Senin, 22 Juli 2013

Kicauan Senja

Suatu sore di bonbin, saya *lagi-lagi* diberi pertanyaan oleh Arga:

Fia, kamu lebih milih siapa untuk dijadikan teman kerja? Orang yang dekat denganmu tapi nggak bisa kerja atau orang yang kurang kamu sukai, secara pribadi, tapi kerjanya bagus?

Saya mikir lama. Takut kalau-kalau saya *lagi-lagi* terjebak pada pertanyaannya yang simpel tapi penuh dengan intrik nan lika liku *halah*. Malas aja kalau harus terlibat perdebatan sengit dengannya. Permainan logika anak satu itu sungguh luar biasa.

Lalu dengan hati-hati, saya jawab, "Lebih milih yang kerjanya bagus lah. Masalah pribadi kok dibawa-bawa di pekerjaan. Nggak profesional".

Dia tersenyum. Kemudian, dia bertanya lagi, "Kenapa?"

Saya lalu memberi contoh di beberapa pekerjaan yang pernah saya lakukan. Dan di situ saya berada di posisi sebagai 'orang-yang-harus-menghire-orang-lain'. Saya nggak segan-segan mencoret nama teman yang cukup dekat dengan saya kalau dia 'tidak cukup profesional' di mata saya. Sebaliknya, saya juga nggak segan-segan menghire teman yang sebenarnya nggak terlalu dekat dengan saya, tapi kerjanya mumpuni. Saya bilang pada dia, profesionalitas nomor satu. Masalah perasaan suka atau tidaknya saya dengan orang itu, nomor kesekian.

Arga mengangguk-angguk. Entah dia puas dengan jawaban saya atau tidak. Saya nggak peduli. Karena nggak ada serentetan argumen yang biasa dia lontarkan untuk mematahkan pendapat saya. Save... Save...

Tapi ternyata, yang di mulut, lain lagi di realisasinya.

Intinya, ternyata saya kurang sanggup kalau harus bekerja dengan orang atau komunitas yang kurang saya sukai. Subjektivitas saya merajai lubuk hati dan logika saya yang paling mendalam *tsaaah*. Semuanya menjadi salah di mata saya. Kalau sudah begitu, saya ini mudah mutung dan terlalu reaksioner. Saya tahu itu salah besar. Salah besar. Datang pada mereka tanpa solusi, hanya menyalahkan di belakang, memperlihatkan bahwa pemikiran saya masih terlalu kanak-kanak. Apa bedanya Fia dengan anak kecil umur tujuh tahun? Saya tahu itu tidak baik. Seharusnya saya bisa menyimpan itu semua di dalam hati, dan suka atau tidak suka, jalani saja. Seharusnya begitu. Itu namanya proses pendewasaan. Mungkin saja mereka yang sedang bekerja dengan saya saat ini sudah melihat gelagat saya yang tidak niat. Dari awal memang sudah saya tunjukkan pada mereka, secara agak frontal (agak? Tinjau lagi!), kalau saya kurang berkenan bekerja dengan mereka.

Dan sungguh, Kawan. Ini tidak nyaman. Rasanya seperti jutaan ton pemberat jatuh secara bertahap di tubuh saya. Tentu saja karena ada tambahan ketakutan saya tersendiri dengan 'masa depan hubungan saya dengan mereka'.

Jadi, mungkin saja apa yang pernah saya katakan pada Arga bisa jadi sebenarnya adalah jawaban yang ingin ia dengar, bukan jawaban sesungguhnya yang berasal dari saya pribadi. 

Semoga ini semua berjalan tidak lama dan kali ini, jadi yang terakhir. Kalau bisa, semua perasaan ini harus saya akhiri hari ini, sekarang juga. Capek tauk!

ja ne...

1 komentar:

ayam mengatakan...

Tergantung pekerjaannya. Banyak pekerjaan yang penuh urusan teknis dan pengulangan, contohnya pekerjaan administrasi dan semacamnya. Menurutku, pekerjaan semacam itu tidak terlalu membutuhkan ikatan emosi dan visi antarpekerja. Asalkan bisa kelar sudah cukup. Saya tidak peduli bos/rekan saya menyebalkan (selama itu urusan pribadi) kalau kerjanya benar.
Banyak juga pekerjaan yang butuh sinkronisasi visi, misalnya jadi musisi. Bisa kok jadi musisi 'bayaran': kamu dibayar untuk main gitar di band tertentu terus pergi setelah selesai acara. Akan tetapi umumnya, para musisi lebih memilih punya ikatan emosi lebih kuat sehingga bisa menyatukan ekspresi. Makanya itu, kita sering mendapati kalau kebanyakan musisi itu saling berteman.