Senin, 29 April 2013

Random Thought: Tidak Ada Judul

"Sungguh Allah menciptakan makhluk bernama perempuan dengan keajaiban. Perempuan yang terlihat tak berdaya, ternyata sungguh kuat. Perempuan memang unik. Dia bisa saja tertawa di saat hatinya sudah remuk redam dan dia bisa saja tidak menangis, saat mata sudah penuh darah kesedihan." 
(Jodoh Cinta, Kinoysan)


ja ne...

Minggu, 28 April 2013

Random Thought: Pola Asuh Anak

Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi menarik dengan Dian 'Bahasa Korea' dan Denta (entahlah dia ini, mahasiswa Jurusan Sastra Prancis yang nyasar di Jurusan Bahasa Korea atau mahasiswa Jurusan Bahasa Korea yang nyasar di Jurusan Sastra Prancis. Hehe). Kami  membicarakan mengenai pola asuh orang tua. Kami sama-sama bersyukur bahwa kami dibesarkan dengan pola asuh yang baik dan sempat menikmati 'keras'nya orang tua. Hahaha. Dan lalu kami membandingkan dengan pola asuh orang tua zaman sekarang. Di sekitar saya, ada banyak contoh orang tua yang --saya curiganya-- mereka bahkan belum pernah mencubit atau menjewer atau memukul anaknya. Memang, bentuk didikan dengan kekerasan fisik tersebut tidak baik. Anak jadi tidak PD, terus timbul kebencian dengan orang tuanya, terus pelampiasannya jadi ke arah negatif, dan lain sebagainya. Saya pribadi sebenarnya juga tidak setuju dengan didikan keras sok-sok militer begitu. Tapi, ya, tapi, ada kalanya memang, didikan keras juga perlu diterapkan, terlebih ketika orang tua sudah kewalahan mengontrol anaknya. Konteks 'keras' di sini maksudnya 'tegas' ya. Jadi, didikan yang saya maksudkan itu bukan untuk menumbuhkan rasa takut pada orang tua, tapi lebih kepada pelajaran mengenai menghargai dan sopan santun terhadap orang tua. Saya percaya bahwa apabila anak sudah 'sukses' menghormati dan sopan terhadap orang tua, niscaya ia bisa menghargai, menghormati, dan sopan juga terhadap orang lain. Nah, itu dia. Itu mungkin, mungkin ya, yang sekarang sudah hampir punah dimakan zaman. Terlebih era modernisasi dan globalisasi dewasa ini (tsaaaaah....). Banyak orang tua --yang saya lihat sendiri lho ini-- dikontrol anaknya. Padahal, normalnya, anak harus didampingi orang tua dalam mengambil keputusan. Kontrol anak yang terlalu dominan terhadap orang tuanya malah membuat anak menjadi ngelunjak dan manja. Dia akan berpikir bahwa orang tua selalu bisa memenuhi setiap permintaannya. Tak sedikit juga yang melakukannya dengan ancaman. Waduh. Anak akan terbiasa selalu menuntut hak dan justru melalaikan kewajibannya sebagai seorang anak. Ini bahaya sekali kalau dibiarkan terus. Di sinilah, menurut saya, ketegasan orang tua harus banyak berperan. Sebagai orang tua, mungkin karena mereka terlalu sayang dan merasa kasihan kalau ditegasi (?), jadinya lembek terhadap kontrol anak. Alih-alih mengontrol, jadinya ya malah...dikontrol. Phew. Saya belum punya anak sih. Tapi saya tahu kok. Pekerjaan menjadi orang tua memang pekerjaan paling berat sedunia. Namun juga paling mulia. Karena setiap pola asuh yang dipraktikkan pada anak akan sangat berpengaruh dalam membentuk karakternya. Anak yang mempunyai karakter baik akan mendatangkan banyak pahala bagi orang tua dan anaknya, tapi kalau karakter tidak baik....ah sudahlah. :))

Kadang-kadang, saya kepikiran lho. Kalau besok punya anak, pola asuh seperti apa yang ingin saya terapkan. Hahaha.

ja ne...

Senin, 22 April 2013

Karena Saya Benar-Benar Peduli...

Baru saja 'mendengar' cerita teman. Secara pribadi, saya tidak terlalu dekat dengan dia. Dan dari ceritanya, saya bisa berempati. Saya pernah mengalami hal yang hampir serupa dengannya, delapan tahun lalu. Selama tiga tahun, saya (merasa) menjadi 'single fighter', seperti dia. Berusaha berprinsip di lingkungan yang --menurut saya-- salah, dengan orang-orang --yang juga menurut saya-- salah, sampai-sampai saya menjadi public enemy pada saat itu. Hahahaha. Sulit memang menceritakan dan memberi pemahaman mengenai hal seperti ini pada orang-orang yang tidak tahu siapa saya. Dan menjadi sangat menyebalkan ketika ada orang yang tidak tahu apa-apa, mencoba menasehati saya. Intinya, saya tidak memahami mereka. Mereka juga tidak memahami saya.
Saya sebetulnya ingin berbagi cerita dengannya. Saya ingin sekali. Duduk berdua di suatu tempat dengannya, berbagi ideologi, berbagi pengalaman, atau hanya sekadar menjadi tempatnya mengeluarkan uneg-uneg. Saya bukannya sok peduli atau ingin terlihat baik di sini, tapi karena saya memang benar-benar peduli dengannya.

ja ne...

Minggu, 21 April 2013

Gundala Gawat: Parodi Kritik Sosial dalam Teater

Judulnya absurd. Memang. Biarlah. Karena postingan kali ini juga nggak kalah absurdnya dengan judulnya (bahkan yang nulis juga absurd tingkat dewa). Oh well, sembari mengetik kalimat ini, saya mengaduk-aduk arsip postingan di blog ini dan rupanya saya pernah bercerita di sini tentang hobi saya nonton teater. Setelah gagal nonton pementasan 'Sampek Engtay' Teater Koma di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat galau. Ini beneran! Lebih galau ketika saya nggak dibolehin nonton konser L'Arc~en~Ciel di Jakarta sama ortu (ihiks) dan ketika CNBLUE membatalkan konser di Indonesia, hanya dua hari sebelum konser (oh untung nggak beli tiketnya). Tapi, ya, kata orang bijak (nggak tahu siapa orang bijaknya, asal nyomot aja), di setiap kesedihan pasti ada secercah kebahagiaan yang akan datang menghampiri. Tsaaaaah.


Suatu hari, selang beberapa hari sejak pementasan Sampek Engtay, saya membaca kicauan Pak Butet Kertaradjasa di Twitter. Akan ada pementasan Teater Gandrik dengan lakon 'Gundala Gawat' di Taman Budaya Yogyakarta tanggal 16--17 April 2013!!! Wohooooooooo!! Saya kayang keliling lapangan GSP UGM 5 kali dan loncat kodok dari pantai Parangtritis sampai Kaliurang, saking senengnya. Hahahaha. Bohong, ding. Pokoknya intinya saya seneng bianget sampai-sampai lupa pacar (eh salah. Pacar aja nggak punya). Lantas saya langsung mengajukan proposal "Mah, nonton yuk" pada ibuk saya. Ibuk saya waktu itu sempet "nonton-enggak-nonton-enggak". Dan waktu itu, saya sempet saingan sama adek saya dalam mengajukan proposal "Mah, nonton yuk". Saya kepingin nonton Teater Gandrik, adek saya kepingin nonton Stand Up Comedy di UGM (yang untungnya nggak jadi nonton karena kehabisan tiket. Ngahaha). Dan ini pun juga nyaris batal nonton Teater Gandrik karena saya sudah berekspektasi kalau tiketnya bakal sold out bahkan sebelum hari H-nya. Tapi untungnya, ibuk saya bisa mendapatkan tiket kelas festival lesehan di hari kedua pementasan (fyi, nonton teater itu paling enak depan sendiri tauk :P) !!! Wohooooooooo!! Tiketnya mahal dikit gak papalah (Rp75.000 untuk tiket festival lesehan), yang penting bisa nonton (ini Gandrik, cuy. Gandrik. Ada harga ada rupa lah), toh dibayarin juga :P.



-----------------------------INI KENAPA MALAH JADI CURHAT??--------------------------------

Beklah. Jadi sinopsisnya gini. Kalian tahu Gundala Putra Petir, komik Indonesia luar biasa kece karangan Pak Hasmi? Kalau nggak tahu, kebangetan! Jadi, Teater Gandrik mengadopsi cerita Gundala Putra Petir dengan sentuhan sana-sini dan dibumbui humor-humor satire. Ceritanya, Gundala Putra Petir (Susilo Nugroho 'Den Baguse Ngarso') yang sudah tidak muda dan badannya tidak se-six pack dulu, difitnah oleh masyarakat sebagai penyebab banyaknya petir yang 'hinggap' di langit Indonesia akhir-akhir ini. Gundala kemudian agak marah sama bapaknya, Pak Petir (Butet Kertaradjasa), yang sebenarnya suka 'numpang lewat'. Anehnya, di setiap petir yang menyambar, pasti ada perampokan bank. Pak Hasmi, pengarang Gundala Putra Petir (ini yang meranin Pak Hasmi asli lho!) kemudian mengadakan rapat superhero. Rapat superhero dihadiri oleh Gundala Putra Petir, Sun Bo Kong (Jujuk Prabowo), Pangeran Melar (Gunawan Maryanto), Aquanus (Jamaluddin Latif), dan Jin Kartubi (M.Arif "Broto" Wijayanto). Mereka kemudian diperkenalkan oleh Agen X9 (Jami Atut Tarwiyah) yang memberi mereka informasi kalau perampokan bank yang terjadi akhir-akhir ini didalangi oleh kelompok "Harimau Lapar" yang dipimpin oleh seseorang bernama "Ketua Agung". Para superhero kemudian menyaru menjadi anggota "Harimau Lapar", tapi sayangnya ketahuan. Dengan sisa tenaga yang masih ada (karena faktor usia juga. Hahaha), mereka mencoba melawan anak buah Ketua Agung.



Dah ah sampai di sini aja sinopsisnya. Nanti spoiler, nggak asik :P

Di dalam cerita Gundala Gawat ini, Goenawan Muhammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) selaku penulis naskah menghadirkan humor-humor satire yang isinya isu-isu yang sedang cetar membahana akhir-akhir ini, seperti korupsi, carut marutnya ujian nasional, kasus Lapas Cebongan, dan lain-lain. Meskipun terlihat agak 'kedodoran' di beberapa bagian, pesan-pesan moral yang dibawa oleh Goenawan Muhammad melalui naskah Gundala Gawat ini berhasil tersampaikan kepada penontonnya dan menjadi luar biasa menghibur. Ditambah dengan kehadiran aktor-aktor senior dari Teater Gandrik maupun Teater Garasi (Ya Tuhan, aku lupa bilang ke kalian kalau Teater Garasi juga ambil bagian!), pementasan dan panggung menjadi sangat hidup. Bahkan, Pak Hasmi yang bukan berlatar belakang teater, tetapi 'dipaksa' berakting, juga berhasil membuat penonton terpukau. Akting Beliau luar biasa kece, kawan-kawan! Daaaaan.... Salah satu yang menjadi favoritku adalah... musik latarnya. Itu super ultra wonderful delicious yabai keren beudh! 'Dalang' musiknya tak lain tak bukan adalah Djaduk Ferianto (lha ya jelas kalau Beliau ini, mah!).

Ini adalah (kayaknya) pementasan Teater Gandrik pertama setelah berpulangnya pentolan teater ini, Heru "Pak Bina" Kesawa Murti. Bagi yang mengetahui Teater Gandrik sejak zaman baheula, pasti terasa sekali 'sepi'nya teater ini tanpa kehadiran Beliau (ah sotoy sekali sayah!). Tapi, para punggawa teater ini berhasil mengobati rasa rindu para penggemar Teater Gandrik dengan adanya pementasan lakon Gundala Gawat ini, meskipun yaaa bagi yang sudah mengenal teater ini sejak zaman Pak Heru masih mengarsiteki teater ini, terlihat lebih njegleg ketimbang pementasan-pementasan Teater Gandrik yang terdahulu (ini bukan saya yang ngomong, saya baru pertama kali ini lihat Gandrik. Saya hanya mengutip uneg-uneg dari orang yang telah lama 'mengenal Gandrik). Tapi menurut saya pribadi, saya merekomendasikan Gundala Gawat Teater Gandrik ini untuk ditonton. Tontonlah! Dan kalian akan tahu tentang teater yang sangaaaaaat berkualitas ini! Hohohohoho. Bagi yang nggak semfat (sengaja pakai 'f') nonton Teater Gandrik dengan lakon Gundala Gawat ini, sila nonton di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jekardah, tanggal 26--27 April 2013. Cekidot, mas/mbak Brow!

ja ne...

Sabtu, 20 April 2013

Oleh-oleh dari Brunei (Part 1) - 'Kampong Ayer': An Unexpected Treasure


"Fia, mana oleh-oleh dari Brunei?"

Saya bingung ketika ditanya seperti itu oleh teman-teman saya. Karena yaaaa, sulit mencari barang 'khas' Brunei yang bisa dijadikan oleh-oleh. Ini serius. Dan lagi, karena di sana harganya cukup tidak terjangkau bagi orang Indonesia (Dolar Brunei itu kursnya sama seperti Dolar Singapur!), yang mata uangnya terlihat sangat murah(an) di mata orang asing, jadinya saya nggak bawa oleh-oleh dari sana. Maaf ya. 

Tapi, saya punya segudang cerita tentang negara monarki kecil yang super kaya ini. Saya siap berbagi dengan teman-teman sekalian. Karena menurut saya, cerita itu adalah oleh-oleh paling murah, tak lekang oleh waktu, dan tak mudah rusak. Tsaaaaaaaaaah.... Ini mah ngelesnya saya aja ya. Hahaha.

Oke. Di postingan kali ini, saya mau cerita tentang sebuah tempat yang paling mengesankan buat saya di Brunei. Sebagian tulisan ini sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk diikutsertakan pada kompetisi tulisan travelling. Ada lah di blog saya tentang travelling. Tapi sengaja nggak saya kasih linknya. Nggak pede saya. Hahaha.


Namanya Kampong Ayer. Kalau diucapkan jadi terdengar seperti 'Kampong Aer'. Karena kampung ini benar-benar di atas air. Terapung. Nah, ketika saya sudah sampai di Brunei, seorang teman saya, orang Brunei, bilang begini --dengan semangat 45-- pada kami (saya, keluarga, dan teman ibuk saya), “Kalian harus ke Kampong Ayer ketika mengunjungi Brunei Darussalam! Rugi kalau enggak".

Ketika teman saya menjelaskan mengenai Kampong Ayer, saya jadi ingat dengan kampung-kampung terapung atau kampung yang ada di pinggiran sungai/laut di Asia Tenggara, terutama Indonesia ye. Aktivitas keseharian mereka hampir semuanya dilakukan di atas air. Di dalam bayangan saya --maaf lho ini, maaf--, Kampong Ayer adalah slum area alias daerah kumuh di Brunei. Mungkin saja kan sebuah negara monarki kecil yang sangat kaya seperti Brunei Darussalam memiliki slum area. Eits jangan salah, saya memiliki alasan mengapa saya berpikir seperti itu. Biasanya, kampung-kampung terapung atau kampung-kampung yang dekat sungai/laut diidentikkan sebagai pemukiman kumuh, sanitasinya buruk, banyak sampah, air-air tercemar, jauh dari modernisasi, dan sebagainya. Imej masyarakat yang tinggal di daerah tersebut biasanya juga diidentikkan dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, kurang berpendidikan, tingkat kesehatan para warganya yang di bawah standar, dan masih banyak lagi. Ini maaf lho ya. Stereotip banget ya?

Namun, ketika saya melihat Kampong Ayer, semua pemikiran stereotip saya mengenai kampung-kampung semacam itu langsung hilang. Dulunya memang, Kampong Ayer adalah slum area di Brunei Darussalam dan mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Akan tetapi, itu puluhan tahun yang lalu. Kampong Ayer yang saya lihat saat ini adalah sebuah perkampungan terapung di atas sungai yang sudah sangat berkembang, maju malah. Para warga di kampung ini benar-benar menjaga sungai agar tetap bersih. Rumah-rumah modern yang dibangun di atas air sudah banyak berdiri. Pihak kerajaan Brunei Darussalam rupanya tidak hanya memperhatikan warganya yang ada di ‘daratan’, tetapi juga para warganya yang ada di atas sungai. Berbagai fasilitas yang menunjang kehidupan para warga Kampong Ayer dibangun oleh pihak kerajaan, yang sebagian besar dibangun di atas sungai. Saya sangat terkejut ketika melihat sekolah-sekolah dengan bangunan modern, dari SD hingga SMA, yang ada di sana dan melihat pemandangan para murid dan guru sangat bersemangat dalam belajar dan mengajar. Oh di sana, fasilitas kesehatan berupa klinik, dibangun di daratan, tidak jauh dari lokasi Kampong Ayer. Saya juga melihat sebuah kantor polisi, tak jauh dari pemukiman warga Kampong Ayer, yang juga dibangun di atas sungai. Dan yang paling mengejutkan saya adalah adanya Balai Bomba (Kantor Pemadam Kebakaran) --teman-teman saya tertawa tiap saya menyebut istilah ini, Balai Bomba. Haha-- di kampung tersebut, dan bahkan di sana tersedia tiga unit mobil pemadam kebakaran yang dilengkapi speedboat untuk memudahkan aksesnya. Wow! Wow!

Berbagai fasilitas luar biasa itu belum cukup mengejutkan saya. Jika dahulu sebagian besar masyarakat Kampong Ayer berprofesi sebagai nelayan, kini profesi sebagai nelayan hanya tinggal 20 persen dari jumlah penduduk Kampong Ayer. Sebagian besar masyarakatnya saat ini berprofesi sebagai pegawai kerajaan (pegawai pemerintah). Menurut pemandu kami, perekrutan warga Kampong Ayer sebagai pegawai kerajaan adalah salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat di sana. :O

SPBU buat perahu-perahunya :O

Satu lagi yang menarik tentang Kampong Ayer, masalah transportasi. Mayoritas para warga di sana memiliki perahu bermesin. Ada juga perahu taksi yang cukup menampung beberapa orang, seperti yang saya naiki untuk berkeliling Kampong Ayer. Nah, perahu-perahu itu adalah transportasi bagi mereka yang ada di sungai. Lalu bagaimana transportasi para warga Kampong Ayer apabila mereka akan beraktivitas di daratan? Mengingat transportasi darat di Brunei Darussalam sulit sekali kalau tidak mempunyai kendaraan pribadi (Ini serius. Saya akan tulis tentang ini kapan-kapan). Pemandu kami dan teman-teman saya dari Brunei Darussalam yang ikut bersama kami menunjukkan deretan mobil-mobil yang berjajar diparkir di daratan. Sebagian adalah mobil mewah. Itulah ‘kendaraan darat’ para warga Kampong Ayer. Di daratan, ada lahan parkir khusus bagi para warga Kampong Ayer. Wow. Wow lagi, ah. Wow.

Nahkoda Manis
Pemandu kami lalu membawa kami menyusuri sungai, semakin jauh dari pemukiman warga. Semua pemandangan modernitas yang ada di Kampong Ayer sudah cukup menyilaukan bagi saya (silau, meeeen). Namun ternyata, para warga di Kampong Ayer tidak serta merta melupakan warisan nenek moyang mereka. Banyak folklor di daerah itu yang sangat menarik. Misalnya, kemunculan hantu perempuan di pekuburan kampung tersebut setiap malam. Kuburannya seram. Letaknya di pulau kecil dekat Kampong Ayer. Kata teman saya, hantunya cantik. Hahaha. Ada juga sebuah batu besar, mirip seperti perahu yang akan tenggelam. Folklor ini dikenal sebagai "Nahkoda Manis". Ceritanya hampir mirip Malin Kundang. Kata pemandu kami, menurut cerita orang-orang dahulu, batu-kapal tersebut dulunya adalah sebuah perahu yang memuat garam, kemudian tenggelam, dan menjadi batu. Garam-garam yang ada di dalam perahu tersebut tumpah dan membuat air sungai menjadi asin (iya lho, air sungainya asin!). Folklor tersebut terkenal sekali di Kampong Ayer. Oh, di sana juga dulu ada sebuah kepercayaan. Ada sebuah pulau (lagi) di sana yang isinya ari-ari. Serius. Ari-ari milik bayi yang baru lahir digantung di pohon, dibungkus plastik. Katanya, kalau ari-ari bayi digantung di sana, orang tua dari bayi tersebut berharap anaknya bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Menarik ya. :)))

Jadi, begitulah. Kampong Ayer sudah berhasil mengubah sudut pandang saya tentang sebuah perkampungan terapung. Tidak selamanya perkampungan terapung adalah slum area. Bukankah peradaban manusia itu perkembangannya dimulai dari sungai? Lihat saja peradaban lembah sungai Indus di India atau peradaban masyarakat Mesir di sungai Nil. Mereka semua maju, pada zamannya, karena sungai. Sungai identik dengan kesuburan. Kesuburan membawa rezeki yang banyak bagi manusia. Jadi intinya, kalau mau subur, sayangilah sungai (?). Oh saya mulai ngaco. Berarti, tandanya tulisan saya harus berakhir. Hahaha.

Bentar. Sebelum saya benar-benar menyelesaikan postingan ini, izinkan saya bilang:







"Eureka! Saya baru saja menemukan sebuah harta karun tak terduga di Brunei Darussalam!"

ja ne...

Rabu, 10 April 2013

Balada Sandaran Pintu

Kadang-kadang, aku lupa. Orang-orang yang menjadi sandaranku selama ini, sebenarnya juga memerlukan orang lain untuk dijadikan sandarannya. Aku ini bodoh atau egois, ya. Memalukan. 
Dengan rasa malu yang kututupi, aku mencoba menawarkan diriku sendiri, untuk menjadi sandaran bagi mereka. Banyak dari mereka yang menolak. Dengan alasan "Kau belum cocok, Fia. Kau lebih cocok menjadi orang yang kami emong, kami ayomi". 

Menjadi sandaran pintu memang harus kokoh, ya.

ja ne...

Mumpung Masih Hangat-Hangat Kuku

Hari ini Arga datang menjenguk saya. Sejak saya balik dari Jakarta (oh soal ini, saya cerita dikit di sini) plus kondisi kesehatan saya yang labil macam ABG-baru-kenal-Super Junior, saya belum sempat bertemu dengan sahabat saya yang tampan, kece, dan luar biasa itu (haha). Nah, baru akhirnya hari ini saya ketemu dia. Alhamdulillah. Beberapa hari, terasa berminggu-minggu lamanya *lebay*. Err... Sebenarnya kunjungannya lebih tepat kalau dibilang dia-main-ke-rumah-karena-sudah-lama-nggak-ketemu-dan-ujung-ujungnya-dia-mengajak-saya-main. Kami terlibat obrolan seru --dari mulai yang nggak penting, penting, penting banget, hingga yang sumpah-ini-penting-gilak!-- selama beberapa jam. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah tema diskusi yang cukup bikin saya merenung berjam-jam, yakni "penting enggaknya membeberkan rencana masa depan kita pada orang lain". Ini benar-benar --meminjam kosa kata favorit dosen Seminar Skripsi saya-- dilematis. Saya, sebenarnya, bukan orang yang suka membeber-beberkan hal-hal macam begitu, misalnya "Eh aku mau daftar beasiswa A lho" atau "Aku dapet panggilan wawancara kerja di X, aku mau ke Jakarta minggu depan". Sebenernya saya nggak terlalu suka. Akhir-akhir ini, saya hanya berbicara begitu kalau 'diminta' (baca: ditanya). Dulu, ketika saya masih hangat-hangat kuku sebagai fresh graduate (dulu? Kesannya lama banget ya. Iya, udah hampir dua periode wisuda dilalui, soalnya. Haha), saya dengan semangat bercerita pada orang-orang tentang rencana-rencana masa depan saya. Semua orang yang saya beri tahu terkagum-kagum dengan rencana saya (entah mereka hanya basa-basi atau tulus, entahlah). Tapi, sekarang saya mencoba menahan diri. Tidak sembarang orang saya beri tahu tentang rencana saya. Bukannya apa-apa, berdasarkan pengalaman, karena orang-orang sudah terlanjur berekspektasi terlalu tinggi pada saya, saya jadi terlena dan....malas. Dan kalian tahu, kalau orang-orang seperti itu akan teruuuuuus memberondong dengan pertanyaan, "Katanya kamu lagi sibuk X, gimana lancar nggak?" atau "Sudah sampai mana kamu sekarang?". Ada rasa bersalah di hati saya ketika saya tidak bisa memenuhi 'harapan' mereka. Meskipun sebenarnya, sayalah yang melakoni hidup saya, bukan mereka. Yah ada juga sih yang bilang, beri tahu saja rencana-rencanamu pada orang-orang, justru itu yang nantinya akan membuatmu semangat. Iya ada benarnya juga. Tapi... Tapi... Ah sudahlah. Biarkan mengalir saja.

Ujung-ujungnya pasti begitu. Maaf, ya.

ja ne...

Selasa, 09 April 2013

Aku dan Pintu

Belajar dari pengalaman. Pintu yang sudah terlalu lama tertutup, bisa seret kalau dibuka. Pintuku, misalnya. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku membuka pintuku dan mempersilakan seseorang untuk masuk. Berkali-kali aku mencoba membukanya, tapi gagal. Pernah sekali-dua kali, aku berhasil membukanya sedikit, tapi karena sangat berat, aku tidak tahan lagi dan...BLAM! Pintu itu dengan seenaknya tertutup kembali. Aku pun kesal. Jari-jariku jadi terluka karena terlalu sering memaksa membuka pintu dan sering terjepit kalau tidak hati-hati. Dan lagi, pintu itu semakin berontak tidak mau dibuka dan justru berbalik mengejekku yang terlalu lemah. Kemudian, aku punya ide yang menurutku sangat cemerlang waktu itu: memasang gembok super besar. Itu adalah salah satu trik negosiasiku dengan si pintu. Berharap bahwa ia akan tersiksa karena kugembok dan tidak bisa bebas mengejekku, sehingga akhirnya dengan sukarela ia akan terbuka dengan sendirinya. Tapi, bodohnya aku. Jelas saja ia semakin senang karena aku justru membuatnya semakin terkunci dan semakin susah dibuka. Aku semakin kesal. Dan aku lakukan hal paling bodoh selanjutnya: membuang kunci gembok itu. Phew. Karena bentuknya aneh, rumit, dan tidak biasa, tak satu pun tukang kunci duplikat yang mau menduplikatkannya. Aku jadi putus asa. Di tengah keputusasaan itu, aku bersandar pada pintu dan bertanya padanya, "Maumu apa?". Dia tertawa. "Bodoh kau, ya. Jangan memaksaku untuk terbuka. Aku tidak akan pernah bisa terbuka kalau dipaksa, apalagi kalau hanya ditunggu. Bawa seseorang kemari! Nanti akan kutunjukkan caranya".

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku lelah.

ja ne...