Sabtu, 02 Oktober 2010

THIS IS ME on the other side

Hai.

Kemarin, saya tidak sengaja "dicurhati" oleh teman saya tentang sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya biasa saja, tapi sangat rumit. Apalagi teman saya itu lemah lembut (benar-benar lemah lembut. serius), kalem, nggak neko-neko, dan manutan. Berbanding terbalik 180 derajat dari saya (yaaa taulaaah). Nah, di tengah "curhatan" teman saya itu, saya jadi ingat pengalaman saya yang hampir mirip dengannya.

Saya emang nggak lemah lembut kayak teman saya itu. Bahkan cenderung beringas dan barbar. Saya juga nggak kalem kayak dia. Yaaa kadang-kadang sih kalemnya keluar *halah. Tapi, saya dan teman saya itu punya satu kesamaan yang sama:

nggak bisa (lebih tepatnya SUSAH) untuk ngomong TIDAK sama orang lain

Saya ini orangnya nggak tegaan lho sebenernya (plis jangan mual. hehe). Saya nggak bisa ngerjain teman saya dengan pura-pura marah sama dia ketika dia ultah, misalnya. Walaupun aslinya tempramen saya tinggi. Hahahaha. Serius. Apalagi harus ngomong NGGAK, NO, IIE, LA, atau semacam itu ketika ada orang lain yang minta tolong atau suruh ini suruh itu. Kata guru SD saya, kita memang harus menolong orang lain. Seingat saya sih kayak gitu.

Iya memang kita harus saling tolong menolong. Kita harus berkorban untuk orang lain dan blablablabla. Tapi justru di mata saya, batas antara "mau menolong" dan "diperalat" menjadi bias.

Dulu waktu SD dan SMP, ibu saya sering sekali marahin saya kayak gini:

"Mau-maunya kamu disuruh ini-itu sama temenmu. Tapi temenmu nggak ngapa-ngapain"

Hahaha. Konyol. Apalagi kalau ada tugas prakarya atau PKK kelompok, pasti bawaan saya paling berat.

Pada saat itu memang saya merasa nggak tega sama teman saya. Apalagi teman akrab. Hahaha.

Tetapi, ketika saya kuliah, memang saya masih belum bisa ngomong NGGAK sama orang lain, walaupun sedikit demi sedikit saya nyoba untuk lebih tega. Entah itu dengan orang lain yg sama sekali nggak kenal, teman biasa, atau teman akrab. Selama permintaan tolongnya masih masuk akal dan nggak bikin saya rugi, Insya Allah masih saya bantu. Tapi kalau nggak, saya akan ngomong NGGAK sama mereka. Dan kalau mereka nggak terima, well nggak ada salahnya pakai bakat alami saya: tampang galak, tampang nggak suka, tampang judes (sama aja ya). hahaha.

Tapi memang dengan label "gampang diijime (gampang dibullying)" yang sudah merekat pada saya sejak TK, membuat orang merasa bahwa saya adalah orang yang gampang ditindas dan cenderung mudah diperalat. Bukannya su'udzon. Karena ada orang yang benar-benar mengatakan hal tersebut kepada saya dan cenderung mulai merendahkan saya. Parah kan?

Wah, belum lihat Fia yang asli nih. Hahahahaha.

Saya sih dibawa santai saja selama saya nggak tersinggung. Tapi fyi, saya adalah orang yang mudah tersinggung (hati-hati deh haha). Tetapi lagi-lagi, batas antara "100% bercanda" dengan "merendahkan", bagi saya (lagi-lagi) menjadi bias. Maksudnya, saya jadi nggak tahu kapan mereka bercanda, atau kapan mereka merendahkan saya. Ya alhamdulillah sih selama ini saya merasa bahwa mereka memang niatnya bercanda karena sayang sama saya dan nggak ada maksud untuk menyudutkan apalagi merendahkan. Hahaha.

Ah ngomongnya makin ngelantur. Tadi ngomong tentang belajar berkata "TIDAK", malah akhirnya ngomong tentang ijime-ijimean. Udah ah. Tapi yang jelas, saya masih punya harga diri dan nggak segan-segan untuk mempertahankannya *halah*. Dan satu hal, saya suka bercanda kok. Asalkan tidak kelewatan. Memang, jadi orang baik itu memang keharusan. Tapi jangan terlalu baik sama orang lain :P

ja ne...

Tidak ada komentar: