Minggu, 28 Oktober 2012

Apa karena enggak 'mainstream'?

(Part 1)

"Fia setelah lulus mau ke mana?"
"Insya Allah mau S2."
"Nggak kerja?"
"Enggak Nanti saja."

Percakapan di atas sering mewarnai keseharianku akhir-akhir ini. Setelah lulus S1, langsung lanjut ke S2, bukannya kerja. Titik. Aku mau S2. Aku mau belajar. Aku belum mau kerja. Dan itu memang tidak bisa diganggu gugat. Kalaupun kerja, aku juga nggak mau kerja di perusahaan Jepang. Jadi, aku abaikan saja tawaran-tawaran kerja di perusahaan Jepang yang kece-kece (sumprit sombong banget ya guweh). Karena aku memang nggak mau kerja. Buat mereka yang mengenalku, pasti bisa mengerti. Tapi, buat yang tidak, mereka mungkin akan berpikir aku sombong, sotoy, sok pinter, dan blablabla.
Aku tidak menyalahkan mereka yang bekerja setelah lulus S1. Bekerja setelah lulus S1 itu baik. Sangat baik. Setidaknya, mereka sudah mapan dari segi ekonomi, life skill, dan soft skill. Tapi, yang membuatku tidak berminat, aku tidak tahan dengan persaingannya. Lihat saja, career days di UGM beberapa hari lalu. Haaaaaaaah.... Rame macam antrian semut. Itu, bisa saja membuktikan: lulusan S1 di negara ini sudah terlalu banyak. Seperti lulusan SMA. IPK di atas 3,5 mungkin sudah seperti siswa yang mempunyai rata-rata nilai 8 di ujian nasional. Jadi, career days di UGM beberapa hari lalu, hanya bisa kuamati dari FIB dengan tersenyum dan berkata dalam hati, "Selamat berjuang, semuanya.".
Di jurusanku, entah ini perasaanku atau emang kenyataannya begitu: lulus S1, rata-rata langsung memilih kerja. Dengan modal bisa ngoceh pakai bahasa Jepang, duuuuh.. perusahaan mana sih yang nggak kepincut. Apalagi kalau kamu punya sertifikat JLPT (TOEFL bahasa Jepang) level 2 dan sudah pernah ke Jepang. Jangankan ngelamar kerja, perusahaan-perusahaan sudah akan datang padamu dengan sendirinya. Mungkin kalau dihitung, lulusan S1 di jurusanku yang melanjutkan S2 itu, kalah banyak.
Tapi sayangnya (atau untungnya?), aku tidak termasuk di dalamnya.
Dosenku pun demikian. Entah sudah berapa kali beliau-beliau ini bertanya tentang rencanaku setelah lulus S1. Dan pertanyaannya pun sama: "Kenapa nggak bekerja saja?".
Ha-ha-ha-ha-ha.
Begitulah. Terserah kalian bagaimana memandang seorang lulusan S1. Apakah sebaiknya ia bekerja atau melanjutkan sekolah. Sebenarnya, kedua pilihan itu baik. Sama-sama baik. Dan yang pasti ada plus-minusnya. Sama halnya kalau kau perempuan, dan memilih bekerja atau menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Analogikan saja seperti itu. Karena bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, itu sama-sama baik dan mulia. Sekian.

--------------------------------------------------------------
 (Part 2)

Masih menyambung cerita di atas. Sebenarnya percakapan yang kutulis di awal postingan ini, tidak berhenti sampai di situ. Setelah aku menjawab, "Enggak. Bekerjanya nanti saja.". Pertanyaan yang selanjutnya terlontar adalah:
"Emang mau S2 di mana? Luar negeri"
Jangan dikira aku belum menentukan pilihan. Aku sudah menentukan kok. Dan lagi-lagi, pilihanku itu membuat orang-orang yang menanyaiku tercengang::
"Iya. Rencananya mau S2 di Jepang..."
Itu jawabanku. Dan mereka manggut-manggut. Ah, naruhodo. Yappari lulusan S1 Sastra Jepang sudah selayaknya sepantasnya dan seharusnya S2 di Jepang. Tapi bukan. Bukan itu yang membuat mereka tercengang karena sebenernya, jawabanku belum selesai:
"... atau kalau tidak ya di Brunei Darusalam."
Bisa kau bayangkan ekspresi mereka-mereka yang mendengar jawabanku? Dan mungkin saja kau yang membaca postingan ini?
Brunei Darusalam?
"Nggak salah, Fi?"
Rata-rata mereka berkomentar komentar seperti itu.
"Kenapa Brunei?"
Dan pastinya akan ada pertanyaan lagi, semacam itu. Orang-orang, terutama yang ada di jurusanku, mungkin sudah ter-mind set bahwa kuliah di luar negeri itu, ya di Jepang. Hebat sekali ya propagandanya. Atau, kalau orang-orang awam, terlebih yang sering nonton drama Korea, biasanya akan berpikir bahwa kuliah di luar negeri itu kalau nggak Jepang (ngeh), Korea (Selatan), Amerika, Eropah, Singapur, Ustrali, atau China lah ya.
Tapi kok ya bisa-bisanya Fia milih Brunei?
Brunei, Brunei, Brunei. Mungkin mereka hanya taunya Brunei itu negara kecil kaya di Pulau Kalimantan yang kalau tanding sepak bola dengan timnas Indonesia, selalu kalah. Tapi tak tahukah mereka kalau beasiswa pemerintah Brunei, yang ditawarkan ke mahasiswa asing, itu buanyaaaaaaaaaaaaak? Dan tak tahukah mereka kalau (menurut cerita) suasana di sana sangat kondusif untuk orang yang tidak suka keramaian seperti aku? Dan tak tahukah mereka kalau (katanya lagi) pemerintah setempat justru sedang punya misi mengajak mahasiswa-mahasiswa asing untuk kuliah di sana, layaknya Korea Selatan? Dan tak tahukah mereka kalau universitas yang kutuju itu tak kalah kecenya dengan UGM dan mungkin beberapa universitas di Jepang? Dan tak tahukah mereka, dosen-dosen asing itu sangat laku di sana? Dengan gaji sangat tinggi tentunya. Makanya, jangan anggap remeh, Bung, Nona!
Tapi memang benar, perkenalanku dengan beberapa mahasiswa Brunei dan dosen Brunei beberapa waktu lalu, berhasil membuatku berpikir: "Tak ada salahnya kuliah di sana". Toh aku punya kenalan di sana, yang sampai sekarang masih kontak-kontakan. Toh mungkin jika aku beneran kuliah di Brunei (semoga. Amiiiiin), jalanku untuk sekolah di Jepang justru lebih terbuka lebar. Deshoo? Orang itu harus punya plan A dan plan B dalam hidupnya. Hahahaha... Jangan stuck di satu mind-set saja. Dunia itu luas. Dunia itu nggak hanya Jepang. Nikmati saja, Kawan!
Meskipun demikian, aku masih berharap bisa S2 di Jepang. Karena ya memang itu bidangku. Akan lebih baik jika aku meneruskan kuliahku di sana, tentu saja. Karena rencanaku meneruskan riset skripsiku, memang sebaiknya kulakukan di Jepang.
Tapi Brunei Darusalam?
Nggak ada salahnya kok!

-----------------------------------------------------
(Part 3)

Cerita ini hampir serupa dengan ceritaku di part 2. Cerita ini, kualami ketika aku kelas XII SMA. Waktu itu, zaman-zaman krusial anak SMA tahun terakhir untuk menentukan pilihan jurusan di universitas. Ketika sebagian besar temanku sudah mendaftar dan diterima di universitas swasta, aku belum mendaftar di mana pun.
Aku mau kuliah di UGM! Apapun jurusannya, yang penting UGM! Aku nggak mau sekolah di swasta lagi! Mahal! Kasihan bapak-ibuk!
Itu aku ketika SMA. Karena sudah sedikit hopeless, masuk Sastra Jepang itu saingannya nggilani. Waktu itu, aku beruntung punya wali kelas yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat perhatian sama aku. Beliau sangat pengertian dan berpikiran terbuka. Ya, waktu itu, teman-temanku sekelas memilih jurusan Akuntansi, Manajemen, Psikologi, Hubungan Internasional, Hukum, Komunikas, dan jurusan mainstream lainnya.
Aku?
Sastra Jepang. Pilihan pertama pula.
Hahaha.
Lucunya, perasaanku pada saat itu, kurasakan saat ini (baca lagi part 2 kalau belum ngerti). Hahaha... Wali kelasku sangat berjasa membantu kembalinya rasa percaya diriku saat itu. Dia berkata bahwa jurusan yang kupilih itu sangat bagus dan memang sangat sesuai dengan minatku. Jangan salah, banyak yang menyayangkan aku memilih Sastra Jepang. Mereka ingin aku kuliah di Akuntansi. Gara-garanya? Nilai pelajaran Ekonomi di raporku 90-an. -_________-".
Ketika aku diterima di Sastra Jepang UGM, orang-orang banyak yang memberiku selamat, tak terkecuali wali kelasku. Banyak yang bilang kalau pilhanku tepat, sesuai minatku, dan aku bangeeeeet. Hahaha..
Tapi, aku masih ingat. Ada satu guruku yang agak -_____________-" memandangku memilih Sastra Jepang. Mungkin dikiranye masuk Sastra Jepang UGM itu gampang dan ah biasalah yang semacam memandang kalau ilmu eksak itu yang paling kece sedunia.
"Alifia ketrima di mana?"
"UGM, Pak. Alhamdulillah."
"Jurusan apa?"
"Sastra Jepang." (dengan bangga dong)
"Oh. Rasah nggaya yo."
Haish. Sebel banget saat itu. Tapi tak apalah. Hahaha. Ketawain aja deh Beliau.

------------------------------------------------------
 (Epilog)

"... Because being not-mainstream is too mainstream."
Hahaha... Sekarang banyak ya orang yang nggak mau dikatain mainstream. Jujur, aku juga pernah seperti itu kok. Tapi, ketiga cerita di atas, itu sungguh bukan karena aku ingin melawan mainstream dan dibilang tampil beda. Ketiga cerita di atas, yang kususun dengan diksi acak-acakan itu, tanpa ada unsur kesengajaan. Kalau di istilah kece, namanya kebetulan. Tapi asik juga kok, meskipun kadang-kadang nyebelin juga karena nggak sedikit orang-orang yang mencibir pola pikirku yang kadang nyeleneh dari pola pikir mereka. Tapi selama yakin dan pede dan cuek, itu nggak masalah. 
Apalagi masalah fashion. Hahaha. Cerita lagi nih, padahal sudah masuk epilog (biarin ah. haha). Sekarang zamannya cewek-cewek berjilbab di Indonesia pada dandannya pakai pashmina njuk pakai cupit ninja trus digubet-gubetin gitu. Ya kan? Sebenernya aku kepingin bisa pakai jilbab kayak gitu. Tapi belum bisa. Trus setelah KKN, entah dapat ide dari mana, aku mengkombinasikan kerudung langsungan biasa sama topi rajut warna-warni. Hasilnya? Setiap aku melangkahkan kakiku di mana pun, semua mata tertuju padaku. Hahahahahahahahahahaha... Teman-temanku yang cewek-cewek bilang itu keren. Tapi teman-temanku yang cowok-cowok bilang, aku seperti Mbah Surip -_-. Dan mereka bertanya kenapa aku nggak pakai topi rajut ala rasta yang warna-warni itu. Aku bilang, kalau ada beneran, aku bakal pede pakai itu. Dan mereka pun hening seketika denger jawabanku. Hahaha.

Percaya deh selama kamu pede, yakin, dan cuek dengan ketidakmainstream-an mu --apapun itu-- kupikir sah-sah saja. Itulah keunikan manusia. Asal jangan hal-hal yang merusak moral, aqidah, dan akhlak saja. Hahaha..

Ngomong apa sih aku?

ja ne...

Jumat, 19 Oktober 2012

Amazing July :)

 Hai.

Aku lupa menceritakanmu sesuatu. Sesuatu yang penting. Tapi, sesuatu ini sempat terlupakan untuk kuceritakan di sini. Jadinya, tulisanku yang ini, sebenarnya sudah kutulis sejak bulan Juli. Tetapi hanya tersimpan di post list sebagai salah satu dari sekian banyak draft yang menumpuk di blogku. Hahaha.

Dari dua belas bulan yang ada di tahun ini --semoga tidak berubah--, aku akan terus mengingat Juli 2012 sebagai bulan yang luar biasa. Pokoknya, bulan ini benar-benar bulan yang istimewa buatku. Meskipun pada awalnya, aku berpikir, aku 'hanya' akan menghabiskan bulan Juli-ku tahun ini untuk puasa dan KKN saja.

Tidak. Ternyata tidak juga.

Ada satu hal lagi yang sangat istimewa di bulan ini. Jadi kupikir, sah-sah saja jika aku akan mengingat bulan ini untuk jangka waktu yang lama.

 Aku bingung harus cerita dari mana. Hahaha. Karena semuanya seperti berjalan sangat cepat. Sangat cepat sampai-sampai ketika hari-hari itu berakhir, aku cuman bisa tertegun, "Ha?"

Baiklah. Mungkin ceritaku akan aku mulai dari tanggal 5 Juli 2012. Hari Kamis. Tak ada yang istimewa di hari itu. Awalnya. Selain --yang jelas-- aku sedang ribet mempersiapkan perlengkapan KKNku (ya, penerjunan KKNku adalah tanggal 7 Juli), yang entah mengapa itu sangat membosankan dan membuatku sangaaaaaat malas.

Hari itu, siang. Aku dan teman-temanku sedang duduk malas-malasan di Kansas --Kantin Sastra-- FIB UGM. Aku lupa apa yang sedang kami bicarakan. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa ada SMS yang masuk ke HPku. SMS itu membuatku panik setengah mati. Syok. Tak usah kau bayangkan bagaimana ekspresiku saat itu. Dan karena SMS itulah aku lari ke kantor jurusan. Menemui dosen pembimbing skripsiku. Ya, Beliaulah yang mengirim SMS itu. Intinya, Beliau dan tim pengujiku memberiku pilihan: pendadaran tanggal 10 Juli atau setelah tanggal 23 Juli. Hah! Pendadaran? Sungguh, di saat-saat krusial seperti ini?? Di saat aku sedang luar biasa malas, bahkan hanya untuk memikirkan KKN saja?? Pilihan yang sulit, pikirku. Aku diam lamaaaaa sekali sambil mengeluarkan ciri khasku --cengengesan-- di depan tim pengujiku. Akhirnya, setelah pertimbangan ini-itu, aku memutuskan untuk memilih tanggal 10 Juli sebagai hari pertanggungjawaban-sesuatu-yang-sudah-aku-tulis-selama-setahun-ini.

Syok.

Kaget.
 
"Gile lu, Fi! Persiapan KKN aja belum selesai, apalagi persiapan pendadaran?"
"Eh eloh yakin mau izin di minggu-minggu awal KKN?"
"Sempet nggak ya latihan dulu?"

Ketakutan-ketakutan itu berputar-putar di kepalaku sesaat setelah aku menjawab, "Oke, sensee. Saya mau pendadaran tanggal 10 Juli". Aku melangkah gontai dan kembali ke Kansas. Di sana banyak temanku. Mereka heran dengan perubahan raut wajahku yang begitu drastis. Dan begitu aku menceritakan apa yang baru saja aku alami, mereka langsung menyelamatiku dan menyemangatiku.

Mati aku.

Seharusnya aku tidak boleh mengatakan itu. Seharusnya aku bersyukur ada mereka yang gembira mendengar informasi ini. Tapi, ini...ini...ini terlalu cepat.

"Ah biyasa wae, Fi. Justru kamu akan sangaaaaaaat keren karena kamu bisa pendadaran di saat kamu KKN!"

Kata-kata itu begitu saja masuk ke dalam pikiranku. Ya ampun, bodohnya aku. Jarang-jarang ada mahasiswa yang pendadaran di tengah-tengah KKN. Untung aku KKN di Magelang, bukan di Papua.

Tapi, ketakutanku yang lain tiba-tiba muncul.

Aku teringat dengan kelompok KKN-ku. Sudah dari sananya jika aku terstruktur sebagai manusia yang kadang-kadang merasa nggak enakan dengan orang lain. Aku nggak enak dengan teman-teman KKNku yang baru beberapa hari penerjunan, harus ditinggal seorang anggotanya untuk pendadaran. Aku takut mereka tidak akan mengizinkanku pergi. Ketakutan ini kusampaikan pada ibuku. Dan ibuku bilang, "Sudahlah. Mereka akan paham dengan posisimu, kok".
Tapi, ketakutanku itu tidak terjadi. Kormanitku yang super baik hati, Bang Fu, mengizinkanku pergi! Yey! Tidak hanya Bang Fu, tetapi juga Kormasitku, Ical dan teman-teman sub-unitku: Ita, Imey, Mbak Hae, dan Zuli juga memperbolehkanku izin! Justru mereka yang sangaaaaaaaat cerewet menyuruhku belajar dan malah tidak memperbolehkanku ikut rapat-rapat dan lain sebagainya. Hahahaha... Itu lucu sekali.

Sehari sebelum pendadaran, aku memutuskan untuk izin pulang. Terdengar konyol sih, tapi bagaimana lagi. Ujianku pagi, jam 9. Kalau aku memaksa tetap tinggal di pondokan KKN dan tidak pulang, justru aku akan repot sendiri. Bangunpagipagidandanpagipagimakanpagipaginunggujemputanbapakkalojemputannyalamasamaajabikin-
akutambahgelisahbelumlaginantidijalanjugalamabelumkalaumacet.
Ribet to?
Nah, akhirnya aku pulang tanggal 9 siang. Itupun aku masih sempat ikut upacara penerimaan mahasiswa KKN di kantor kecamatan. Dan itu pun sebenernya aku malah nggak dibolehin ikut sama kormanitku dan teman-temanku. "Udah, Fi. Pulang aja", gitu katanya. Tapi, masalah muncul lagi! Aku belum tahu ruangannya di mana!!! Konyoooooool.... Aku telpon sekretaris administrasi jurusanku, nggak diangkat. Matek. Masa' besok pagi-pagi sebelum pendadaran aku musti tanya ke jurusan dulu. Tengsin dong ah. Trus aku SMS Awang, seniorku yang DPSnya sama denganku. Ternyata dia nggak di kampus. Dia malah mau nyoba tanyain ke pacarnya yang lagi di kampus. Ah lamak! Ya sutralah. Jalan terakhir --bukan terakhir juga sih--, telpon Sarah. Sarah ngetawain aku. Ya iyalah. Besoknya pendadaran, tapi belum tahu ruangannya di mana. Ya uding, akhirnya si Sarah ngasih tau aku dan mungkin sambil ngomong di dalem hati, "Piye to Fia ki. Cen rak jelas".

Malam sebelum pendadaran.
Aku menangis. Serius. Aku merasa benar-benar-benar belum siap. Belum pernah aku segrogi ini sebelumnya. Aku sering tampil di depan umum, berbicara di depan banyak orang, tapi 'hanya' presentasi di depan tiga orang dosen saja, aku menangis sebelumnya. Parahparahparahparah. Ibuku mencoba menenangkanku. Tetapi, justru malah sedikit menakutiku karena ibuku juga cerita tentang mahasiswanya yang pas pendadaran grogi amat sangat. -_-". Dan setelah lama kemudian, akhirnya aku tenang. Tapi tetep saja di dalam pikiranku, ada banyak hal yang berkecamuk:
Aku nyesel pendadaran pas KKN.
Kenapa aku masukin skripsi ke tim pembacanya lama ya? Harusnya bisa dari dulu-dulu.
Tau gini, KKN tahun lalu aja.

Ya, semacam penyesalan-penyesalan yang sebenernya nggak penting karena seharusnya itu semua bisa diatasi kalau aku tidak malas dan nggak gampang mutungan karena hal-hal kecil.

Hari pendadaran.
Ternyata ibuku juga nguji mahasiswa yang pendadaran hari itu. Pagi-pagi aku sudah dandan dan bersiap-siap. Ibuku bahkan sudah waza-waza membelikanku kemeja putih kece dan rok hitam untuk kupakai. Grogi masih lha, ya. Tapi untungnyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaauntungnyauntungnyauntungnya ada Sarah, Pijar, Dista, dan Arum yang menemaniku dan membantuku menyiapkan semuanya. Mereka berempat berhasil membuatku terus tertawa dan sedikit demi sedikit, kegelisahanku tentang pendadaran menjadi hilang. Mucho mucho mucho gracias, mi amigos! :'). Sayangnya, nggak sempet foto-foto :(.






Pendadaranku dibagi tiga sesi. Sesi pertama, presentasi. (untungnya) Pakai bahasa Indonesia. Waktunya dibatasi 10 menit (mak jiaaang!). Sesi kedua, tanya jawab. Tanya jawab ini spesial soalnya memakai bahasa Jepang juga. Sesi ketiga, aku diminta keluar dan para penguji akan rapat untuk menentukan nilaiku.
Sewaktu pendadaran, aku memilih duduk ketika presentasi. Sebenernya, aku nggak suka duduk kalau harus presentasi. Tapi kali ini, aku tahu kalau aku berdiri, aku akan terlihat sangat grogi. Jadinya, aku memilih duduk. Presentasiku sedikit panjang, mungkin lebih dari 10 menit. Tapi, alhamdulillah lancar.
Nah, ini dia. Sesi tanya jawab. Oh mi gawd! Sebagian besar jawaban yang kupersiapkan, nggak dipakai semua! Para pengujiku ngasih pertanyaan yang nggak kuprediksi. Olalala... Jawabanku pun bisa ditebak: muter-muter dan nggak yakin. Hahaha. Apalagi ketika salah satu pengujiku mengotak-atik abstraksiku yang bahasa Jepang dan menanyaiku dengan bahasa Jepang. Matek aku.
Pokoknya, sesi tanya jawabku ancur-ancuran.
Nah, sesi selanjutnya ini yang justru paling deg-degan. Aku diminta keluar sebentar supaya tim pengujiku bisa mendebatkan nilai yang pantas untukku. Aku keluar dan di luar ruangan sudah ada Lastri juga yang menungguiku :'). Aku dan teman-temanku yang menemaniku, ngobrol ngalur ngidul tentang pendadaranku. Fiyuuuuh... Sekali lagi, untung ada mereka :').




Beberapa menit kemudian, aku diminta masuk lagi ke ruangan. Dan diminta duduk. Sekarang suasananya sedikit santay pakek y. Dan terjadilah percakapan ini antara aku dan para sensee:

Sensee (S): "Gimana tadi, Fia? Hehehe"
Aku (A): "Grogi banget, sensee".
S: "Menurut Fia, tadi kekurangan Fia apa?"
A: "Waktu tanya jawab, Sensee. Jawaban saya muter-muter".
S: *sambil senyam senyum seakan mengiyakan jawabanku* "Oh gitu... Terus Fia maunya dikasih nilai berapa?"
A: *waaaiki, batinku* "Mmmm... AAAApa adanyalah, Sensee.." *sengaja kasih penekanan di huruf A sambil nggak berhenti cengengesan*
S: "Beneran, nih. Apa adanya? Saya kasih apa adanya lho. Hehehe..."
A: "Bukan apa adanya, Sensee. Tapi AAAApa adanya. Hehehe..."
S: *sambil kasih kertas* "Nah ini nilaimu, silakan diliat".
A: "Alhamdulillah.... Hehehe"
S: "Lha tadi katanya mau apa adanya... Saya ubah ya nilai kamu. Hahaha"
A: "Wah ya jangan, Sensee. Hehehe..."

Hahaha... Sumpah nggak penting banget. Hahaha... Setelah itu sensee-ku bacain nilai keseluruhanku. Dari presentasi, sikap, tanya jawab, dsb. Tapi aku nggak dengerin. Hahaha. Soalnya saking senengnya akhirnya aku bisa kelar pendadaran dan dapat nilai AAAApa adanya. Hahaha... Dan alhamdulillah, revisiku nggak sebanyak yang kukira. Bayangan tentang pendadaran yang dibantai sama penguji, musnah sudah. Semuanya baik :).

Sayangnya, waktu itu aku belum resmi jadi S.S. (Sarjana Sastra). KKN-ku baru saja mulai. Uuuuuu... Sorenya, aku langsung pulang ke pondokan KKN. Semuanya menyambutku dan menyalamiku. Makasih semuanya :'). Tapiiiiiii.... Masa euforia pendadaranku pun habis hari itu juga. Soalnya, masih ada tanggungan bikin Laporan Rencana Kerja dan bikin program-program KKN. Revisiku pun baru sempat kukumpulkan dua minggu setelah pendadaran. Dan setelah itu, ada banyak keribetan lain mengenai pengurusan pasca-pendadaran --dan sebenernya mungkin bisa nggak seribet itu kalau aku stand by di Jogja--.

Dan percayalah, aku sangat tidak merekomendasikan pendadaran ketika KKN. Kalau mau, pendadaranlah sebelum atau setelah KKN. Kau akan mengalami banyak keribetan nantinya. Hahaha...


spesial trims untuk:
Tim pengujiku (Stedi sensee, Mbak Dian, dan DPSku yang paling cantik, Wiwik sensee
Adekku dan ibuku yang membantu ngurus2in semuanya dari ngubah skripsi ke bentuk PDF, ngurus bebas perpus, jilid skripsi, dsb. Muahkasih :D



ja ne...

Selasa, 16 Oktober 2012

関係があるかな~

Sekitar sepuluh menit yang lalu, saya ngetwit:

今週から寂しくなるのかな~。卒業式まであと一ヶ月。みんなは自分の未来、自分の夢をもう決めたかもしれない。バラバラになり始めるね。T_T

Biasalah, sedang merasa seperti itu saja akhir-akhir ini. Lupakan tentang tata bahasa saya yang hancur-hancuran. Lima menit kemudian, saya membuka FB dan ada notifikasi dari sahabat saya yang sekarang S2 di FIB UGM, bahwa dia menandai saya di catatannya. Saya suka kalimat terakhir yang ia tulis:

Berjalan seorang diri itu tidak sulit,
tapi
Ketika perjalanan itu sudah ditempuh bermil-mil bersama seseorang,
kembali berjalan seorang diri itu sungguh sulit (Adista Nur Primantari, Kawan Seperjalanan)

Entah kenapa, saya merasa ada sinkronisasi antara tulisan sahabat saya itu dan twit saya. Hahaha. 関係があるかな~
Ah cuman perasaan saya saja kali ya :'D

ja ne...