Hai.
Baruuuu aja
kemarin ini ada pemilihan duta wisata di Sleman. Ada beberapa orang yang saya
kenal yang ikut di dalamnya. Yaa, mereka emang kece, sih. Dan entah kenapa,
kali ini saya jadi tertarik menulis tentang duta-dutaan atau kontes-kontes
semacamnya. Entah itu duta wisata, duta budaya, duta *ehem* bahasa *ehem*, duta
mahasiswa, duta museum (serius! ada! Nggak percaya? Tanya teman saya sana),
Duta Sheila On 7, Duta Minang…. Oke, yang dua terakhir ini agak ngaco, abaikan
saja. Pokoknya yang ada embel-embelnya “Duta…” atau “Ambassador…” atau “Miss…” atau
“Putra Putri…”.
Saya nggak
memungkiri, sih kalau saya juga pernah kepeleset di dalamnya *macak ayu* (mau
menulis ‘terjerumus’, takutnya konotasinya negatif. Jadi pakai istilah ‘kepeleset’
aja). Dan saya jadi kadang agak malu-malu dan berat mengakuinya *halah*.
Karena ini
mau nggak mau menyangkut saya juga, saya pingin cerita sedikit soal saya yang
kepeleset di dunia per-duta-an itu.
Well, tahun lalu, entah salju sedang turun sangat
banyak atau angin yang terlalu kencang berhembus (?), saya ikut suatu kontes:
pemilihan Duta….Bahasa. Ajaibnya, saya masuk lima besar. Ketawa dulu, yuk.
Ha-ha-ha-ha.
Teman-teman
saya kaget.
Keluarga
saya kaget.
Orang tua
saya kaget.
Saya,
nyaris semaput.
Dan bagi
saya (dan orang-orang yang mengenal saya dengan baik), ini nggak Fia banget. Dengan segala keabsurdan yang ada di dalam diri
saya, ada kesan ‘nggak mungkin’ saya ikut kontes semacam ini: didandani dengan
pakaian Jawa, menjawab pertanyaan juri, dan blablablablabla.
Terima
saja, ini sudah takdir dan rezeki. Hehehehe.
Dan saya
ikut kontes itu pun ada campur tangan sahabat saya yang sudah malang melintang
di dunia per-duta-an. Saya dapat segala info, dinamika dunia per-duta-an juga
dari dia. Dari situ, saya tertarik. Untuk ‘melihat’ kehidupan yang
berwarna-warni nan terang benderang di dunia itu dan tentu saja, bukan untuk
terjun di dalamnya.
Saya sadar (diri),
di samping ukuran tubuh saya yang minim (tinggi badan ya yang minim, bukan
berat badan. Puhlis ya. Hahaha), kontes semacam ini dan kehidupan di dalamnya,
pokoknya semuanya, itu bukan dunia saya. Setiap orang, menurut saya, punya
sesuatu yang ketika terjun ke dalamnya atau masuk ke dalamnya, merasa “Ini
dunia gueeeee….”. Misalnya, gampangnya gini, saya belajar bahasa Jepang karena
saya suka bahasa Jepang. Lalu, ketika mahasiswa, saya sering ditawari ngajar
bahasa Jepang. Nah, dari situ saya mulai suka ngajar, membagi pengetahuan yang
saya punya dengan orang lain. Dan saya pun akhirnya mulai menemukan ‘dunia gue’
di bidang pengajaran bahasa Jepang.
Paham,
nggak?
Ya udah,
kalau nggak paham nggak papa. Saya juga bingung neranginnya. Hahaha. Pokoknya
gitu deh: dunia per-duta-an itu bukan dunia saya, meski saya juga bersyukur
dapat teman yang asik nan absurd di kontes duta bahasa itu. Yaa, sebenarnya
juga bukan dari faktor orang-orang yang ada di dalamnya. Saya nggak masalah
dengan mereka yang hobi ikut kontes seperti itu. Saya salut malah. Mereka
hebat. Berpengetahuan luas dan berpenampilan menarik. Udah ganteng-ganteng,
cantik-cantik, pintar pula.
Hanya saja,
jangan berharap saya ikut kontes semacam itu lagi. Saya nggak ketagihan ikut
kontes semacam itu, nggak seperti yang lainnya, habis ikut Pemilihan Duta A,
terus ikut ke Pemilihan Putra Putri B, eh nggak lama habis itu dia loncat ke Pemilihan
Miss/Mister C.
Sekali lagi, yang seperti itu bukan ‘dunia gue’.
Agak
sedikit (?) susah memang menjelaskan tentang ‘dunia gue’ tadi. Jadi ya akhirnya
ngambang gini. Nggak ada klimaks dan penyelesaiannya. Tapi kalau kalian
mengenal saya, saya yakin kalian bakal paham dengan maksud saya. Ya kan?
Hahaha.
3 komentar:
Ciyeh Mbak Fi <3
cie duta bahasa....
cie....
*guweh sih mahasiswa biasa ya, rakyat jelata....
@Zahra: Ciyeh Zahra <3
@Sekarndhut: Heh apa kamu bukan Duta Bahasa? Aku malah lebih rakyat jelata di sini. Hahahaha
Posting Komentar