Minggu, 06 September 2020

Polusi Visual dan Body Positivity


Beberapa waktu lalu di jagad dunia maya heboh tentang istilah 'polusi visual' yang diperkenalkan oleh seorang pemengaruh (influencer) yang akhirnya jatuh pada body-shaming. Korbannya lagi-lagi perempuan. Dan yang lebih miris, yang mengatakan hal tersebut juga...perempuan.

Perempuan selain dalam konstruksi budaya patriarki diharuskan menjadi sosok yang lemah lembut, irasional, tunduk pada aturan masyarakat patriarki, juga dituntut untuk menjadi 'cantik'. 'Cantik ideal' di mata orang Indonesia adalah perempuan yang langsing, berkulit halus nan putih, dan akhir-akhir ini menjadi tambah satu: cantik natural tanpa make up. Media menjadi salah satu faktor utama pembentukan 'perempuan Indonesia yang ideal' ini. Mulai dari iklan produk kecantikan yang menawarkan mimpi menjadi 'cantik' (masih ingat dengan tagline salah satu produk kecantikan ini: "membuat kulitmu seputih perempuan Jepang"? Iklan ini berhasil membuatku mengernyit alis "eh gimana gimana?") hingga media sosial yang kadang muncul tanpa filter dari jari netizen.

Pembentukan perempuan ideal ini akhirnya menjadikan sebagian perempuan merasa insecure terhadap tubuh mereka sendiri. Berlomba untuk menjadi 'cantik', dan di sebagian kasus hingga membahayakan diri sendiri (ex: membeli produk kecantikan abal-abal yang diiklankan influencer kesayangan karena iming-iming testimoni influencer yang diragukan kebenarannya). Rasa insecure ini akhirnya menjadikan perempuan yang merasa dirinya bukan 'perempuan ideal' menjadi makin teropresi dan termarjinalkan. Dan bagi beberapa orang yang sudah kadung terindoktrinasi tentang 'perempuan cantik', mereka menjadi merasa memiliki kuasa untuk merendahkan dan mendiskriminasi mereka yang dianggap tidak sesuai dengan konsep perempuan ideal versi mereka, sehingga muncullah istilah 'polusi visual' itu tadi.

Media, terutama media sosial yang saat ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat di Indonesia, sudah seharusnya menjadi ruang yang aman bagi perempuan untuk bisa mengekspresikan dirinya sesuai yang mereka inginkan, bukan malah justru menjadi bumerang, menjadi media perjulidan hanya karena perempuan tidak memiliki 'standar kecantikan' tersebut. 

Saat ini beberapa kalangan dengan gencar mulai mengkampanyekan 'body positivity'. Body positivity adalah sebuah gerakan yang berfokus pada penerimaan bahwa semua tubuh, baik dari bentuk, ukuran, warna dll, sama berharganya. Semua orang berhak untuk mencintai tubuhnya sendiri tanpa harus direndahkan oleh orang lain. Pun begitu pula sebaliknya, yakni kita semua belajar untuk bisa menghargai tubuh orang lain. Body positivity menurutku adalah salah satu cara agar semua orang bisa memerangi body-shaming yang --demi Super Junior makan tongseng-- sudah kelewatan zaman.

Melatih pola pikir untuk bisa menerima body positivity itu jelas tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak bisa. Utamanya, sebenernya ini aku tujukan kepada para publik figur maupun influencer dan kita semua agar lebih berhati-hati dalam mengomentari tubuh orang lain. 

Mengomentari seseorang dengan istilah 'polusi visual' tidak akan membuat kita menjadi lebih baik. Hambok tenin.