Senin, 15 Maret 2010

Aku dan Khayalan

Aku dan Khayalan adalah satu.
Khayalan ada karena aku.
Dan mungkin, aku ada karena Khayalan.



----------------------------------------------------------------------------------



"Gila kau!", desis Khayalan.
Aku melotot heran padanya. "Apa?".
Khayalan terkekeh. "Coba kau ulangi perkataanmu tadi!", perintahnya. "Oh, aku ingin memilikinya. Aku ingin memilikinya", Khayalan menirukan suaraku. Mirip sekali.

"Jangan mempermainkanku! Aku serius dengan perkataanku tadi!" bentakku. Khayalan menatapku dengan tatapan matanya yang khas. Huh! Aku benci tatapan itu. "Aku sudah bukan anak kecil lagi!" tegasku.

Khayalan tertawa. Keras sekali. Belum pernah aku mendengarnya tertawa seperti itu. "Itu. Itulah yang ingin kudengar. Sudah kuduga kau akan mengatakannya. 'Oh aku bukan anak kecil lagi'". Ia masih saja tertawa. Aku mendengus kesal.

"Oh, ayolah", kata Khayalan. "Aku mengenalmu. Sangat mengenalmu. Kau sering sekali menginginkan sesuatu, tapi kau mudah sekali bosan. Kau seperti anak kecil, kau tahu?" ia memulai ceramahnya. "Kau ini labil, sayang. Itulah kelemahanmu. Kau mudah sekali menyimpulkan baik dan buruknya sesuatu dalam sekejap". Ia mengeluarkan Memorinya dan memperlihatkan padaku. Terlihat aku kecil yang sedang membujuk ayah ibuku untuk membelikanku boneka Barbie. Aku sangat senang saat mereka memberiku boneka itu. Seminggu kemudian, boneka Barbie itu entah ada di mana. Aku kecil sudah bosan dan beralih pada mainan lain.

Khayalan tersenyum penuh kemenangan. "Lihat, kan? Kau bahkan sudah seperti itu sejak kau kecil", katanya. Aku menendang kakinya. "Itu aku waktu kecil. Jangan sok tahu! Aku sudah berubah!" sangkalku.
Khayalan menyebalkan itu terkekeh. Ia kembali mengeluarkan Memorinya. Di dalam Memori itu, ada aku saat awal-awal menjadi seorang mahasiswa. Aku mendesak kedua orang tuaku agar mengijinkanku les piano. Pada saat itu, aku iri dengan salah satu kawanku yang sudah bisa konser tunggal di luar negeri. Sebulan setengah kemudian, aku bosan. Orang tuaku memarahiku karena aku tidak konsisten.

Aku mengumpat-umpat. Aku sebal pada Khayalan!

"Kau ini anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh dewasamu. Oh, lihatlah dirimu, sayang. Kau begitu rapuh. Labil. Saat kau bosan, kau seperti seorang pembunuh berdarah dingin. Kau bisa membuangnya kapanpun dan di manapun semaumu. Itulah kau yang sebenarnya! Pernahkah kau sekali saja bertanya di dalam hatimu, kenapa kau bisa seperti ini?".

Aku merasa terpojok. Kata-kata yang diucapkan Khayalan memang sederhana, tapi cara dia menyampaikannya, sungguh membuatku tertohok. Khayalan adalah manipulator ulung yang paling ulung.

Aku terduduk diam. Aku tahu Khayalan sedang menatapku dengan tatapan jijik sekaligus kasihan. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku sengau.

Khayalan mendekatiku dan menggenggam tanganku. "Jadilah manusia yang mempunyai hati". Lalu Khayalan meninggalkanku. Terbang. Seperti yang selalu dilakukannya setiap kali ia selesai menemuiku.

Aku menangis.

Aku kalah.

4 komentar:

traveller mengatakan...

nice blog..

khayalan terkadang jadi batu lompatan untuk melompat lebih tinggi. (So7 mode: on)
:D

fia masitha mengatakan...

hahaha.. makasih makasih. itu corat coretanku geje kok :D

traveller mengatakan...

sesuatu yang gede bisa berawal dari yang geje..
haha..

jalan2 ke blogku juga yoh :)

fia masitha mengatakan...

hahaha... bisa, bisa.

iya saya sudah jalan-jalan ke blogmu. Nice blog :D
inspiratif.