Sabtu, 20 April 2013

Oleh-oleh dari Brunei (Part 1) - 'Kampong Ayer': An Unexpected Treasure


"Fia, mana oleh-oleh dari Brunei?"

Saya bingung ketika ditanya seperti itu oleh teman-teman saya. Karena yaaaa, sulit mencari barang 'khas' Brunei yang bisa dijadikan oleh-oleh. Ini serius. Dan lagi, karena di sana harganya cukup tidak terjangkau bagi orang Indonesia (Dolar Brunei itu kursnya sama seperti Dolar Singapur!), yang mata uangnya terlihat sangat murah(an) di mata orang asing, jadinya saya nggak bawa oleh-oleh dari sana. Maaf ya. 

Tapi, saya punya segudang cerita tentang negara monarki kecil yang super kaya ini. Saya siap berbagi dengan teman-teman sekalian. Karena menurut saya, cerita itu adalah oleh-oleh paling murah, tak lekang oleh waktu, dan tak mudah rusak. Tsaaaaaaaaaah.... Ini mah ngelesnya saya aja ya. Hahaha.

Oke. Di postingan kali ini, saya mau cerita tentang sebuah tempat yang paling mengesankan buat saya di Brunei. Sebagian tulisan ini sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk diikutsertakan pada kompetisi tulisan travelling. Ada lah di blog saya tentang travelling. Tapi sengaja nggak saya kasih linknya. Nggak pede saya. Hahaha.


Namanya Kampong Ayer. Kalau diucapkan jadi terdengar seperti 'Kampong Aer'. Karena kampung ini benar-benar di atas air. Terapung. Nah, ketika saya sudah sampai di Brunei, seorang teman saya, orang Brunei, bilang begini --dengan semangat 45-- pada kami (saya, keluarga, dan teman ibuk saya), “Kalian harus ke Kampong Ayer ketika mengunjungi Brunei Darussalam! Rugi kalau enggak".

Ketika teman saya menjelaskan mengenai Kampong Ayer, saya jadi ingat dengan kampung-kampung terapung atau kampung yang ada di pinggiran sungai/laut di Asia Tenggara, terutama Indonesia ye. Aktivitas keseharian mereka hampir semuanya dilakukan di atas air. Di dalam bayangan saya --maaf lho ini, maaf--, Kampong Ayer adalah slum area alias daerah kumuh di Brunei. Mungkin saja kan sebuah negara monarki kecil yang sangat kaya seperti Brunei Darussalam memiliki slum area. Eits jangan salah, saya memiliki alasan mengapa saya berpikir seperti itu. Biasanya, kampung-kampung terapung atau kampung-kampung yang dekat sungai/laut diidentikkan sebagai pemukiman kumuh, sanitasinya buruk, banyak sampah, air-air tercemar, jauh dari modernisasi, dan sebagainya. Imej masyarakat yang tinggal di daerah tersebut biasanya juga diidentikkan dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, kurang berpendidikan, tingkat kesehatan para warganya yang di bawah standar, dan masih banyak lagi. Ini maaf lho ya. Stereotip banget ya?

Namun, ketika saya melihat Kampong Ayer, semua pemikiran stereotip saya mengenai kampung-kampung semacam itu langsung hilang. Dulunya memang, Kampong Ayer adalah slum area di Brunei Darussalam dan mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Akan tetapi, itu puluhan tahun yang lalu. Kampong Ayer yang saya lihat saat ini adalah sebuah perkampungan terapung di atas sungai yang sudah sangat berkembang, maju malah. Para warga di kampung ini benar-benar menjaga sungai agar tetap bersih. Rumah-rumah modern yang dibangun di atas air sudah banyak berdiri. Pihak kerajaan Brunei Darussalam rupanya tidak hanya memperhatikan warganya yang ada di ‘daratan’, tetapi juga para warganya yang ada di atas sungai. Berbagai fasilitas yang menunjang kehidupan para warga Kampong Ayer dibangun oleh pihak kerajaan, yang sebagian besar dibangun di atas sungai. Saya sangat terkejut ketika melihat sekolah-sekolah dengan bangunan modern, dari SD hingga SMA, yang ada di sana dan melihat pemandangan para murid dan guru sangat bersemangat dalam belajar dan mengajar. Oh di sana, fasilitas kesehatan berupa klinik, dibangun di daratan, tidak jauh dari lokasi Kampong Ayer. Saya juga melihat sebuah kantor polisi, tak jauh dari pemukiman warga Kampong Ayer, yang juga dibangun di atas sungai. Dan yang paling mengejutkan saya adalah adanya Balai Bomba (Kantor Pemadam Kebakaran) --teman-teman saya tertawa tiap saya menyebut istilah ini, Balai Bomba. Haha-- di kampung tersebut, dan bahkan di sana tersedia tiga unit mobil pemadam kebakaran yang dilengkapi speedboat untuk memudahkan aksesnya. Wow! Wow!

Berbagai fasilitas luar biasa itu belum cukup mengejutkan saya. Jika dahulu sebagian besar masyarakat Kampong Ayer berprofesi sebagai nelayan, kini profesi sebagai nelayan hanya tinggal 20 persen dari jumlah penduduk Kampong Ayer. Sebagian besar masyarakatnya saat ini berprofesi sebagai pegawai kerajaan (pegawai pemerintah). Menurut pemandu kami, perekrutan warga Kampong Ayer sebagai pegawai kerajaan adalah salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat di sana. :O

SPBU buat perahu-perahunya :O

Satu lagi yang menarik tentang Kampong Ayer, masalah transportasi. Mayoritas para warga di sana memiliki perahu bermesin. Ada juga perahu taksi yang cukup menampung beberapa orang, seperti yang saya naiki untuk berkeliling Kampong Ayer. Nah, perahu-perahu itu adalah transportasi bagi mereka yang ada di sungai. Lalu bagaimana transportasi para warga Kampong Ayer apabila mereka akan beraktivitas di daratan? Mengingat transportasi darat di Brunei Darussalam sulit sekali kalau tidak mempunyai kendaraan pribadi (Ini serius. Saya akan tulis tentang ini kapan-kapan). Pemandu kami dan teman-teman saya dari Brunei Darussalam yang ikut bersama kami menunjukkan deretan mobil-mobil yang berjajar diparkir di daratan. Sebagian adalah mobil mewah. Itulah ‘kendaraan darat’ para warga Kampong Ayer. Di daratan, ada lahan parkir khusus bagi para warga Kampong Ayer. Wow. Wow lagi, ah. Wow.

Nahkoda Manis
Pemandu kami lalu membawa kami menyusuri sungai, semakin jauh dari pemukiman warga. Semua pemandangan modernitas yang ada di Kampong Ayer sudah cukup menyilaukan bagi saya (silau, meeeen). Namun ternyata, para warga di Kampong Ayer tidak serta merta melupakan warisan nenek moyang mereka. Banyak folklor di daerah itu yang sangat menarik. Misalnya, kemunculan hantu perempuan di pekuburan kampung tersebut setiap malam. Kuburannya seram. Letaknya di pulau kecil dekat Kampong Ayer. Kata teman saya, hantunya cantik. Hahaha. Ada juga sebuah batu besar, mirip seperti perahu yang akan tenggelam. Folklor ini dikenal sebagai "Nahkoda Manis". Ceritanya hampir mirip Malin Kundang. Kata pemandu kami, menurut cerita orang-orang dahulu, batu-kapal tersebut dulunya adalah sebuah perahu yang memuat garam, kemudian tenggelam, dan menjadi batu. Garam-garam yang ada di dalam perahu tersebut tumpah dan membuat air sungai menjadi asin (iya lho, air sungainya asin!). Folklor tersebut terkenal sekali di Kampong Ayer. Oh, di sana juga dulu ada sebuah kepercayaan. Ada sebuah pulau (lagi) di sana yang isinya ari-ari. Serius. Ari-ari milik bayi yang baru lahir digantung di pohon, dibungkus plastik. Katanya, kalau ari-ari bayi digantung di sana, orang tua dari bayi tersebut berharap anaknya bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Menarik ya. :)))

Jadi, begitulah. Kampong Ayer sudah berhasil mengubah sudut pandang saya tentang sebuah perkampungan terapung. Tidak selamanya perkampungan terapung adalah slum area. Bukankah peradaban manusia itu perkembangannya dimulai dari sungai? Lihat saja peradaban lembah sungai Indus di India atau peradaban masyarakat Mesir di sungai Nil. Mereka semua maju, pada zamannya, karena sungai. Sungai identik dengan kesuburan. Kesuburan membawa rezeki yang banyak bagi manusia. Jadi intinya, kalau mau subur, sayangilah sungai (?). Oh saya mulai ngaco. Berarti, tandanya tulisan saya harus berakhir. Hahaha.

Bentar. Sebelum saya benar-benar menyelesaikan postingan ini, izinkan saya bilang:







"Eureka! Saya baru saja menemukan sebuah harta karun tak terduga di Brunei Darussalam!"

ja ne...

Tidak ada komentar: