Rabu, 08 Februari 2012

Curhat Pra-Monkasho

Salah satu dari sekian banyak dari sifat burukku adalah diam. Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kuceritakan sama orang-orang, tapi nggak bisa ku lakukan. Waktu kecil, aku kadang dinakalin sama temanku. Tapi aku cuma diam. Nggak cerita sama siapapun, termasuk sama orang tuaku. Sejak itu, diam ketika dapat masalah sudah jadi kebiasaanku. Aku menikmati alur perjalanan masalah-masalahku. Lagi-lagi sendirian. Rasanya asyik, menurutku. Aneh memang. Padahal, sebenarnya aku bisa saja minta solusi teman atau keluarga atas masalah-masalahku itu. Tapi aku nggak mau. Alasannya? Nggak tahu. Nggak ada alasannya, mungkin.

Dan mungkin dengan diamnya aku, kadang-kadang aku merasa apatis dengan keadaan sekitar. Ya, bisa jadi aku terlalu asyik mahsyuk dengan duniaku dan masalah-masalahku sendiri. Kalau ketahuan ibuku, biasanya aku langsung dimarahin karena nggak peduli, egois, dan cenderung anti sosial. Hahahaha.

Sebenarnya, salah satu kejadian paling menyebalkan dengan kebiasaan diamku adalah ketika ada sesuatu yang terjadi di sekitarku dan aku mengetahuinya. Kadang-kadang aku nggak bisa mengekspresikan dengan benar perasaanku yang sebenarnya ketika melihat atau merasakan atau mengetahui kejadian itu. Saking bingungnya dan takut salah berekspresi, lagi-lagi, aku cuma bisa diam. Termasuk ketika aku merasa simpati dan peduli. Aku cuma diam. Dan menurutku, itu parah. Karena ketika kejadian-kejadian tersebut sudah berlalu dan meninggalkan sesuatu yang tidak bisa disebut baik, aku menyesal, "Kenapa aku nggak gini, kenapa aku nggak gitu". Tapi jangan dikira aku nggak berpikir pada saat itu. Aku berpikir kok. Aku selalu berpikir apa yang harus kulakukan untuk bisa menjadikannya lebih baik atau lebih ringan. Tapi terkadang, ujung-ujungnya aku cuman bisa bertanya-tanya dalam hati, "Aku nggak bisa ini-itu. Aku bisanya apa, coba?"

Apa coba, aku bisanya?
Diem?

ja ne...

Tidak ada komentar: