Selasa, 31 Desember 2013

#INTERNALISASIFABADIY

Terhitung sejak beberapa waktu yang lalu, saya bergabung di komunitas Faktabahasa Region Yogyakarta --sebuah komunitas yang memfasilitasi orang-orang yang berada di dalamnya untuk belajar bahasa, budaya, kepemimpinan, dan memperluas jaringan--, sebagai tutor bahasa Jepang. Nawaitu saya bergabung di komunitas ini cuma kepingin berbagi pengetahuan bahasa saya dengan sesama pecinta bahasa, dan juga sebaliknya, saya belajar bahasa baru dengan anggota lain. Sekaligus juga memang udah sejak pertengahan tahun, saya ingin gabung ke komunitas ini, cuma sayangnya yang region Jogja belum terbentuk. Jadi, ketika saya tengok di laman Twitter, Faktabahasa (biasa disingkat Faba) Jogja terbentuk di akhir Oktober kemarin, saya girang banget. Dan akhirnya, tanpa pikir panjang saya daftar. Dan nggak habis pikir juga kenapa saya bisa jadi tutor bahasa Jepang. Hahaha.

Dan akhirnya setelah meet-up beberapa kali dengan para pengurus dan tutor, hari Minggu, 29 Desember 2013, bertempat di STiPRAM Yogyakarta, dilaksanakan internalisasi bersama para anggota Faba. Seru sekali. Isinya perkenalan pengurus beserta tugas-tugas mereka, perkenalan tutor (masing-masing tutor diminta perkenalan pakai bahasa asing yang dia tutorin! Misalnya, karena saya tutor bahasa Jepang, ya saya perkenalannya pakai bahasa Jepang), penampilan masing-masing tutor yang asik+gila+ancur (hahaha. yang lainnya sih asik-asik, cuma saya aja kali ya yang gila dan ancur), games-games, petuah dari pembicara, dan yang terakhir, sesi foto bersama.



 Betewe, Faktabahasa ini sudah ada di 11 daerah di seluruh Indonesia lho. Dan kemungkinan akan teruuuus bertambah. Begitu ceritanya.
Dan buat yang penasaran tentang Faktabahasa DIY, sila kunjungi laman Facebook, Twitter, ask.fm, dan blog

ja ne...

Senin, 22 Juli 2013

Kicauan Senja

Suatu sore di bonbin, saya *lagi-lagi* diberi pertanyaan oleh Arga:

Fia, kamu lebih milih siapa untuk dijadikan teman kerja? Orang yang dekat denganmu tapi nggak bisa kerja atau orang yang kurang kamu sukai, secara pribadi, tapi kerjanya bagus?

Saya mikir lama. Takut kalau-kalau saya *lagi-lagi* terjebak pada pertanyaannya yang simpel tapi penuh dengan intrik nan lika liku *halah*. Malas aja kalau harus terlibat perdebatan sengit dengannya. Permainan logika anak satu itu sungguh luar biasa.

Lalu dengan hati-hati, saya jawab, "Lebih milih yang kerjanya bagus lah. Masalah pribadi kok dibawa-bawa di pekerjaan. Nggak profesional".

Dia tersenyum. Kemudian, dia bertanya lagi, "Kenapa?"

Saya lalu memberi contoh di beberapa pekerjaan yang pernah saya lakukan. Dan di situ saya berada di posisi sebagai 'orang-yang-harus-menghire-orang-lain'. Saya nggak segan-segan mencoret nama teman yang cukup dekat dengan saya kalau dia 'tidak cukup profesional' di mata saya. Sebaliknya, saya juga nggak segan-segan menghire teman yang sebenarnya nggak terlalu dekat dengan saya, tapi kerjanya mumpuni. Saya bilang pada dia, profesionalitas nomor satu. Masalah perasaan suka atau tidaknya saya dengan orang itu, nomor kesekian.

Arga mengangguk-angguk. Entah dia puas dengan jawaban saya atau tidak. Saya nggak peduli. Karena nggak ada serentetan argumen yang biasa dia lontarkan untuk mematahkan pendapat saya. Save... Save...

Tapi ternyata, yang di mulut, lain lagi di realisasinya.

Intinya, ternyata saya kurang sanggup kalau harus bekerja dengan orang atau komunitas yang kurang saya sukai. Subjektivitas saya merajai lubuk hati dan logika saya yang paling mendalam *tsaaah*. Semuanya menjadi salah di mata saya. Kalau sudah begitu, saya ini mudah mutung dan terlalu reaksioner. Saya tahu itu salah besar. Salah besar. Datang pada mereka tanpa solusi, hanya menyalahkan di belakang, memperlihatkan bahwa pemikiran saya masih terlalu kanak-kanak. Apa bedanya Fia dengan anak kecil umur tujuh tahun? Saya tahu itu tidak baik. Seharusnya saya bisa menyimpan itu semua di dalam hati, dan suka atau tidak suka, jalani saja. Seharusnya begitu. Itu namanya proses pendewasaan. Mungkin saja mereka yang sedang bekerja dengan saya saat ini sudah melihat gelagat saya yang tidak niat. Dari awal memang sudah saya tunjukkan pada mereka, secara agak frontal (agak? Tinjau lagi!), kalau saya kurang berkenan bekerja dengan mereka.

Dan sungguh, Kawan. Ini tidak nyaman. Rasanya seperti jutaan ton pemberat jatuh secara bertahap di tubuh saya. Tentu saja karena ada tambahan ketakutan saya tersendiri dengan 'masa depan hubungan saya dengan mereka'.

Jadi, mungkin saja apa yang pernah saya katakan pada Arga bisa jadi sebenarnya adalah jawaban yang ingin ia dengar, bukan jawaban sesungguhnya yang berasal dari saya pribadi. 

Semoga ini semua berjalan tidak lama dan kali ini, jadi yang terakhir. Kalau bisa, semua perasaan ini harus saya akhiri hari ini, sekarang juga. Capek tauk!

ja ne...

Selasa, 09 Juli 2013

Jangan Sekali-kali Kau Remehkan (Lalu Lintas) Jakarta. Sungguh.

Sabtu lalu, saya kembali mengunjungi Jakarta untuk mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang. Untuk pertama kalinya, saya pergi bersama sahabat saya, Sarah (kalian bisa membaca blognya yang sangat mengesankan di Sumur Timba). Kami berangkat berdua naik kereta api. Orang tua dan saudara saya yang di Jakarta yang kediamannya akan kami tempati tak henti-hentinya mewanti-wanti. Jangan remehkan Jakarta. Sedikit pun.

Pendaran keanggunan namun berbalut keangkuhan yang dimiliki Jakarta langsung menyambut kami di Stasiun Gambir. Tapi silaunya tak boleh membuat kami berdua lengah. Di situlah kami harus mulai melepas topeng kepolosan stereotip orang-orang Jawa. Setengah mati saya menyembunyikan serangan kepanikan karena keramaian. Ini Jakarta, Nona. Agoraphobia-mu tak boleh kumat. Setidaknya untuk tiga hari. Oke, deal.

Lalu lintas Jakarta memacu adrenalin kami. Senyum tipis mengambang di bibir pengemudi taksi. Seolah berkata, "Beginilah Jakarta, Neng". Bangunan pencakar langit di kiri-kanan saya berdiri gagah, memesona,  ingin mengimbangi tanah-luar-biasa-berharga di tempat mereka berdiri. Orang-orang berpakaian modern, bergaya modern, dengan intelektualitas yang tak kalah modern, lalu lalang, dengan tetek bengek label modern-nya, mengelilingi kami. Cahaya lampu di kota ini tak pernah redup. Seperti semangat orang-orang di sini: Sedikit saja kau lengah di sini, kau bisa kalah, bisa habis kau. Mungkin itu yang ingin mereka katakan. Salut tingkat dewa dengan semuanya. Sempurna. Metropolitan yang luar biasa.

Waktu berjalan abu-abu di Jakarta. Itulah kesan saya. Bisa saja kau menginginkan waktu berjalan sangat cepat, dengan segala kesibukanmu yang menggila, tapi kenyataannya bisa sebaliknya. Sarah dan saya saling berpandangan di dalam taksi. "Hidup mereka dihabiskan di jalan", katanya. Iya. Lupakan Jogja. Lupakan tentang betapa singkatnya waktu yang bisa saya tempuh dari rumah saya di Bantul hingga kampus UGM di Sleman. Jarak yang sama, yang bisa saya tempuh 20 menit--30 menit, bisa menghabiskan waktu berjam-jam di Jakarta. Salut lagi dengan para penduduk Jakarta. Kalau ada penghargaan penduduk dengan tingkat kesabaran paling tinggi, harusnya mereka menang. Saya bisa belajar tentang kesabaran dengan mereka. Penduduk Jogja bisa belajar kesabaran berlalu lintas dari penduduk Jakarta. Serius.

Di hari terakhir saya di Jakarta, saya benar-benar-benar merasakan berkejaran dengan waktu di sini. Tak boleh saya salahkan macet. Semuanya di luar kehendak. Tak ada guna menyalahkan pengemudi taksi kami. Perhitungan adalah segalanya di sini. Pun dengan segala hal. Meleset sedikit saja, semuanya bubrah. Kereta tak akan menunggu kami jika kami terlambat. Hati saya bagai diterjang tsunami. Serangan kepanikan kembali melanda. Tak bisa saya tutupi. Kami terancam ketinggalan kereta pagi itu. Jalan satu-satunya adalah tenang dan tidak membuat suasana menjadi keruh. Untungnya, pemandangan di jalanan pagi itu  membuat fokus kami sedikit teralihkan: kumpulan kendaraan berdesak-desakkan, ziarah kubur yang mulai ramai, hingga melihat korban meninggal tertabrak busway (ini serius lho).

Pada akhirnya, saya dan Sarah malah berpandangan dan tersenyum saat petugas pengecekan di Stasiun Gambir berkata begini, "Kereta jurusan Jogja sudah berangkat sepuluh menit yang lalu" dan saat petugas di pelayanan informasi berkata begini, "Maaf, tiketnya tidak bisa ditukar".

Kalau tidak begini, kita tidak akan tahu rasanya ketinggalan kereta ya, Sar. :))    

Sungguh. Lalu lintas Jakarta tak bisa kau remehkan.

ja ne...

Senin, 01 Juli 2013

Yakin Pinter Bahasa Indonesia?

Di sela-sela keriweuhan bin keribetan alaihum gambreng saya belajar (nggak segitunya sih. Biar keliatan 'cadas' aja. Hehe) untuk persiapan JLPT (Japanese Language Proficiency Test) alias NINOSH (Nihon-go Nouryoku Shiken) alias UKBJ (Ujian Kemampuan Bahasa Jepang), iseng-iseng saya googling tentang soal simulasi UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia). Kurang kerjaan. Memang. Tapi saya udah lama sumprit penasaran tingkat dewa gegara seorang sahabat memberi tahu saya kalau soal UKBI itu bisa bikin orang Indonesia klepek-klepek. Taruhan deh. Orang Indonesia nggak banyak yang tahu tentang UKBI. Karena tingkat kepopulerannya kalah dengan TOEFL, IELTS, TOEIC, JLPT, TOPIK/KLPT (ujian kemampuan bahasa Korea) atau DELF/DALF (ujian kemampuan bahasa Prancis). Ngenes, tapi yah itulah realita. *apa si*


UKBI BIPA

Sebenernya, saya udah tahu lama kalau ada ujian kemampuan bahasa Indonesia. Tapi, bukan UKBI namanya. Di UGM, ada istilah lain. Namanya TIFL (Test of Indonesian as a Foreign Language). Biasanya diselenggarakan di INCULS, institusi di UGM yang khusus mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing. Yap, tes ini diperuntukkan bagi BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Tesnya meliputi kemampuan mendengarkan, tata bahasa, terus ada juga kemampuan berbicara. Kata teman-teman saya yang mahasiswa asing, katanya soalnya sulit banget. Iseng-iseng saya pernah ngintip soal TIFL dan ternyata memang....sulit -_-". Nggak yakin kalau saya pun bisa mengerjakan dengan benar. Ngokngok.
Terus belakangan, saya baru tahu kalau di Jepang juga ada UKBI, khusus untuk orang Jepang (lihat laman resminya di sini. Lamannya pakai bahasa Jepang). Gegara teman saya, orang Jepang, dengan pasang muka cerah ceria mengacung-acungkan brosur UKBI pada saya. Sudah saya duga. Brosurnya full nihongo alias pakai bahasa Jepang. Dan lagi-lagi kata teman saya, UKBI yang Japanese Version ini juga sulit karena dibagi-bagi per level. Macam JLPT gitu. Dan asiknya (?), UKBI ini diadain di Indonesia (Bali dan Jakarta) dan Jepang (Osaka, Kyushu, dan Nagoya).
Dua macam ujian kemampuan bahasa Indonesia tersebut (UKBI dan TIFL) sama-sama berguna buat cari pekerjaan atau sekolah bagi orang asing di Indonesia. Ya semacam salah satu persyaratan gitu deh. Antara salut dan minder, buat saya jadi satu. Salut karena banyak juga orang asing yang super semangat belajar bahasa Indonesia. Tapi, minder juga. Jangan-jangan bahasa Indonesia mereka bisa lebih bagus dari saya -_-".


UKBI untuk Orang Indonesia

Balik lagi ke topik awal postingan nggak penting ini. Iya, gegara 'hasutan' sahabat, saya jadi geregetan kepingin menguji kemampuan bahasa Indonesia saya. Malu lah kalau bahasa Indonesia saya ternyata nggak meningkat dari SD. Hehehe. Lantas, tengah malam (serius), saya googling mencari 'pencerahan' siapa tahu nemu kumpulan soal atau kisi-kisi (hiyaaa... kisi-kisi...). Dapatlah saya tautan laman resmi UKBI Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Menurut info yang saya dapat, UKBI biasanya dipakai untuk uji kompetensi guru-guru bahasa Indonesia atau seleksi Duta Bahasa. Dan standarnya nasional dan berpeluang internasional! UKBI ini ada lima sesi (mantep!). Sesi I adalah mendengarkan. Sesi II adalah merespons kaidah (semacam EYD dsb). Sesi III adalah membaca. Sesi IV adalah menulis. Sesi V adalah berbicara. Saya belum tahu pasti, UKBI itu bisa diikuti oleh 'rakyat jelata' macam saya atau enggak. Hahaha. Tapi kayaknya oye juga nih buat bahan pertimbangan seleksi Miss Indonesia atau Putri Indonesia. wkwkwk. Oh ya di laman resmi itu kita bisa unduh langsung simulasi UKBI. Formatnya flash player. Ada dua puluh soal. Tapi dari lima sesi UKBI aseli, cuma diambil tiga sesi pertama. Dibilang gampang, enggak gampang. Dibilang susah, juga enggak susah. Paling nyebelin buat saya itu bagian sesi mendengarkan. Phew.

Ini cuman salah satu karena saya sudah coba empat kali dengan soal yang sama. Hahaha.
Tertarik mencoba? Saya jadi makin geregetan nyobain UKBI aselinya nih. 
Ealah, Fia. Yakin kamu pinter bahasa Indonesia?

ja ne...