal gigi, gigi bolong, dan bermasalah sama gigi seumur hidupnya, seperti saya, ini luar biasa............bikin merindingnya.

Lalu di lab, saya bertanya pada kawan orang Jepang.

Me: "Pernah cabut gigi?"
Her: "Pernah, pernah."
Me: "Berapa ya harganya? Masih inget nggak?"
Her: "Nggak nyampe sejuta kok. Nggak semahal itu. Kamu di-cover BPJS* kan?"
Me: "Iya sih..."
Her: "Eh tapi sakit banget lho...."
Me: " ............"

*BPJS maksudnya Asuransi Negara Jepang ehehehe

Ah tauk ah. Nge-golden week sikik wae lah.

Baca juga: Pergi ke Dokter Gigi di Jepang (Part 1?)

Pergi ke Dokter Gigi di Jepang (Part 1?)

Note: Tulisan ini pernah saya posting sebagai status di akun Facebook saya, tertanggal 24 Februari 2016. Saya sunting di sana sini, supaya lebih enak dibaca (?)

PERGI KE DOKTER GIGI DI JEPANG
(Judulnya ala-ala banget)

Di Indonesia, saya juarang buanget ke dokter gigi. Karena saya nggak gitu suka alat-alat dan suara berdesing yg memekakkan telinga yg dimasukkan ke mulut saya. Hiiii.... Terakhir ke dokter gigi pas setahun lalu. Karena gigi saya tumbuh (yang kemudian 'to be continued' sampai saya di Jepang). Lalu oleh dokter gigi di Indonesia, katanya "Enam bulan lagi ke sini ya Mbak. Mau itu giginya udah besar atau tetap kecil terus. Mau itu giginya nggak sakit sekalipun, ke sini ya, supaya nanti ada tindakan selanjutnya". Yg tidak saya tindak lanjuti karena memang nggak ada keluhan apapun (dan males ke dokter gigi haha).

Bulan Februari lalu, saya kena batunya. Gigi baru saya tiba-tiba sudah besar dan posisinya ngga nyantai. Nggak sakit sih, hanya tidak nyaman. Dan mulai tumbuh sariawan di sekitar gigi itu. Wah, bahaya nih, pikir saya. Akhirnya saya memutuskan ke dokter gigi dekat kampus. Berbekal tanya kawan dan searching di internet tentang pengalaman orang Indonesia yang pernah ke dokter gigi di Jepang, saya akhirnya memberanikan diri. Terlebih di salah satu blog yang saya baca, ada yang menulis gini, "Rugi lho kalau belum pernah ke dokter gigi di Jepang". Ya udah, bismillah saja.

Sampai di klinik itu, saya disambut tiga perawat cantik yang super ramah. Salah satunya meminta saya menunjukkan kartu asuransi negara (kartu mahasakti pemberian pemerintah Jepang yang wajib dimiliki oleh segenap manusia yang tinggal di muka bumi Jepang --semacam BPJS--). Kemudian saya diberi formulir (semacam angket) yang perlu diisi sehubungan dengan kondisi saya: sakitnya di mana, di gigi sebelah mana, setiap hari sikat gigi berapa kali, tiap sikat gigi berapa menit, tidur berapa jam tiap malem. Hahahaha. Serius. Kliniknya pun nyaman, meski kecil. Hangat dan sayup-sayup diputar lagu nina bobok, yang dijamin deh kalau setengah jam saya disuruh nunggu di situ, wis tak tinggal tidur. Hahaha 😂. Setelah itu, saya dipanggil dan diperiksa. Oleh perawat. Bukan dokter. Begitu melihat gigi saya, sang perawat langsung menyarankan saya untuk di-rontgent giginya. Ya udah gak papa. Begitu hasilnya selesai, dia periksa gigi saya lagi dan berkata, "Wah, ada kemungkinan bakal ada satu gigi lagi yg nongol nih". Hahhhhhh? Lalu dengan senyum ramah, mbak perawat itu berkata lagi, "Ini karang giginya juga perlu dibersihin. Minggu depan ya". Ini yang paling saya nggak suka! Bersihin karang gigi! Haaaaah! Lalu nggak nyampe 15 menit duduk di kursi pemeriksaan, Mbak Perawatnya bilang, "Otsukare sama deshita. Udah selesai". Hah? Udah selesai??? Gitu doang? Saya cuma disuruh buka mulut, di-rontgent, gigi saya dielus-elus pakai alat (?), disenterin, disuruh ngaca (ya, saya disuruh ngaca! Hahaha), kumur-kumur. Selesai.

Lalu saya diminta nunggu sebentar. Kemudian, Mbak Perawat yg tadi meriksa saya bilang gini, "Minggu depan ke sini lagi ya. Hari xx jam yy. Kamu perlu dibersihin karang giginya, di-rontgent seluruh mulut, dan oh iya satu lagi. Bawa sikat gigi yang kamu pakai ya. Jangan lupa!". Bawa sikat gigi sendiri. Bau-baunya diminta latihan sikat gigi seperti yg saya baca di blog nih. Hahahaha. Dan oh iya, seperti yg sudah saya baca di blog, ke dokter gigi di Jepang itu ga cuma sekali. Apapun keluhannya. Dan perlu janjian. Hahahaha.

Minggu depannya, saya balik lagi ke dokter gigi. Agendanya adalah rontgent gigi seluruh mulut dan bersihin karang gigi. Saya datang 20 menit lebih awal dari jadwal yang disepakati. Saya pikir, saya diminta nunggu 20 menit sampai jadwal saya tiba. Etapi enggak ternyata. Begitu dateng, seperti dikomando, para perawat tsantik itu langsung meminta saya duduk di kursi pemeriksaan. Gigi saya dielus-elus lagi. Setelah itu, saya diminta untuk rontgent gigi. Karena prosedur, saya diminta untuk melepas jilbab. Yah gak papa. Perawatnya cewek semua toh ini. Nggak berselang lama, saya kembali duduk di kursi pemeriksaan. Gigi saya dielus-elus lagi. Sekejap kemudian, hasil rontgent sudah keluar. Intinya, gigi baru saya sudah besar. Dan posisinya kayak beruang rebahan (?). Tapi bukan itu yang jadi fokus perawatnya. Perawatnya menjelaskan tentang seluk beluk gigi saya secara umum, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada gigi saya (termasuk kemungkinan goyangnya beberapa gigi saya kalau nggak cepat-cepat ke dokter gigi. Oke yang ini agak serem 😮). Sepertinya sebelum masuk ke inti pemeriksaan --tentang gigi baru saya-- saya diminta terlebih dahulu untuk 'kenalan' sama gigi saya. Seperti apa gigi saya. Dan lain sebagainya. Lalu, karang gigi saya dibersihkan. Di tengah-tengah pembersihan karang gigi, dokter gigi --laki-laki-- masuk mengurus pasien lain. Posisi saya memang sedang tidak pakai jilbab pasca-rontgent itu. Saya mendengar para perawat bisik-bisik di belakang saya. Saya tahu mereka ngomongin saya. Tapi nggak tahu tentang apa. Sampai akhirnya, salah satu dari mereka berkata, "Ada laki-laki di sini. Kamu harus pakai jilbab". Waaaaaah! Malu sendiri sumpah! Hahahaha.

Oke, lanjut. Setelah karang gigi bagian bawah dibersihkan, perawat bertanya, "Bawa sikat gigi kan?". Dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya...jeng jeeeeng. Belajar menyikat gigi! Ini serius. Nggak bercanda. Dan saya antara pengen ngampet ngguyu dan pengen serius. Perawat memberikan contoh cara menyikat gigi bagian bawah dengan benar. Gigi saya disikatin 😂. Terus saya diminta nyoba sendiri. Geli sendiri. Hahaha. Lalu saya diminta ganti sikat gigi karena sikat gigi saya 'kurang baik dan kurang enak' buat nyikat gigi, katanya. Hahahahaha. Dan setengah jam kemudian...selesai! Saya nyusun jadwal janjian lagi. Dan minggu depan diminta datang lagi....untuk bersihin karang gigi bagian atas dan belajar nyikat gigi bagian atas. 😂😂😂😂😂😂😂😂

Hingga pertemuan kedua, belum ada pembicaraan serius mengenai mau diapakan gigi baru saya ini. Semoga baik-baik saja.

(Waktu nulis ini pun masih ketawa-ketawa geli. Hahahahaha)

Senin, 25 April 2016

Dilema Kartu Nama

Sebelum kuliah sore ini, aku dipanggil International Office kampus untuk briefing  interpreter (semacam) Dinas Pertanian Prefektur Nara bagi orang Indonesia yang akan berkunjung ke Nara esok Rabu (27/4). Seperti biasa, sapaan khas orang Jepang dengan penuh basa basi, membungkuk, lalu tukar-tukaran kartu nama.

Hanya aku yang diam mematung.

Para staf sekilas melihatku seolah ada yang aneh dengan diriku karena tidak mengikuti serangkaian 'ritual' perkenalan tersebut.

Dengan beribu-ribu maaf, aku mengatakan, "Aduh saya tidak punya kartu nama".

Sebenarnya aku berbohong. Aku punya kartu nama. Indonesian version. Tapi dengan bodohnya kutinggal di Jogja. Bahkan ketika aku pulang kampung Maret lalu, untuk kedua kalinya, kartu nama itu kubiarkan saja teronggok di kamarku.

Sebelum aku pergi ke Jepang, aku selalu menyepelekan kartu nama. Buat apa? Kenapa harus bikin? Toh kalau mau minta kontak orang, tanya saja orangnya langsung, atau tanya pada kawan yang tahu kontak orang tersebut. Beres. Kartu namaku yang kuceritakan di atas pun hanya sekadar formalitas untuk keren-kerenan sebelum lulus S1. Dan dari dua kotak kartu nama yang kupunya, aku hanya pernah memberikan kepada orang lain beberapa lembar saja.

Kena batunya kan aku sekarang karena tinggal di negara yang kartu nama diidentikkan dengan identitas, simbol supaya kamu bisa diterima di suatu komunitas. Aku bahkan pernah diajarkan secara khusus cara memberi kartu nama dan cara menerima kartu nama ala orang Jepang. Serius. Tidak main-main.

Maka sesungguhnya, kartu nama bukan hanya sebagai penunjuk jati diri, tetapi juga sekaligus media: "Kalau eloh butuh guweh, eloh tahu ke mana dan bagaimana eloh cari guweh". Kartu nama adalah sebagai pembuka jaringan. Pintu masuk networking. Apalagi di negara yang memaharajakan jejaring macam Jepang ini. Maka dari itu, perlakukanlah kartu nama yang kamu terima dengan sangat hati-hati. Mungkin kamu tidak membutuhkannya sekarang, tapi siapa tahu di masa depan kamu akan membutuhkannya. Begitulah kira-kira.

Aku jadi teringat ketika aku melawat ke Tokyo bulan Desember lalu. Aku menghadiri acara welcoming party para penerima beasiswa MEXT. Orang-orang dari belahan dunia berkumpul di satu tempat, bercengkrama, berbincang, berdiskusi, atau sekadar berbasa-basi. Dan tentu saja, aku bertemu banyak mahasiswa Indonesia. Salah satunya memberikanku kartu nama. Dengan bangga ia bercerita padaku bahwa kampus tempatnya belajar saat ini sengaja (ya, sengaja!) membuatkannya kartu nama sebelum ia datang ke Tokyo. Kampusnya sadar. Bahwa ini anak bisa jadi adalah jalan pembuka bagi kampus dia (dan tentunya, dia sendiri) ke arah jejaring yang mahaluas. MEXT gitu loh. Orang yang akan kamu temui di acara itu pasti bukan orang sembarangan, mungkin begitu pikir kampusnya. Aku sedikit iri dan minder. Karena acara itu kemudian menjadi ajang bagi-bagi kartu nama (dan seluruh ruangan seolah dipenuhi kalimat, "Kalau kamu mau ke tempatku, hubungi aku ya...") dan aku cuma plonga plongo geje sambil nggumun dengan atmosfir pertemuan yang membuatku semakin menciut.

Luar biasa sekali negeri ini. Aku bahkan belajar banyak hal hanya dari kartu nama. Kartu nama ternyata bukanlah kartu biasa. Kartu mahasakti yang bisa menjadi simbol kebanggaan kita terhadap diri sendiri.

Phew. Jangan lugu-lugu banget lah, Fi. -_-

Jumat, 15 April 2016

Tantangan Nge-Blog Fia

Sekarang saya sedang di dalam kereta. Dari stasiun Kobe-Sannomiya menuju Nara. Setelah baito (part time) yang asik. Alhamdulillah ditawari sebagai dosen tidak tetap untuk mengajar bahasa Indonesia di kampus swasta elit khusus cewek di Kobe. Hahahahaha. Pasti langsung ketebak kampusnya apa. Hahahaha.
Kali ini karena jaraknya lumayan jauh, satu setengah jam, makanya saya mau menantang diri saya untuk menulis sebanyak mungkin selama saya berada di kereta.
Jadi kalau memang ada absurd-absurdnya ya harap maklum. Hahahaha.
Saya kebagian tempat duduk. Alhamdulillah. Pas lagi rush hour banget karena barengan dengan jam pulang kantor.
Depan saya ada mbak-mbak pakai rok putih. Rok putihnya lucu banget. Tapi kalau saya yang pakai mungkin jadinya kayak karung beras ya hahaha.
Yah pada ngeliatin saya. Biasa sih. Kalau yang berpakaian dengan gaya yang menurut mereka nggak biasa pada dilihatin. Bodo' lah. Kalian ngomongin saya juga percuma, saya ngerti (dikit sih) yang kalian omongin. Hahahahaha.
Baru sampai Nishinomiya. Masih banyak stasiun yang perlu dilewati supaya sampai Nara.
Makan malam apa ya? Saya pengen Saizeriya sumprit. Ntar deh mampir Saizeriya di stasiun Kintetsu Nara.
Sekarang di Koshien. Kalau kalian baca Detektif Conan, nama Koshien muncul. Karena di sini terkenal dengan stadion baseball dan sekolah yang punya tim baseball teryahud di Jepang. Stasiunnya lumayan gede. Dan gak jauh dari situ ada stadion. Kalau lihat dari jauh sih lumayan keren.
Entah kenapa, saya kalau di kereta Jepang itu awkward banget bawaannya. Semuanya diam mematung. Jadi kalau mau ngapa-ngapain canggung. Ya elah emang di kereta mau ngapain sih? -_-.
Ya ampun, ada anak kecil di kereta. Lucu banget. Bule. Cewek. Lucu tenan. Ketawa-ketawa sama ibunya. Lumayanlah memecahkan kesunyian serba canggung ini.
Lihat aja deh reaksi orang-orang kalau ada anak kecil berisik di kereta. Etapi nenek-nenek depan mereka malah ikutan ketawa, diajak main juga sama anak kecilnya. Lucu.
Oh iya ngomong-ngomong soal kereta. Memang benar sih kalau kereta di Jepang itu nyaris gak pernah telat. Sejauh ini saya  baru sekali kena efek kereta telat. Eh salah ding. Lebih parah lagi: kereta berhenti. Di jam-jam tertentu gak beroperasi. Alasannya? Karena ada orang bunuh diri! Ya, bunuh diri. Bunuh diri dengan menabrakkan diri di kereta itu adalah salah satu teknik bunuh diri paling terkenal di Jepang. Yang tentu saja sang mendiang tidak merasa buat kacau sampai-sampai buat kereta berhenti. Penumpang terlantar. Oalah,  mau menjemput maut aja masih ngerepotin orang. Biasanya kalau ada kayak gitu, saya dapat info dari provider hape. Pernah saya dapet pesan kayak gitu dua kali dalam seminggu. Kayaknya memang orang Jepang tekanan hidupnya berat sekali ya. Mbuhlah.
Ini sudah di Amagasaki. Masih di Kobe. Ya kira-kira setengah jam lebih sejak saya berangkat. Kereta berhenti agak lama karena memang stasiun ini besar ya.
Betewe mas-mas salary man depan saya lagi baca komik. Detektif Conan. Hahahaha.
Oh biasanya juga saya kalau naik kereta sendirian, sambil dengerin headset. Sekarang lagi muter salah satu lagu favorit saya: 'Monster'-nya BIGBANG. Ya ampyang, sejak saya di Jepang, saya tergila-gila banget sama BIGBANG. Personil favorit saya adalah Kang Daesung. Hahahaha. Kalian yang tau BIGBANG pasti ketawa kan. Karena biasanya yang difavoritin itu T.O.P atau G-Dragon. Daesung ini mungkin idol Korea yang paling nggak ganteng. Nggak ganteng sama sekali, tapi suara dan attitude-nya yahud. Hahahahaha. Nah di video klip Monster ini, dandanannya Daesung yang paling saya suka karena akhirnya dia terlihat ganteng hahahahaha.
Betewe barusan masinis kereta keliling gerbong menyapa kami. Biasa itu. Nanti di ujung gerbong saya, Beliau bakal membungkuk hormat. Luar biasa ya.
Lumayan dingin juga di sini. Oh pintu keretanya terbuka. Hahahaha. Lagi ngetem di Nishikujo.
Jadi makin laper banget. Dan ngantuk banget. Kalau saya ketiduran pun nggak akan ketinggalan stasiun sih. Toh Nara tujuan akhir. Dan kalau sampai Nara tetap gak bangun juga bakal dibangunin kondekturnya. Hahahahaha.
Sudah sampai Osaka-Namba! Yey! Sekitar 40-50 menit lagi sampai Nara. Kena jeda sedikit karena teman ada yang pesan LINE-nya belum saya balas. Ngetem lama lagi karena memang salah satu tujuan utama ya. Makin banyak salary man yang masuk. Asal gak pakai mabok atau bau alkohol aja gak masalah. Saya gak kuat bau alkohol. Hueks.
Oh ternyata saya duduk di gerbong paling belakang hahahaha.
Laparlaparlaparlapar. Haaaaa.........
Sudah sampai Tsuruhashi. Masih di Osaka. Tapi perbatasan Nara. Bentar lagi nyampe Ikoma. Sudah masuk wilayah Nara. Tapi bagus lhoh Ikoma itu. Gunung. Ada kampus keren NAIST yang isinya banyak orang Indonesia. Dan sekarang banyak banget penumpang yang masuk kereta. Tiba-tiba kereta penuh. Zzzz.
Nanti banyak lagi yang naik dan turun di Ikoma. Tapi kalau sudah sampai Nara, langsung sepi keretanya hahahaha.
Dan sekarang ngantuk melanda. Absurd tenan.
Jadi makin awkward hahahahaha.
Tapi kalau mau ngerasain rush hour kereta Jepang sih katanya harus nyobain kereta di Tokyo. Katanya nggilani. Tapi waktu saya ke sana tahun lalu alhamdulillah sih gak pernah nemuin ya. Sampai nggak bisa gerak katanya. Hiiii.....
Sik sik bentar, ini sudah di mana ya? Hahahahaha. Ya ampyaaaang, baru di Ikoma cobaak. Duoh sampe Nara jam berapa ini? 😒
Saizeriya tutup jam berapa ya? Laper banget haaaaa.... Nah kan makin dekat ke Nara, makin absurd tulisannya. Hahahaha. Parah ya. Hahahahahaha. Nanti sebelum balik asrama beli susu dulu ah di sevel.
Sudah di Gakuemmae. Sekitar dua stasiun lagi sebelum nyampe Nara. Ayo semangat! Semangat melek dan tahan laper. Asal gak baper aja dijejerin mas-mas kece. Haha.
Yes, kereta bergerak menuju Yamato-Saidaiji. Di deket stasiun Yamato-Saidaiji ada mall Nara Family yang bakal ada Tokyu Hands akhir bulan ini. Jadi ya sekarang Nara mulai gahol membahenol ya hahahaha. Oh betewe saya akan berhenti nulis begitu sampai di stasiun Shin-Omiya ya. Karena jaraknya cuma 3 menit ke stasiun Nara. Eh gak jadi ding. Nulis sampai di Nara dong hahaha.
Sampai di Yamato-Saidaiji! Belum berhenti keretanya. Tapi udah pelan-pelan jalannya. Banyak orang yang bakal turun di sini sih. Karena tempat transfer untuk berbagai jurusan. Sayangnya gak ada jurusan ke hatimu *mulai lagi kan*. Ketoke aku wis kesuwen nang kereta. Hahahaha. Nah kan banyak yang turun di sini. Cuma tinggal beberapa orang aja. Sekarang kereta sudah jalan lagi ke Shin-Omiya. Jangan pada turun dong. Nanti saya ga ada temennya :(. Serem soalnya kalau malem-malem di Nara. Sepi banget dan gelap.
Nah sudah di Shin-Omiya. Yey! Bentar lagi. 3 menit lagi sampai Nara. Kok saya nggak laper sih jadinya. Tapi tetep butuh makan ya. Hiks. Di Shin-Omiya ada toko second hand favorit saya dan supermarket murah dan banyak tersedia makanan halal.
Yak! Sudah sampai Kintetsu Nara! Dengan berakhirnya perjalanan saya dari Kobe sampai Nara, maka saya akhiri juga postingan ini!
NARA! Hahahaha

Rabu, 13 April 2016

Frequently Asked Questions: Monbukagakusho Scholarships (MEXT) Research Student Program G to G (Rekomendasi Kedubes)

Semalam saya dapat informasi kalau pemerintah Jepang membuka kembali beasiswa program Research Student untuk keberangkatan 2017 (baca di sini untuk tahu seperti apa beasiswanya dan persyaratannya). Karena saya pernah mengalami (ohoks) seleksi beasiswa ini via Kedutaan Besar Jepang, (meski nggak lolos) saya ingin menulis tentang FAQ yang berhubungan dengan beasiswa ini.
(Meskipun saya saat ini mendapat beasiswa MEXT juga untuk S2 di Jepang, tetapi jalur saya berbeda, saya pakai metode U to U (University to University), nah yang akan saya bahas di sini adalah yang program G to G (Government to Government).

NOTE:
Saya tidak akan menulis (dan melayani) tentang pertanyaan-pertanyaan 'mainstream', seperti, "Deadline-nya kapan?"
"Persyaratannya apa?"
"Apa saja yang ditanggung beasiswa ini"
"Bidang studi apa yang ditawarkan?"
"Di mana saya bisa mencari universitas yang cocok untuk saya?"
Hehehe maap, maap :D

Q: Saya sama sekali tidak bisa bahasa Jepang, apa bisa apply beasiswa ini? 
A: Tentu saja bisa. Kalau Anda kurang pede dengan kemampuan bahasa Jepang Anda, Anda bisa kok menyasar (?) bidang studi yang diselenggarakan (?) dalam bahasa Inggris. Saat ini di Jepang banyak sekali universitas yang perkuliahannya menggunakan bahasa Inggris. Tapi tetap, saya sarankeun dengan amat sangat untuk belajar bahasa Jepang. Well, Anda akan tinggal di Jepang, maka belajarlah bahasanya juga. ;)

Q: Saat ini saya juga sedang apply beasiswa lain, apakah saya juga diperbolehkan apply beasiswa ini?
A: Sejauh pengalaman saya selama ini (hahahaha), tidak masalah, selama Anda juga tidak sedang apply untuk beasiswa MEXT via U to U. Tapi untuk lebih jelasnya, silakan hubungi narahubung pendaftaran beasiswa ini.

Q: Saya mendapat informasi kalau saya harus mencari profesor Jepang terlebih dahulu saat mendaftar beasiswa ini, apa itu benar?
A: Ihyes, Meskipun ada beberapa pihak yang mengatakan tidak perlu terlalu dini, saya tetap menyarankan Anda untuk mencari profesor Jepang. Kalau pengalaman saya, saya baru mencari profesor ketika saya dinyatakan lolos seleksi dokumen. Di sinilah kemampuan kepo Anda diuji. Saya langsung mencari SENDIRI  profesor Jepang yang sesuai bidang saya melalui website resmi kampus (biasanya di sana tertera nama profesor, bidang studi, dan alamat e-mail), lalu mengirim e-mail kepada Beliau. Kalau Anda tidak bisa bahasa Jepang, silakan kirim e-mail dalam bahasa Inggris. Mohon ditunggu balasan e-mail Beliau. Kalau dalam seminggu tidak dibalas ya cari profesor lain. Silakan googling sendiri bagaimana cara mengirim e-mail kepada profesor Jepang :).

Q: Apabila saya lolos seleksi dokumen, saya harus ikut tes tulis bahasa Inggris dan bahasa Jepang, tetapi saya tidak bisa bahasa Jepang, apa saya tetap harus ikut tes bahasa Jepang?
A: Tidak, tidak. Tidak perlu. Yang disarankan untuk ikut tes bahasa Jepang dan bahasa Inggris (jadi dua-duanya) adalah mereka yang bisa bahasa Jepang. Dan itu pun, dari dua tes yang diujikan --bahasa Inggris dan bahasa Jepang-- hanya akan dipilih satu yang nilainya tertinggi. Jadi misalnya, saya ikut tes bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Tapi ternyata nilai bahasa Inggris saya lebih bagus, maka yang akan dipertimbangkan untuk seleksi adalah nilai bahasa Inggris saya. Don't worry be happy :D

Q: Pada saat tes wawancara, apa saja yang perlu saya persiapkan?
A: Para pewawancara akan mengetes Anda dalam bahasa Inggris atau bahasa Jepang (buat Anda yang bisa bahasa Jepang). Lalu Anda akan ditanya pertanyaan mendasar "Kenapa pingin sekolah di Jepang?" dll. Yang perlu Anda perhatikan adalah pertanyaan mengenai rencana penelitian Anda. Berdasarkan pengalaman saya, saya keok banget di pertanyaan semacam ini. Jadi, kuasailah benar-benar rencana penelitian Anda. Kalau perlu, konsultasikan kepada dosen Anda atau ahlinya (?), Buatlah rencana penelitian Anda sebaik dan semenarik mungkin. Itu juga yang menjadi dasar penilaian di dalam seleksi dokumennya.

Q: Kira-kira butuh waktu berapa lama hingga akhirnya saya tahu bahwa saya benar-benar diterima beasiswa ini?
A: Tidak seperti beasiswa lain yang 'masa tunggu'-nya terhitung cepat, beasiswa satu ini benar-benar menguji kesabaran kita (hehe). Anda akan menerima notifikasi kalau Anda benar-benar diterima beasiswa ini di kampus pilihan Anda sekitar....bulan Januari. Lalu sambil menunggu, Anda diminta mengurus berbagai hal tetek bengek prosedur penerimaan segala macam. Jadi ya memang harus sabar :D.

Q: Saat ini saya juga sedang menempuh studi S2/S3 di Indonesia, apabila saya diterima beasiswa ini, apa yang perlu saya lakukan?
A: Tos! Samaan kita! Hahahaha. Saya juga sedang menempuh semester kedua saya di S2 Linguistik UGM ketika saya dinyatakan diterima beasiswa. Karena UGM tidak mengizinkan saya untuk cuti lebih dari dua semester dan saya hanya diberi waktu satu semester untuk cuti, saya akhirnya mengambil cuti satu semester di semester ketiga, lalu kemudian...saya mengundurkan diri dari UGM. Double degree? Sepertinya kampus saya yang di Jepang juga tidak mau diduakan, Hehehe. Ada baiknya Anda berdiskusi dengan profesor Anda, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Jepang. Hehehehe.

Q: Saya sudah berkeluarga. apa boleh saya membawa suami/istri saya dan/atau anak saya ke Jepang?
A: Sebenarnya saya belum berkeluarga (hiks). Tapi saya akan berbagi pengalaman teman saya di sini. Beliau mengatakan kepada saya, ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jepang, Anda harus datang seorang diri. Lalu kemudian, diskusikanlah kepada dosen Anda di Jepang atau kampus Anda di Jepang mengenai rencana Anda membawa keluarga Anda di Jepang. Yang perlu diingat adalah MEXT tidak memberi dana tambahan apabila Anda membawa keluarga Anda. Fighting! :D

Q: Ketika saya sudah dinyatakan benar-benar diterima, apakah dana beasiswanya langsung cair pada saat saya tiba di Jepang?
A: Beasiswa akan cair di akhir bulan tahun ajaran baru (April dan Oktober). Jadi, lebih baik Anda persiapkan dana sendiri terlebih dahulu :'))))

Q: Apakah saya diizinkan bekerja paruh waktu di Jepang?
A: Dengan status Anda di visa sebagai "student", Anda harus hati-hati. Anda harus mendapatkan izin dari imigrasi Jepang untuk bekerja paruh waktu, maksimal 28 jam per minggu. Di bagian belakang Resident Card (KTP Jepang) Anda harus ada cap resmi dari imigrasi yang menyatakan bahwa Anda benar-benar diizinkan bekerja paruh waktu. Cap tersebut bisa Anda dapatkan ketika tiba di imigrasi bandara Jepang atau Anda juga bisa mengurusnya di kantor imigrasi Jepang yang terdekat di kota Anda. Karena kalau tidak ada cap resmi dan/atau Anda bekerja melebih 28 jam setiap minggu, Anda bisa terancam dideportasi dari Jepang. Naudzubillah. Hati-hati pokoknya. Anda juga tidak diperbolehkan untuk bekerja di tempat-tempat hiburan semacam pachinko, bar, dan lain-lain. Jangan lupa juga, Anda juga diharuskan untuk berkonsultasi dengan pihak kampus dan profesor Anda. Jangan terlalu lelah bekerja hingga lupa belajar :').

Need more answers? Silakan kontak saya: alifiamd13@gmail.com (jangan lupa tulis subjek di e-mail Anda supaya nggak saya kira sebagai virus :p dan perkenalkan diri Anda terlebih dahulu, supaya nanti nggak saya kira sebagai pengagum rahasia :p)

Baca cerita saya di
Secuil Cerita Seorang Pemimpi: Monbukagakusho Research Student Program U to U 2015 (Part 1) - Awal dari Semuanya
Secuil Cerita Seorang Pemimpi: Monbukagakusho Research Student Program U to U 2015 (Part 2) - Tahap Wawancara Wow
Secuil Cerita Seorang Pemimpi: Monbukagakusho Research Student Program U to U 2015 (Part 3) - Berkas (Dokumen)
Secuil Cerita Seorang Pemimpi: Monbukagakusho Research Student Program U to U 2015 (Part 4) - PENGUMUMAN!!!!!
ja ne...

Perjalanan Dimulai....

Halo, apa kabar?
Setelah menggalau selama setengah tahun dengan status sebagai research student, tanpa gelar, tanpa kelas yang jelas, dan menggalau sana menggalau sini, nangis sana, nangis sini, gambling antara harus memperpanjang cuti di UGM atau mengundurkan diri dari UGM, stres tingkat kuadrat karena ujian masuk S2 yang mahadahsyat (saya sampai nggak mau cerita di sini karena saking ewwww-nya. Hahaha), alhamdulillah, per 4 April 2016, saya resmi menyandang sebagai mahasiswa S2 di Nara Women's University Graduate School of Humanities and Sciences, prodi Culture and Humanities, lengkapnya di lab-nya Yamasaki-sensei. Hehehe. Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT. Tentunya jalan yang akan saya tempuh nantinya pasti akan luar biasa. Harus semangat dan kuat! Terima kasih tak terhingga untuk keluarga saya (terutama ibu, ibu, ibu, ibu, dan ibu!), teman-teman saya (terutama teman-teman di S2 Linguistik UGM 2014 yang selalu men-support saya, meski kita sudah tidak menimba ilmu di tempat yang sama lagi hiks), dan tak lupa juga Yamasaki-sensei yang selalu menyemangati saya.

Alhamdulillah, saya dikelilingi oleh orang-orang baik di sini. Yang selalu menyebarkan energi positif, yang selalu saling mendukung.

Dan tak lupa juga bagaimana kegalauan yang luar biasa ketika saya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari UGM, akhir tahun lalu, di saat saya hampir memasuki masa-menulis-tesis. Berat sekali, tentunya. Karena saya tak lagi belajar mengenai linguistik di sini. Tetapi akhirnya kegalauan saya berakhir setelah profesor-profesor saya di UGM mengizinkan saya untuk "pergi" dari UGM yang luar biasa itu. Susah sekali lho move on dari UGM. Hahahaha.

Akhir kata, semoga kita semua selalu diberi petunjuk oleh-Nya dalam memperjuangkan cita-cita ya. Semoga kita semua selalu berada di dalam lindungan-Nya. Amin.


(semoga saya tidak hanya berbagi cerita di sini, tapi saya juga bisa *uhuk* posting *uhuk* hal-hal yang berbau penelitian saya. Halah. Semoga ya. Amin)
"Untung kamu kubawakan setelan baju resmi ya, sungguh ibu yang cerdas!" (Ibu)