Senin, 25 April 2016

Dilema Kartu Nama

Sebelum kuliah sore ini, aku dipanggil International Office kampus untuk briefing  interpreter (semacam) Dinas Pertanian Prefektur Nara bagi orang Indonesia yang akan berkunjung ke Nara esok Rabu (27/4). Seperti biasa, sapaan khas orang Jepang dengan penuh basa basi, membungkuk, lalu tukar-tukaran kartu nama.

Hanya aku yang diam mematung.

Para staf sekilas melihatku seolah ada yang aneh dengan diriku karena tidak mengikuti serangkaian 'ritual' perkenalan tersebut.

Dengan beribu-ribu maaf, aku mengatakan, "Aduh saya tidak punya kartu nama".

Sebenarnya aku berbohong. Aku punya kartu nama. Indonesian version. Tapi dengan bodohnya kutinggal di Jogja. Bahkan ketika aku pulang kampung Maret lalu, untuk kedua kalinya, kartu nama itu kubiarkan saja teronggok di kamarku.

Sebelum aku pergi ke Jepang, aku selalu menyepelekan kartu nama. Buat apa? Kenapa harus bikin? Toh kalau mau minta kontak orang, tanya saja orangnya langsung, atau tanya pada kawan yang tahu kontak orang tersebut. Beres. Kartu namaku yang kuceritakan di atas pun hanya sekadar formalitas untuk keren-kerenan sebelum lulus S1. Dan dari dua kotak kartu nama yang kupunya, aku hanya pernah memberikan kepada orang lain beberapa lembar saja.

Kena batunya kan aku sekarang karena tinggal di negara yang kartu nama diidentikkan dengan identitas, simbol supaya kamu bisa diterima di suatu komunitas. Aku bahkan pernah diajarkan secara khusus cara memberi kartu nama dan cara menerima kartu nama ala orang Jepang. Serius. Tidak main-main.

Maka sesungguhnya, kartu nama bukan hanya sebagai penunjuk jati diri, tetapi juga sekaligus media: "Kalau eloh butuh guweh, eloh tahu ke mana dan bagaimana eloh cari guweh". Kartu nama adalah sebagai pembuka jaringan. Pintu masuk networking. Apalagi di negara yang memaharajakan jejaring macam Jepang ini. Maka dari itu, perlakukanlah kartu nama yang kamu terima dengan sangat hati-hati. Mungkin kamu tidak membutuhkannya sekarang, tapi siapa tahu di masa depan kamu akan membutuhkannya. Begitulah kira-kira.

Aku jadi teringat ketika aku melawat ke Tokyo bulan Desember lalu. Aku menghadiri acara welcoming party para penerima beasiswa MEXT. Orang-orang dari belahan dunia berkumpul di satu tempat, bercengkrama, berbincang, berdiskusi, atau sekadar berbasa-basi. Dan tentu saja, aku bertemu banyak mahasiswa Indonesia. Salah satunya memberikanku kartu nama. Dengan bangga ia bercerita padaku bahwa kampus tempatnya belajar saat ini sengaja (ya, sengaja!) membuatkannya kartu nama sebelum ia datang ke Tokyo. Kampusnya sadar. Bahwa ini anak bisa jadi adalah jalan pembuka bagi kampus dia (dan tentunya, dia sendiri) ke arah jejaring yang mahaluas. MEXT gitu loh. Orang yang akan kamu temui di acara itu pasti bukan orang sembarangan, mungkin begitu pikir kampusnya. Aku sedikit iri dan minder. Karena acara itu kemudian menjadi ajang bagi-bagi kartu nama (dan seluruh ruangan seolah dipenuhi kalimat, "Kalau kamu mau ke tempatku, hubungi aku ya...") dan aku cuma plonga plongo geje sambil nggumun dengan atmosfir pertemuan yang membuatku semakin menciut.

Luar biasa sekali negeri ini. Aku bahkan belajar banyak hal hanya dari kartu nama. Kartu nama ternyata bukanlah kartu biasa. Kartu mahasakti yang bisa menjadi simbol kebanggaan kita terhadap diri sendiri.

Phew. Jangan lugu-lugu banget lah, Fi. -_-

Tidak ada komentar: