Selasa, 21 Mei 2013

Curhatan Seorang Teman

Salah satu tugas seorang teman adalah memberi semangat pada temannya. Kadang-kadang itu bikin dilema ketika teman yang sebenarnya butuh kau semangati justru bergerak ogah-ogahan: seolah-olah hidup segan mati tak mau. Atau malah justru marah ketika diingatkan tentang kewajibannya [padahal tujuannya bukan untuk membuatnya down, hanya ingin menyemangatinya, mengingatkannya bahwa ia punya kewajiban yang penting, sangat penting]. Kalau sudah begini, biarkan saja. Meski kadang bikin gregetan karena rasanya kita nggak bisa menjadi temannya yang baik. Mau gimana lagi. Dia tahu bahwa dirinya berada dalam posisi butuh ditolong, tapi ketika pertolongan itu datang, dia malah menolaknya mentah-mentah. Sebagai temannya, ingin maju menolongnya, salah. Mau mundur, juga salah. Serba salah jadinya. Ya sudah. Yang penting, sebagai teman sudah berusaha untuk terus menyemangatinya. Meskipun si teman yang disemangati yaaa... gitu deh. Piye meneh?

Jadi teringat, ibuk sering bilang begini:
Pada akhirnya, yang bisa menolongmu itu ya...dirimu sendiri

[curhatan seorang teman yang nggak tahu gimana caranya lagi harus menghadapi temannya yang 'unik']

ja ne...

2 komentar:

Latif Seto Kusumo mengatakan...

hmm..aku pernah baca buku charles eames buku tentang "quotes and rules to be a gentlemen"
kedengeran melenceng tapi ada satu quotes bagus yang aku suka suka suka suka banget dan ini mungkin ada kaitannya.

1. "everything hangs on something and someone else."

2. "if you can't follow the game, you out."

kaitannya,
jalan cerita sebuah hubungan dengan temanan itu punya urutan yang sama tapi polanya berbeda,
urutannya:
1. bertemu - mengenal - menyakiti - kembali.

di sela sela urutan tersebut ada pola yang masing masing orang beda beda polanya, kalo aku polanya:
2. rise - happines - sad.

masih bingung?
jadi anggap saja temanmu sedang main "game", tugasmu adalah mengikuti "game-nya" bukan menyela, memberi tahu, atau menggurui, ingat ini "game-nya" dia.

nah, mungkin yang kamu lakukan di permainan temanmu adalah kamu memberi tahu jalan "game" tersebut makanya temenmu marah.

ada benarnya juga, yang bisa menolong diri kita ya kita sendiri tapi kita makhluk sosial kita pasti butuh orang lain untuk setidaknya mereka memiliki hubungan dengan kita karena memberikan arti.

maka aku sarankan, untuk mengikuti gamenya, disaat dia sudah bosan maka dia pasti mau nggak mau akan minta bantuanmu, nah disitu temanmu akan dengan senang hati menerima dan kamu juga senang karena nasihatmu diterima.

nah kamu ada di fase di antara mengenal - menyakiti, tugasmu masukkan polamu sendiri kamu mau ngasih happines - rise atau sad.

dan yang terakhir, sebuah hubungan itu harus bertepuk dua tangan, jika bertepuk dua tangan pasti akan menghasilkan happines, karena happines is real only when shared

maaf ya kepanjangan dan nggak bermaksud menggurui..:)

fia masitha mengatakan...

Makasih, Set atas komentarmu.

Hmm mungkin gini, Set. Dari awal, temanku memang tidak mau terbuka. Oke. Kami --aku dan teman2ku yg lain-- tidak memaksa dia untuk bercerita tentang masalahnya dia. Itu hak dia. Itu privasi dia. Selama ini sih aku berpegang teguh sama prinsip kayak gitu. Setiap aku dan temanku ini bertemu, aku berusaha untuk tidak menggurui (aku benci digurui sama orang lain. Makanya aku berusaha untuk tidak menggurui atau menyela atau apapun itu), tapi aku menggunakan metode stimulus2 (halah) untuk bisa membuatnya sedikiiiiiiiit terbuka. Yang tentunya nggak aku lakukan dengan sembarangan. Dan ini berhasil. Oke. Berarti dia udah percaya sama aku (dan dia emang pernah bilang gitu sama aku, entah serius atau enggak).

Hanya saja, dia ini sangat sensitif. Beberapa temanku yang sepertinya 'kurang sensitif' dengan masalahnya dia, sepertinya terlalu menuntutnya atau entah ya mungkin temanku sendiri yang merasa dia 'sendirian' karena kami --teman2nya-- berhasil 'bangkit', sedangkan dia sendiri mungkin merasa 'belum bangkit'. Selama ini yang kami lakukan adalah mengikuti 'game'nya dia. Mengikuti 'plot'nya dia. Dia maunya belok kanan, kami ikuti dia buat belok kanan. Dia belok kiri, kami ikutin dia belok kiri. Gituuuuu terus. Dan dibandingkan dengan teman2ku yang lain, aku memang hitungannya baru sebentar mengenal dia. Dan mungkin lho, mungkin, beberapa temanku yang sudah berkawan lamaaaaaaaa dengan dia sudah merasa jengah dengan 'game'nya dia yang mereka ikuti kok nggak selesai2. Temen2ku sudah bisa mengalahkan 'boss' di 'game' mereka, sedangkan si temanku ini baru sampai di tengah-tengah 'permainannya'. Intinya gitu. Jadinya, temanku ini yang aku lihat sudah merasa tidak nyaman dengan 'kobaran semangat' ala teman2ku yang lain. Dan akhirnya dia malah menghindar dari mereka.

Selama ini, yang aku lakukan adalah aku mencoba untuk terus menyemangatinya, bukan dengan terus-terusan 'menekan' dia. Bukan. Aku mencoba untuk melihat situasinya. Lihat kondisinya. Karena ketoke support pun sudah tidak mempan buat dia. Aku berusaha membuatnya senyaman mungkin ketika dia lagi sama aku. Karena bener katamu, Set. Dia pasti akan mencariku kalau ia butuh.

Mungkin teori lebih terlihat mudah daripada praktiknya ya, tapi saranmu patut dicoba :)