Sabtu, 25 Juni 2011

Di Bawah Lindungan Orang Tua

Pernahkah kalian berpikir untuk bisa hidup sendiri tanpa bergantung di bawah ketiak orang tua? Makan pakai duit sendiri, beli bensin pakai duit sendiri, bayar kuliah pakai duit sendiri, dan apa-apa pakai duit sendiri. Pernah?

Saya pernah dan sedang mengalami.

Saya beruntung mempunyai kedua orang tua yang bekerja dan mampu untuk membiayai saya dan adik saya hingga sampai ke perguruan tinggi. Minta apa saja dituruti (walaupun syarat dan ketentuan berlaku). Keadaan ekonomi keluarga saya bisa dibilang mampu: bapak saya adalah ‘kepala cabang’ radio swasta di bawah naungan sebuah perusahaan media mahaakbar di Indonesia dan ibu saya adalah dosen di sebuah PTN terbaik di Indonesia. Saya dan adik saya memang tidak pernah merasakan apa yang orang tua kami dulu rasakan: sekolah sambil bekerja (atau bekerja sambil sekolah? Mana aja deh). Bapak saya sudah terbiasa bekerja sejak SD. Bahkan ketika SMA, ia harus membiayai sekolah kesembilan adiknya. Ibu saya? Ibu saya juga sudah terbiasa kerja keras dan prihatin dari kecil, setelah menjadi yatim sejak kelas 4 SD.

Itu latar belakang keluarga saya.

Dan sebagai anak, saya dan adik saya terkena madunya: tidak usah susah-susah cari uang sendiri untuk sekolah. Akan tetapi, setelah saya menjadi mahasiswa (dan dilatarbelakangi dengan bagaimana usaha orang tua saya untuk membiayai saya sekolah di SMA yang sangat luar biasa itu), saya mulai berpikir untuk tidak lagi merepotkan orang tua. Minimal, minimaaaaaaaal sekali uang jajan pakai uang sendiri. Alhamdulillah, saya sudah tidak merepotkan orang tua kalau soal membayar uang SKS. Sejak tahun pertama, saya selalu dapat beasiswa SKS itu (kalau di tempat saya namanya BOP). Dan semoga di tahun keempat ini saya dapat lagi *harus dapat*. Dan sejak tahun pertama pula –sejak saya direkrut jadi yang bantu-bantu di kantor bapak—saya sudah nggak minta uang jajan lagi (walaupun tiap bulan juga tetap dikasih). Apalagi sejak saya jadi tutor untuk mahasiswa asing, saya nyaris tidak pernah minta uang pada orang tua (walaupun lagi-lagi tiap bulan juga tetap dikasih).

Tapi saya punya kelemahan: terlalu loyal pada uang. Setiap saya merasa dan membawa uang berlebih, saya pakai untuk bersenang-senang. Padahal aslinya, saya suka menabung *kibas-kibas rambut*. Tapi, jujur, saya sedikit puas karena ada sedikit hal dari banyak hal yang bisa saya tangani sendiri dengan uang saya sendiri. Saya juga bisa menyenangkan hati adik saya dengan uang saya (-_-“). Tapi lagi-lagi, saya belum bisa membayar SPP sendiri, makan masih pakai duit orang tua, dan banyak hal lainnya yang masih membuat saya bergantung pada orang tua. Dan hal-hal yang seabrek itu, bikin saya –akhir-akhir ini-- tidak enak sama orang tua. Padahal, dibandingkan dengan adik saya, saya bisa dibilang tidak berani itung-itungan sama orang tua. Misalnya, kalau servis motor, mending saya pakai duit saya sendiri dan tidak usah minta ganti sama orang tua. Walaupun sebenarnya, kalau minta ganti pun, pasti dikasih (apa sih yang nggak untuk anaknya?). Tapi gimana ya... Setiap kali ibu saya membuka dompet dan memberikan saya sejumlah uang, seperti ada jutaan kelelawar hitam (kenapa diasosiasikan kelelawar? Kenapa harus jutaan? Kenapa hitam? -_-“) yang terbang di atas kepala saya dan bergumam:

“Kerja dong, Fia! Kerja!”

“Nabung kek! Tu uang jangan buat jajan melulu!”

“Kasihan orang tuamu yang susah-susah cari uang tapi malah dimintain anaknya terus!”

Di negara-negara maju, anak seusia saya yang masih makan pakai duit orang tuanya, bisa dibilang ‘nggak ilok’. Nah itu dia, saya tidak mau jadi anak yang ‘nggak ilok’, meskipun jutaan kali ibu saya bilang bahwa orang tua saya bekerja memang untuk mencari makan buat kami dan sekolah kami. Tapi kan tetap saja bagi saya itu agak nggak adil. Nggak adil buat orang tua saya, maksudnya.

Nah makanya, Fia. Cepet lulus, cepet kerja, sekolah lagi, kerja lagi, dan NIKAH!

ja ne...

Tidak ada komentar: