Selasa, 07 Juni 2011

Sepotong Dongeng dari Aceh

SEPOTONG DONGENG DARI ACEH

Bireuen, 21 Mei 2003. Sahabatku Vira, aku tidak begitu yakin, apakah suratku ini pernah sampai ke Jogja. Aku juga tidak pernah tahu, apa suratku benar-benar pernah kau baca. Aku hanya ingin berbagi cerita denganmu. Bukankah kau pernah menagih dongeng tentang Aceh padaku?Anggap saja ini sebagai bayaran dongeng itu. Maka, kutitipkan catatan harianku ini, yang terlanjur menjamur dan kumal, pada seorang dokter PMI yang pernah merawatku di pengungsian Bireuen. Dokter Husein, begitu kami biasa memanggil, mengatakan bahwa ia berasal dari kota yang sama denganmu: Jogja. Sebuah kota ramah yang telah mempertemukan kita dalam Festival Kesenian Nusantara, setahun lalu. Ah, Vira, manis benar kotamu.

Vira, aku ingat betul, pagi itu, harum subuh masih menyelimuti Blang Rakal, kampung halamanku. Butir embun juga belum mengering di pucuk-pucuk daun kopi, di kebun abuchik-ku. Bahkan sisa kabut masih melekat dan berbuih di ujung jendela kamarku. Sayangnya Vira, aku tak pernah menyangka, itu subuh terindah sekaligus terakhir yang pernah kunikmati di sana. Selebihnya, tak bakal lagi kujumpai kesyahduan pagi yang sama. Karena kini tinggal nyanyian senapan dan bau mesiu.

Brak! Pagi itu tiba-tiba kamarku terbuka lebar. Aku sangat kaget. Sesosok tubuh kekar memaksa masuk ke ke kamarku. Dia abuchik-ku! Aku meloncat berdiri dari kursi belajarku. Waktu itu aku memang baru menyelesaikan soal terakhir PR matematikaku.”Ada apa Abuchik? Kenapa begitu rupa?” tanyaku gugup. “Abuchik tak dapat cerita sekarang. Tapi ini betul-betul gawat. Berkemaslah cepat. Sebelum langit benar-benar terang, kau harus telah pergi dari desa ini. Mengungsilah ke utara atau ke Bireuen bersama dan perempuan desa lainnya.” Aku melihat ketegangan luar biasa pada mata pamanku itu. Samar-samar, memang kudengar beberapa rentetan tembakan. Mungkin dari arah barat sungai. Desa mulai gaduh. Aku benar-benar takut dan panik. Mulai kudengar suara-suara perempuan dan anak-anak menangis bersaut-sautan dengan suara embikan kambing yang mereka tuntun. Sambil menangis bingung, aku jejalkan apa saja yang bisa kumasukan dalam tas punggung sekolahku. Beberapa baju sekenanya bercampur dengan buku-buku sekolah. Sedangkan indomi, panci, cerek, dan piring aku masukan dalam karung.

“Sementara itu, makcut-ku menangis menyayat hati, sambil sesekali beristighfar. Beberapa bulan ini penyakit paru-parunya memang kambuh. Makcut hanya bisa berbaring saja. Kata abuchik, mengangkutnya dengan mobil akan sangat berbahaya. Situasi di jalan bisa berubah sewaktu-waktu. Oleh beberapa tetangga ia di angkut dalam gerobak pedati. Dengan bergetar, ia berpesan: “Jaga dirimu Cut Romlah, kita pasti bertemu, pasti bertemu lagi, jangan sedih. Kau harus kuat anakku, tabah.” Air mataku berhamburan. Aku menggigit bibirku hingga berdarah. “Makcut!” lolongku mengiringi kepergiannya. Aku memang tak pernah berpisah dengannya sejak kecil. Perempuan itu bibiku. Ia adalah pengganti ibuku. Aku memang telah yatim piatu sejak kelas empat SD. Sejak itu, aku diasuh oleh pamanku, Tengku Ahmad; dan bibiku, Fatimah.

“Abi-ku, Tengku Abdullah, semasa hidupnya adalah ketua adat di desaku yang disegani. Setelah ia meninggal, posisi itu digantikan abuchik yang hingga kini mengasuhku. Ia dikenal sebagai orang yang saleh dan bijak. Meskipun aku remaja dari desa yang tak terlihat dalam peta Indonesia, aku tumbuh seperti remaja umumnya. Diusiaku yang tiga belas tahun ini, aku suka berpantun dan menari Seudati. Aku juga ngefans dengan Westlife, Avril Lavigne, dan Blue. Meskipun aku terlahir di desa yang rimbun akan kopi dan sawit, informasi tak pernah menjadi kendala. Kami cukup makmur karena masyarakat kami kerja keras di kebun dan sebagian lagi berdagang. Jadi, aku tak begitu jauh dari kamu kan Vira?

Bireuen, 22 Mei 2003. Vira, pagi itu juga kami mulai berjalan. Tak ada satu pun angkot desa yang berani beroperasi. Suasana sangat mencekam. Tentara mulai masuk desa kami. Mereka melakukan pembersihan. Sesekali terdengar ledakan. Tembakan. Suara laki-laki berteriak. Kami tidak berani menoleh kebelakang. Kami sangat takut yang terkapar adalah salah seorang keluarga kami. (Ah Abuchik, kau kini di mana?) Vira, dulu aku hanya melihat dari TV betapa malangnya pengungsi Irak, saat Amerika menginvansi negri minyak itu. Tapi siapa yang pernah bermimpi hal itu terjadi pada diri kita saat ini? Mengapa TanahRencong harus terkoyak? Katanya kita merdeka. Tapi untuk apa berperang melawan saudara sendiri? Mengapa begitu tak berharganya nyawa kini?

“Aku mengungsi bersama sebagian besar perempuan di desaku. Sebagian besar mereka adalah orang tua dan anak-anak. Kami sering sekali berhenti karena kami sangat lelah dan takut. Anak-anak berhenti dan merengek karena tidak kuat berjalan jauh. Malamnya, kami menginap di pendapa kantor sebuah kecamatan. Gelap dan dingin.Tiba tiba saat kami tertidur karena letih, sekeliling kami seolah menyala. Beberapa sekolah di kanan-kiri kecamatan terbakar. “Bakar!Bakar semua! Jarah! Jarah Semua!” Kami mendengar orang- orang berteriak. Beberapa puluh orang, entah datang dari mana, tiba-tiba merusak dan menjarah kantor tempat kami menginap. Mereka membawa apa saja barang-barang kantor yang berharga. Ya Allah, apa yang merasuki jiwa mereka? Mengapa rakyat Aceh yang biasanya santun tiba-tiba sebagian berubah menjadi beringas, rakus, menjadi pencuri, dan merampok harta saudaranya sendiri? Kami semua takut. Kami menangis semakin keras, hingga pagi tiba.

Bireuen, 23 Mei 2003. Pagi sekali, asap ada di mana-mana. Aku mulai melihat sekelilingku banyak bangunan hangus. Satu di antaranya adalah sekolahku. Perih sekali. Kelas-kelas, buku-buku, tropi-tropi, harapan-harapan, dan beribu kenangan indah kami, semua menjadi abu. Tak ada yang tersisa.

“Aku juga baru ingat selama sehari kemarin kami tidak makan. Kami kenyang rasa takut. Aku mengeluarkan bekal. Aku kunyah indomi mentah-mentah. Kami belum berniat memasak. Kantor kecamatan bukan persinggahan yang tepat. Karena tempat ini sangat menyeramkan buat kami.

“Vira, jangan tertawa ya, kalau buku harian ini aku tulis di buku catatan IPA. Aku selalu membungkusnya kembali di tas kresek hitam sebelum masuk tas punggungku. Takut sewaktu-waktu basah. Hari pertama ini anak-anak banyak yang demam. Mungkin karena lelah. Mungkin karena masuk angin. Rombongan kami sekitar dua ratus orang. Kami harus melanjutkan perjalanan, karena mungkin baru separo perjalanan. Blang Rakal-- Bireuen sekitar 60 km. Kami harus melintas aspal, sungai, bukit, pertempuan, dan mayat bertumbangan begitu saja di jalan. Kadang aku harus berjalan dengan memejamkan mata .

“Aku baru berjalan 10 meter ketika mendengar seorang balita menangis kehilangan ibunya di tepi jalan. Kasihan sekali. Balita perempuan sekitar dua tahunan itu mungkin saja terpisah dengan keluarganya. Tak seorang pun tampak peduli. Ratusan orang itu telah sibuk dengan bayi, anak-anak, dan penderitaan mereka sendiri. Apa boleh buat, ibaku ternyata lebih kuat. Aku terpaksa menggendongnya, sambil bertanya kanan-kiri siapa kehilangan bayi. Sayang tak satu pun yang mau merawatnya. Hanya seorang nenek-nenek yang memberikan kain lusuhnya padaku, agar aku bisa lebih ringan dalam menggendongnya. Vira, aku tak pernah membayangkan tiba-tiba menjadi seorang “ibu” yang harus mengasuh balita secepat ini. Sebagai remaja berumur 13 tahun, aku juga kikuk dan belum terbiasa mengasuh anak. Aku sendiri tidak mempunyai adik. Apalagi paman dan bibiku juga belum berputra. Aku juga memberinya nama :Cut Irna. Tidak ada makna apa-apa, nama itu uncul agar aku bisa memanggilnya saja. Sejam kemudian, ia telah lelap dalam gendonganku. Entah apa yang ada dalam mimpi bayi malang itu.

“Vira, aku mulai kebingungan saat Cut Irna mulai terjaga. Setengah hari ia membuatku panik. Dia mulai menangis, rewel, mungkin haus, mungkin minta tetek, lapar, berak, ngompol, pokoknya berisik sekali. Benar-benar situasi yang tidak bisa kuatasi. Terus terang, aku belum pernah tahu caranya menceboki bayi. Aku juga tidak tahu persis makanan apa yang cocok untuknya. Aku ikut menangis karena hampir putus asa. Bajunya yang pesing dan bau itu hanya kulepas dan kubuang. Aku mencebokinya di parit. Kupakaikan dia kaos baju gantiku. Lalu, kuremaskan biskuit bekalku dengan air. Aku suapi dia. Ajaib, dia mulai mau tertawa. Mungkin, aku dikira inang pengasuh barunya. Hahaha.

Bireuen, 25 Mei 2003. Vira, kakiku dah mulai melepuh. Sandal jepitku sudah jebol sejak kemarin sore. Lebih dua puluh kilo aku berjalan tanpa alas. Beberapa orang dari kami mula tumbang dan meninggal di jalan. Aku menyaksikan pula bayi-bayi yang sekarat dalam pelukan ibunya. Ada yang karena kehausan, kepanasan, mencret, sesak napas, demam, dan masih banyak lagi. Alhamdulillah Cut Irna mulai terbiasa dengan “inangnya”. Perjalanan kami memang melelahkan. Berjalan kaki dari desaku ke kamp pengungsi di Bireuen memakan selama dua hari lebih, karena medannya sangat buruk, ditambah situasi perang yang menakutkan. Sangat berat bagiku untuk berjalan kaki sejauh itu. Lagi pula, aku menggendong Cut Irna. Sebagian buku-buku dan barangku memang aku buang di jalan untuk mengurangi bebanku. Untunglah tenda-tenda mulai terlihat di kejauhan. Tahukah Vira, aku seperti melihat oase di Gurun Sahara. Aku berlari bersama orang-orang berebut lebih cepat mencapainya. Sayang Vira, sesampai di sana kamp ternyata telah dijejali ribuan orang yang bernasib sama. Orang-orang yang berebut agar kesempatan hidupnya lebih panjang, seperti kami. Tiba tiba aku merasa dunia sekelilingku berputar, dan berputar semakin cepat. Semua pekat. Samar kudengar tangis Cut Irna dan orang-orang yang berguman seperti lebah…..

Bireuen, 26 Mei 2003. Saat aku bangun, Vira, aku sudah berada di rumah sakit darurat di kamp Bireuen. Kata Pak Dokter yang ramah itu (yang nantinya ku kenal sebagai Pak Dokter Husein), aku dehidrasi dan demam. Dokter kawatir aku terkena tetanus, karena kakiku sempat luka karena melepuh. Kata Dokter, aku tak sadar semalaman. “Di mana Cut Irna, Dokter?” tanyaku lemah. “Ah, ya, bayi yang bersamamu?” Aku mengangguk. “Dia sehat. Dia dirawat seorang bidan. Apakah ia Adikmu?” tanya dokter itu ramah. Aku menggeleng. “Dia bukan siapa-siapa. Saya tidak kenal anak itu, Dok. saya hanya menemukannya di jalan.” Lalu aku ceritakan perjalananku. Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian menyuruhku untuk istirahat.

“Sorenya, di pengungsian ini, aku dijenguk Bu Aisyah, guru Biologiku. Rupanya ia juga pengungsi yang lebih awal datang daripada aku. Kebetulan Bu Aisyah mengenal baik keluargaku. Ia adalah sahabat bibiku waktu sekolah dulu. Menurut Bu Aisyah, bibi sekarang dirawat di sebuah rumah sakit Aceh Tengah. Sedangkan keberadaan paman, tak seorang pun yang tahu.

Bireuen, 30 Mei 2003. Vira yang baik, selama lima hari lebih berada di pengungsian aku mendapat banyak pelajaran berharga. Terutama pelajaran bertahan hidup. Baru kali ini aku melihat secara langsung, bagaimana mereka sesama manusia bisa saling membunuh, saling jarah karena berebut makanan. Orang-orang bisa menjadi buas seperti binatang. Hal yang paling memalukan sekaligus menakutkan bagiku. Padahal di desa kami, mereka bukanlah orang miskin. Mereka punya hektaran kebun sawit atau kopi. Mereka juga punya sapi dan kambing. Mereka dihormati dalam adat. Tapi semua berubah. Kami kehilangan kendali. Kehilangan harga diri.

“O ya, Vira, di kamp pengungsian ini ada saja orang yang meninggal karena kurangnya persediaan bahan pangan dan mulainya penyebaran berbagai macam wabah penyakit yang menular sekaligus mematikan. Diare, disentri, infeksi saluran pernafasan, malaria, menjadi makanan sehari hari. Tenaga medis dan obat sangat langka di sini.

Bireuen, 1 Juni 2003. Aku bersama pengungsi lain mencoba hidup seadanya dalam jangka waktu tidak terbatas. Aku mulai rindu kampung. Rindu Paman dan Bibi. Rindu sekolah. Kemarin, mulai dibuka sekolah darurat. Tapi baru untuk SD. Untuk SLTP gurunya sangat kurang. Sayang sekali.

Bireuen, 15 Juni 2003.Vira, kemarin aku bertemu Cut Irna. Ia tambah montok dan lucu. Ia beruntung diasuh oleh orang yang tepat. Bukan “ibu” palsu macam aku. Dia juga sudah tidak rewel lagi seperti saat kugendong menuju tempat pengungsian. Setelah Cut Irna ditangani oleh bidan puskesmas Bireuen, dia kelihatan sudah ceria dan sehat. Aku berharap, saat Cut Irna dewasa nanti, sejarah pahit Aceh ini tak akan berulang.

Bireuen, 18 Juni 2003. Hari ini, Vira, aku harus menemui Dokter Husein lagi. Selain aku harus memeriksakan luka di kakiku yang belum sembuh benar, aku juga memerlukan obat karena hampir dua malam ini demamku datang lagi. Seperti biasa pasien begitu antri berjubel. Aku harus sabar. Kudengar dari mereka, dokter itu besok pagi akan pulang ke Jogja. Makanya, aku juga menenteng catatan harianku. Sambil menunggu giliran aku menulis terus. Sampai suatu saat, suasana mendadak gaduh.

“Beri kami jalan, dia butuh pertolongan”, beberapa orang laki-laki bersama seorang rekannya tampak membawa sebuah tandu. Orang orang mulai merubung. Seorang laki-laki terluka parah. Lambungnya penuh darah. Kata orang-orang laki-laki itu tertembak. Sepertinya, aku mengenalnya, Vira. Tapi di mana? Laki-laki berjambang dan berkumis lebat itu tampak mengaduh dan mengerang. Aku kenal suaranya. Aku gemetaran.

“Abuchik!” jeritku kaget. Aku menghambur ke arahnya. Paman menoleh kepadaku. Mulutnya bergerak, tampak ingin mengatakan sesuatu. Sejenak ia mengejang beberapa kali, seperti meregang nyawa. Kemudian ia terpejam untuk selama-lamanya. Aku menangis. Aku sama sekali tak pernah menyangka kami akan bertemu dan berpisah selama lamanya. Samar-samar, kudengar orang-orang membicarakan pamanku. “Maaf, ada yang kenal siapa nama laki-laki ini?” tanya seorang tenaga medis. “Dia Tengku Ahmad, betul, meski berewokan kami mengenalinya.” Jawab seseorang. “Tengku Ahmad memang lagi dicari-cari tentara. Ia petinggi GAM di Aceh Tengah”, jawab laki-laki lain.”Kasihan dia, dia orang baik sebenarnya. Mengapa harus berakhir seperti ini” kata lainnya lagi.

“Abuchik, tak mungkin……”, desisku. Betulkah Apa yang mereka katakan tentang pamanku? Aku mengenal Abuchik sejak aku kecil. Ia adalah paman yang saleh, baik, dan penuh perhatian. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi ayahku sendiri. Sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa paman adalah musuh negara. Sanggupkah aku? Entahlah Vira, aku tak tahu. Airmataku mulai kering.

“Vira, aku kembali terserang demam. Kali ini, lebih parah. Saat aku menulis catatan ini badanku masih menggigil. Aku hanya bisa pasrah. Dokter Husein tidak menjawab apapun tentang penyakitku. Ia hanya menyuruhku tawakal. Tapi aku melihat kecemasan yang luar biasa pada mata dokter itu. Vira, aku tutup catatanku ini sebagai akhir dongengku tentang Aceh untukmu. Tolong sampaikan ucapan terimakasihku pada Dokter Husein, atas ketulusannya yang tak bertepi selama ini.

Vira yang baik, aku rindu kamu.

Aku juga rindu pelangi damai di bumi Acehku.

Sahabatmu,

Cut Romlah.

Catatan:

Abi: Ayah;

Abuchik: paman;

Makcut: bibi













ja ne...

Tidak ada komentar: