Selasa, 07 Juni 2011

Saktiharjo

Tak ada yang lebih menarik bagi para warga desa Saktiharjo, selain kejadian aneh bin ajaib yang sering terjadi di desa tersebut. Kalau kau mau, kau bisa ngerasani sambil makan gorengan di warung Bu Sum atau ngopi di warung kopi Pak Burhan. Aseli! Jauh lebih menarik daripada ngantheng nggak jelas nonton gosip artis kurang kerjaan di TV.

Jadi, jangan heran kalau hampir semua warga Saktiharjo mempunyai kemampuan verbal yang hebat. Mereka bisa mengelabui polisi, jika mereka penjahat. Mereka bisa membuat hakim pengadilan keseleo lidahnya, jika mereka pengacara. Atau menjadi anggota dewan yang bisa duduk manis di kantornya yang berAC, ongkang – ongkang kaki, jika mereka beruntung dalam pemilu legislatif.

Ada saja warga Saktiharjo yang bisa kau temukan di koran lokal maupun nasional. Bahkan jika kau beruntung, kau bisa melihat salah satu dari mereka muncul di TV nasional. Kalau sudah begitu, nyaris tak ada lagi bahan pembicaraan di arisan ibu – ibu, selain kenyataan bahwa tetangga mereka menjadi orang sukses yang muncul di TV.

Tapi, kau bisa saja tidak beruntung jika kau menjadi warga Saktiharjo yang tak diharapkan. Misalnya, kau membawa lari anak gadis Pak Ini atau menipu Pak Anu hingga ratusan juta rupiah. Kau sedang berada di tempat yang salah, Man. Kau akan digunjingkan terus – menerus, tanpa henti. Biasanya berakhir dengan dikucilkan. Itu kalau kau masih bisa bertahan. Kalau tidak, obat nyamuk cair, rel kereta api, atau tali, bisa menjadi pelampiasan terakhirmu. Serius! Hukum rajam bisa saja lebih baik daripada kau dan keluargamu menanggung malu seumur hidup.

Tapi kali ini, maaf ya, aku tidak akan bercerita soal bagaimana ‘luar biasa’-nya warga desa Saktiharjo seperti yang aku sebutkan di atas.

Bagi mereka yang pernah atau sedang tinggal di Saktiharjo, tempat itu laksana surga bagi mereka. Berada di bawah kaki gunung Merapi, desa Saktiharjo dikaruniai tanah yang subur, yang cocok ditanami apa saja. Pemandangan yang elok nan asri, masih belum tercemar banyak polusi, benar-benar membuat siapa saja yang datang ke sana selalu ingin kembali lagi.

Saktiharjo bukan saja sebuah desa yang sempurna di mataku. Saktiharjo adalah rumah keduaku. Aku mempunyai ikatan batin yang kuat dengan desa ini. Lima tahun lalu, ketika aku masih menjadi mahasiswa, aku dan kelompok KKN-ku ditempatkan di sana. Kami menyulap desa itu menjadi desa argowisata, membekali para penduduk desa dengan bahasa Inggris, dan mengajari mereka tentang teknologi informasi. Dan taraaaa.... Desa tersebut akhirnya menjadi tempat wisata yang wajib didatangi oleh para wisatawan yang sedang melancong ke Jogjakarta.

Setiap aku bertemu dengan sahabat-sahabatku yang berasal dari luar kota atau luar negeri, aku selalu ‘memaksa’ mereka untuk mengunjungi desa tersebut. Dan sudah tertebak ekspresi mereka setelah mereka mengunjungi desa tersebut, “Wow! Amazing!”. Dan aku selalu tersenyum puas melihat ekspresi mereka. Yes! Yes! Yes!

Akan tetapi, aku benar-benar patah hati ketika mendengar bahwa desa firdaus itu terkena bencana letusan gunung Merapi bulan November lalu. Aku yang bekerja sebagai reporter di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta ditugaskan untuk meliput kawasan yang terkena erupsi gunung Merapi.

Ketika sampai di desa Saktiharjo, sekujur tubuhku lemas. Desa yang aku kenal hijau tersebut menjadi gersang, tanahnya yang subur tertutup abu vulkanik, dan kalau tim SAR yang berada di pos tadi tidak memberitahuku bahwa yang ada di depan mataku saat ini adalah desa Saktiharjo, maka aku benar-benar tidak mengenalinya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pepohonan yang mati, batu-batu besar yang keluar dari dalam perut Merapi, dan abu vulkanik.

“Astaghfirullah... Kenapa bisa seperti ini?”, desisku.

“Ini desa yang selalu kamu ceritain, Wan?” tanya Mas Iqbal, kameramen yang bersamaku.

Aku mengangguk lemas. Lamaaa kami berdua terpaku melihat kekuatan sang Maha Besar dalam memberi cobaan bagi hamba-Nya.

Nduk Wandaaa... Nduk Wandaaa...”, dari belakang terlihat seorang perempuan paruh baya datang menghampiriku. Aku mengenalnya. Bu Siti, pemilik rumah yang dulu kutempati ketika KKN.

“Subhanallah.... Iki tenan kowe, nduk? Subhanallah... Ayu tenan saiki nganggo jilbab...”, Bu Siti tak henti-hentinya memuji penampilanku. Tak terlihat di wajahnya guratan kesedihan. Kami saling berpelukan. Dan aku menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.

Uwis, nduk. Uwis. Kami nggak apa-apa, kok. Ini memang sudah jalan yang ditakdirkan Gusti Allah”, hiburnya/.

Kemudian, Bu Siti mengajakku dan Mas Iqbal berjalan-jalan berkeliling desa Saktiharjo yang kini terkubur abu vulkanik. Ternyata, tanah yang sedang kami injak saat ini dulunya adalah rumah beliau. Bu Siti bercerita tentang terjadinya erupsi Merapi. Sehari sebelumnya, ia dan penduduk desa setempat sudah mengungsi ke daerah yang lebih aman setelah mendengar bahwa Merapi berstatus awas, sehingga tidak ada korban jiwa di desa ini.

“Alhamdulillah, nduk. Alhamdulillah. Gusti Allah maringi keslametan lan kesehatan saja itu sudah bagus”, ceritanya.

Bu Siti membawaku ke shelter yang ditempati oleh warga desa Saktiharjo, tak jauh dari desa mereka. Di sana, aku bertemu dengan sahabat-sahabat lamaku: Dian, Tari, Bayu, dan yang lainnya. Seperti layaknya reunian SMA, kami saling melepas rindu, berpelukan, dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka. Anehnya, tak ada acara tangis-tangisan. Susah payah kutahan air mataku supaya tidak keluar. Ckckck, mereka memang luar biasa, pikirku.

“Wah, ngetop nih. Sering muncul di TV”, canda Bayu padaku.

“Minta tanda tangannya, dong”, pekik yang lain. Gerrr, kami semua tertawa terbahak-bahak.

Pancen kalian tu sakti tenan”, kataku.

“Lha wong namanya saja kami warga desa Saktiharjo, Mbak Wanda. Ya harus sakti, dong”, sambung Tari. Sekali lagi, kami tertawa terbahak-bahak.

“Yang lalu, biarlah berlalu. Yang penting sekarang, kami semua harus bisa menatap masa depan. Kalau ditangisi terus, kapan majunya, ya kan?” kata Dian.

“Betullllllllllll”, jawab kami kompak.

Itulah mereka, sahabatku, keluargaku. Boleh saja desa Saktiharjo yang benar-benar indah dan luar biasa sekarang sudah tidak berbentuk lagi, tetapi aku yakin bahwa di setiap diri warga desa tersebut, tersimpan keinginan untuk membangun kembali desa firdaus mereka yang baru, entah di mana.

“Mereka hebat ya, Wan”, kata Mas Iqbal ketika dalam perjalanan pulang ke Jakarta setelah satu minggu kami tinggal bersama mereka.

“Iya, dong. Kami, warga Jogja, memang hebat! Waktu gempa kemarin, kami cepat bangkit. Sekarang, setelah bencana Merapi, kami juga cepat bangkit”, kataku mantap.

Suatu hari nanti, kalian mau kan bertandang ke desa firdaus yang baru?



Bantul, 7 Juni 2011



Keterangan:

Nduk: panggilan untuk anak perempuan Jawa

Iki tenan kowe, nduk?: Ini benar-benar kamu?

Ayu tenan saiki nganggo jilbab: Cantik sekali sekarang memakai jilbab

Uwis: sudah

Gusti Allah maringi keslametan lan kesehatan: Allah memberikan keselamatan dan kesehatan

Shelter: tempat penampungan; tempat perlindungan

Gerrr: suasana ketika orang-orang tertawa bersamaan

Pancen: memang

Tenan: benar


Tidak ada komentar: