Selasa, 09 Juli 2013

Jangan Sekali-kali Kau Remehkan (Lalu Lintas) Jakarta. Sungguh.

Sabtu lalu, saya kembali mengunjungi Jakarta untuk mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang. Untuk pertama kalinya, saya pergi bersama sahabat saya, Sarah (kalian bisa membaca blognya yang sangat mengesankan di Sumur Timba). Kami berangkat berdua naik kereta api. Orang tua dan saudara saya yang di Jakarta yang kediamannya akan kami tempati tak henti-hentinya mewanti-wanti. Jangan remehkan Jakarta. Sedikit pun.

Pendaran keanggunan namun berbalut keangkuhan yang dimiliki Jakarta langsung menyambut kami di Stasiun Gambir. Tapi silaunya tak boleh membuat kami berdua lengah. Di situlah kami harus mulai melepas topeng kepolosan stereotip orang-orang Jawa. Setengah mati saya menyembunyikan serangan kepanikan karena keramaian. Ini Jakarta, Nona. Agoraphobia-mu tak boleh kumat. Setidaknya untuk tiga hari. Oke, deal.

Lalu lintas Jakarta memacu adrenalin kami. Senyum tipis mengambang di bibir pengemudi taksi. Seolah berkata, "Beginilah Jakarta, Neng". Bangunan pencakar langit di kiri-kanan saya berdiri gagah, memesona,  ingin mengimbangi tanah-luar-biasa-berharga di tempat mereka berdiri. Orang-orang berpakaian modern, bergaya modern, dengan intelektualitas yang tak kalah modern, lalu lalang, dengan tetek bengek label modern-nya, mengelilingi kami. Cahaya lampu di kota ini tak pernah redup. Seperti semangat orang-orang di sini: Sedikit saja kau lengah di sini, kau bisa kalah, bisa habis kau. Mungkin itu yang ingin mereka katakan. Salut tingkat dewa dengan semuanya. Sempurna. Metropolitan yang luar biasa.

Waktu berjalan abu-abu di Jakarta. Itulah kesan saya. Bisa saja kau menginginkan waktu berjalan sangat cepat, dengan segala kesibukanmu yang menggila, tapi kenyataannya bisa sebaliknya. Sarah dan saya saling berpandangan di dalam taksi. "Hidup mereka dihabiskan di jalan", katanya. Iya. Lupakan Jogja. Lupakan tentang betapa singkatnya waktu yang bisa saya tempuh dari rumah saya di Bantul hingga kampus UGM di Sleman. Jarak yang sama, yang bisa saya tempuh 20 menit--30 menit, bisa menghabiskan waktu berjam-jam di Jakarta. Salut lagi dengan para penduduk Jakarta. Kalau ada penghargaan penduduk dengan tingkat kesabaran paling tinggi, harusnya mereka menang. Saya bisa belajar tentang kesabaran dengan mereka. Penduduk Jogja bisa belajar kesabaran berlalu lintas dari penduduk Jakarta. Serius.

Di hari terakhir saya di Jakarta, saya benar-benar-benar merasakan berkejaran dengan waktu di sini. Tak boleh saya salahkan macet. Semuanya di luar kehendak. Tak ada guna menyalahkan pengemudi taksi kami. Perhitungan adalah segalanya di sini. Pun dengan segala hal. Meleset sedikit saja, semuanya bubrah. Kereta tak akan menunggu kami jika kami terlambat. Hati saya bagai diterjang tsunami. Serangan kepanikan kembali melanda. Tak bisa saya tutupi. Kami terancam ketinggalan kereta pagi itu. Jalan satu-satunya adalah tenang dan tidak membuat suasana menjadi keruh. Untungnya, pemandangan di jalanan pagi itu  membuat fokus kami sedikit teralihkan: kumpulan kendaraan berdesak-desakkan, ziarah kubur yang mulai ramai, hingga melihat korban meninggal tertabrak busway (ini serius lho).

Pada akhirnya, saya dan Sarah malah berpandangan dan tersenyum saat petugas pengecekan di Stasiun Gambir berkata begini, "Kereta jurusan Jogja sudah berangkat sepuluh menit yang lalu" dan saat petugas di pelayanan informasi berkata begini, "Maaf, tiketnya tidak bisa ditukar".

Kalau tidak begini, kita tidak akan tahu rasanya ketinggalan kereta ya, Sar. :))    

Sungguh. Lalu lintas Jakarta tak bisa kau remehkan.

ja ne...

Tidak ada komentar: