Minggu, 17 Februari 2013

Ketika Aku Masih Kecil dan Bapak-Ibukku

Ketika aku kecil, aku nggumun tiap liat sepasang suami-istri dgn anak-anak mereka dan si suami bisa dengan riang bercanda dengan si istri. Aku berpikir kalau mereka aneh.
Dulu, aku merasa kalau semua orang tua seperti ibuk-bapakku. Ternyata, tidak. Setelah sedikit besar, aku baru mengerti. Justru keluarga yang bapak-ibuknya ngobrol santai, itulah yang normal. Memang cara berkomunikasi ibuk-bapakku saja yang sedikit spesial dan cenderung 'aneh'.

Ketika aku kecil, aku iri dengan sepupu-sepupuku yang tiap pulang sekolah, mereka selalu disambut hangat oleh ibu mereka. Ibukku hampir tidak ada di rumah ketika aku pulang sekolah. Makan siangku selalu diurusi oleh nenek, bapak, atau bulek-bulekku.

Ketika aku kecil, aku sebal jika diinvestigasi oleh ibukku setiap hari tentang jajanan yang kubeli. Aku selalu berbohong tidak pernah beli es lilin. Padahal, aku sering beli. Lagi-lagi, aku iri dengan teman-temanku yang diperbolehkan orang tuanya jajan es.

Ketika aku kecil, aku paling malas berangkat ngaji. Ustadzahnya galak. Dan ibukku nggak ngerti. Aku merengek nggak mau berangkat. Dan ibukku mengancam akan menjualku kalau aku tidak mau ngaji. Jadilah aku menangis keras sekali, dibonceng sepeda sama ibukku, berangkat ke tempat ngaji, dan ibukku teriak-teriak sepanjang jalan, "Dijual anak, dijual anak". Tangisanku makin keras.

Ketika aku kecil, aku manut saja diajarin oleh bapakku tentang julukan-julukan aneh untuk ibukku. Kami selalu membicarakannya dengan riang gembira. Dan ketika aku mencoba mempraktikkannya langsung, aku dimarahi habis-habisan oleh ibukku. Ah tentu saja.

Ketika aku kecil, bapakku sering bercerita yang aneh-aneh. Imajinasinya luar biasa. Suatu ketika, ia bercerita tentang ikan paus yang makan manusia. Aku belum tahu tentang sejarah Nabi Yunus as atau Kakek Gepeto waktu itu. Aku pikir, enak sekali hidup di perut ikan paus. Bisa makan jeroannya langsung. Fresh from the oven. Dari situ, aku sempat kepingin hidup di perut ikan paus. Nah, yang ini, lain cerita. Bapakku pernah bercerita kalau dia ingin memelihara tikus raksasa yang tingginya sama dengan pintu rumah. Katanya untuk berjaga-jaga kalau ada maling masuk, tikus raksasa akan menyerang maling itu dan memakannya. Dan aku sempat percaya kalau tikus seperti itu benar-benar ada.

Ketika aku kecil, aku sempat bingung dengan pekerjaan bapakku. Penyiar radio atau pemilik kursus broadcasting atau penyuplai pemancar radio untuk radio-radio pemda seluruh Indonesia atau....pencipta lagu satire? Ya, bapakku suka membuat lagu-lagu, plesetan dari lagu terkenal, dan liriknya diganti dengan lirik-lirik jenaka. Biasanya isinya...tentang kelakuan orang lain. Aku senang sekali menghapalnya. Sampai-sampai aku nggak percaya kalau nada lagu itu sebenarnya sudah ada sejak dulu --bukan bikinan bapakku--.

Ketika aku kecil, bapakku sering pergi ke luar pulau Jawa. Pesanan pemancar radio untuk radio-radio pemda sedang luar biasa banyaknya. Di setiap hotel yang ia tinggali, bapakku nggak pernah lupa memberi tahu nomor telepon hotel pada kami, supaya bisa setiap hari berkomunikasi. Pernah suatu saat, bapakku ada proyek di Kalimantan dan itu lamaaaaaaaa sekali, sebulan mungkin. Setiap hari, ibukku nggak pernah absen menelpon hotel bapakku. Saking seringnya aku menyimak percakapan ibukku ketika menelpon, aku sampai hapal kalimat pembukanya. Jadi, kadang-kadang aku berpura-pura sedang menelpon bapakku, dengan kalimat yang sama, saking kangennya.

Ketika aku kecil, aku sering  dimarahi oleh ibukku kalau pilih-pilih makanan.Ya, ibukku yang kalian kenal manis, bersahabat, suka bercanda, dan lain sebagainya, bisa berubah super galak kalau aku rewel soal makanan. Untuk membujukku makan, ia selalu menceritakan tentang orang-orang dan anak-anak di Uganda, Bosnia, atau Irian (Papua) yang banyak yang nggak bisa makan karena kelaparan atau perang. Yap, di usia TK, aku sudah tahu kalau ada negara yang bernama Uganda dan Bosnia yang pada waktu itu dilanda kelaparan dan perang. Percaya tidak percaya, cara itu cukup manjur buatku. Sekarang, aku jadi orang yang tidak pilih-pilih makanan. Hahaha

Begitulah orang tuaku. Itu baru sedikiiiiit cerita tentang aku dan orang tuaku ketika aku masih anak-anak. Tidak akan ada habisnya kalau aku cerita tentang mereka di sini. Dan tentunya, aku sangat bersyukur memiliki mereka. Mereka tidak pernah memaksa kehendak mereka untuk urusan yang menyangkut pilihan hidupku. Mereka juga tidak pernah membatasi aktivitasku dan justru mendukungnya, selama itu positif dan membuatku bahagia. Mereka  selalu mempercayaiku, mempercayai pergaulanku --yang untungnya, sejauh ini, teman-teman yang kupunya sangat baik--, dan aku selalu berusaha untuk tetap menjaga kepercayaan mereka. Larangan-larangan mereka yang sering membuatku sebal, karena merasa kalau mereka sangat overprotektif, justru baru kurasakan manfaatnya sekarang. Mereka tahu karakterku yang kadang-kadang labil, tempramen, meledak-ledak *eh sama saja ya*, harus (lebih tepatnya 'dipaksa') 'dikontrol' dengan cara mereka sendiri, untuk menjagaku dari hal-hal yang aneh-aneh. Tak terhitung lagi terima kasih yang harusnya kukatakan pada mereka. Dan yang pastinya ucapan maaf yang lebih banyak karena sampai saat ini, aku belum menjadi anak yang baik bagi mereka.

Selamat ulang tahun pernikahan ke-23, ibuk-bapak. Kalian pasti bahagia. Ya, pasti. Jarak usia yang panjang, 18 tahun, membuktikan bahwa tak ada hubungannya antara cinta dan keinginan yang bersatu. Tapi ya itu, ada satu hal yang cukup mengganjal buatku hari ini: dengan usia bapakku yang sudah tidak muda lagi --usia yang sangat pas untuk dipanggil 'kakek', aku bahkan belum kepikiran untuk menuju ke arah 'sana'. Doo shiyoo? *kok malah curcol ya*. 

ja ne...

Tidak ada komentar: